Jumat, 24 Juni 2011

KUMPULAN CERITA ISLAMI

Itsar Oleh : Mujiyanto
Al itsar atau mengutamakan orang lain adalah tindakan yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Perilaku ini merupakan wujud persaudaraan sejati sesama Muslim. Itsar memiliki nilai yang mulia di sisi Allah.
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Ia bermaksud meminta bantuan kepada Nabi karena sedang dalam kesusahan. Rasulullah kemudian menyuruh laki-laki itu untuk menemui salah satu istrinya. Maka istri Rasul berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku tidak mempunyai apapun kecuali air.” Mendengar itu, Rasul menyuruh laki-laki itu kepada istri beliau yang lain. Ternyata, hasilnya sama. Istri Rasulullah hanya punya air.
Rasul kemudian bersabda di hadapan para sahabat, “Siapa yang mau menjamu tamu pada malam ini?” Seorang laki-laki dari kaum Anshar menyanggupinya. “Aku, ya Rasul.” Orang Anshar ini lalu membawa laki-laki tersebut ke rumahnya.
Sesampai di rumah ia berkata kepada istrinya, “Wahai istriku, muliakanlah tamu Rasulullah ini. Apakah engkau punya sesuatu?” Istrinya menjawab, “Tidak, kecuali makanan anak-anak kita.”
Mendengar jawaban istrinya, orang Anshar ini tidak lantas mengusir sang tamu. Ia berpesan kepada istrinya, “Hiburlah mereka (anak-anaknya). Jika mereka mau makan malam maka tidurkanlah. Jika tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu dan perlihatkan kepadanya seolah-olah kita sedang makan.”
Tamu itu pun datang. Mereka semua duduk. Tamu itu pun makan dalam keadaan gelap. Orang Anshar dan istrinya menemani sang tamu, seolah-olah sedang makan pula. Akhirnya sahabat Anshar dan istrinya itu tidur dalam keadaan lapar.
Ketika waktu Subuh, sahabat Anshar ini menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perbuatannya. Nabi pun berkata, “Allah sungguh takjub karena perbuatan engkau bersama istrimu tadi malam pada saat menjamu tamu.” (Mutafaq alaih)
Alangkah indah jika karakter itsar muncul sekarang. Apalagi banyak anggota masyarakat yang mengalami kesusahan hidup. Itsar mendorong kita untuk mau menekan ego dan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.
Memang tidak bisa dimungkiri, kini justru karakter mementingkan diri sendiri yang mendominasi kehidupan kita. Namun, bukan berarti itsar tidak bisa kita lakukan. “… Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya….” (QS Saba [34]: 39).
***
Sumber: Dari Sahabat, Republika.co.id
Ya Karim
Oleh: Hasan Husen Assagaf
Kisah berikut patut dijadikan bahan renungan. Agar kita memiliki sifat tawadhu’ dan sikap hidup yang selalu memberi perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Biarpun kita memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, semua itu tak berarti sedikit pun jika tak memiliki sifat perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Nah, kalau begitu, jadilah kita seseorang yang memiliki jiwa seperti Rasulallah saw yang selalu tawadhu’, sederhana, dan menghormati semua kelompok manusia tidak perduli apapun kedudukanya.
Diriwayatkan ketika Rasulallah saw sedang bertowaf, beliau mendengar seorang A’rabi (Arab Badui dari gunung) berkata dengan suara keras “Ya Kariim”. Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang dan berkata “Ya Kariim”. Kemudian A’rabi itu berjalan menuju ke arah pancuran Kab’ah lalu berkata lagi dengan suara lebih keras “Ya Kariiim”. Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang, juga berkata “Ya Karim”.
Berasa ada yang mengikutinya dari belakang, A’rabi tadi menengok ke arah suara, lalu berkata “Apa maksudmu mengikuti perkataanku? Apakah kau sengaja mengejekku karena aku seorang A’rabi, Arab Badui dari gunung? Demi Allah kalau bukan karena wajahmu yang bersinar dan parasmu yang indah maka aku akan adukan hal ini kepada kekasihku Muhammad, Rasulallah saw”.
Rasulallah saw pun tersenyum lebar mendengar uraian A’rabi tadi, lalu berkata “Wahai saudaraku, apakah kau pernah melihat Rasulallah? A’rabi tadi berkata “Aku belum pernah melihatnya sama sekali”. Rasulallah saw lalu berkata lagi “Apakah kamu beriman kepadanya?. “Demi Allah, aku beriman kepadanya walaupun aku belum pernah melihat wajahnya dan percaya dengan risalahnya walaupun aku belum pernah bertemumuka dengannnya”, tegasnya. Lalu Rasulallah saw berkata “Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa sesungguhnya aku adalah Nabimu di dunia dan pemberi syafa’at bagimu di Akhirat”.
Begitu A’rabi tadi mengetahui bahwa beliau adalah Rasulallah saw, dengan sepontan ia menarik tangan beliau lalu menciumya berkali kali. Walaupun Rasulallah saw berusaha menarik tangan beliau, tapi A’rabi tadi tetap memegangnya dengan keras dan menciumnya. Lalu dengan penuh tawadhu’ beliau menahan lagi tangannya sambil menariknya, seraya berkata “Perlahan-lahan wahai saudaraku, sesungguhnya aku diutus sebagai Nabi bukan sebagai raja, aku diutus sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, bukan perkasa dan penyombong”
Seketika itu juga malaikat Jibril as turun dari langit kepada Rasulallah saw lalu berkata “Allah mengucapkan salam kepadamu, dan mengkhususkan tahiyyatNya atasmu. Dia berfirman “Katakanlah kepada A’rabi janganlah merasa bangga dengan amal kebaikanya, sesungguhnya esok Kami akan menghisab amalnya yang kecil sebelum yang besar, bahkan sampai yang sekecil kecilnya tidak akan diluputkan. Lalu Rasulallah saw menyampaikan pesan Allah kepada A’rabi tadi. A’rabi pun berkata “Apakah Allah akan menghisabku kelak ya Rasulallah???” Rasulallah saw berkata “Iya betul, dengan kehendakNya, Allah akan menghisabmu kelak”. A’rabi tadi lalu berkata lagi “Jika Allah akan menghisabku esok, maka akupun akan menghisabNya kelak”
Rasulallah saw merasa heran mendengar jawaban A’rabi tadi, lalu berkata “Wahai saudaraku, bagaimana caranya kamu akan menghisab Allah kelak?” Dengan lantang dan penuh keyakinan A’rabi tadi berkata “Jika Allah akan menghisabku atas dosa dosa yang aku lakukan, maka aku akan menghisabNya atas ampunanNya yang maha luas. Jika Dia akan menghisabku dengan maksiat yang aku perbuat, maka aku akan menghisabNya atas maghfirahNya yang tidak terbatas. Jika Dia akan menghisabku atas kekikiranku maka aku akan menghisabNya atas kemurahanNya yang tampa batas”.
Mendengar uraian A’rabi tadi Rasulallah saw menangis tersedu-sedu sehingga jenggot beliau basah dengan airmata. Tangisan Rasulallah saw didengar oleh malaikat Jibril as yang membuatnya turun lagi dari langit, lalu berkata kepada beliau “Wahai Rasulallah janganlah kamu menangis, sesungguhnya Arsy dan seisi-isinya bergetar mendengar tangisamu. Katakanlah kepada saudaramu A’rabi sesungguhnya Allah tidak akan menghisabnya dan ia tidak usah menghisabNya. Katakanlah bahwa ia akan menjadi temanmu nanti di surga”.
Kisah di atas patut dijadikan bahan renungan. Agar kita memiliki sifat tawadhu’ dan sikap hidup yang selalu memberi perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Biarpun kita memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, semua itu tak berarti sedikit pun jika tak memiliki sifat perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Nah, kalau begitu, jadilah kita seseorang yang memiliki jiwa seperti Rasulallah saw yang selalu tawadhu’, sederhana, dan menghormati semua kelompok manusia tidak perduli apapun kedudukanya.
Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad wa a’la alihi wa shahbihi wa sallim.
Wallahua’lam
Hasan Husen Assagaf
Menahan Amarah bismi-lLah wa-lhamdu li-lLah wa-shshalatu wa-ssalamu ‘ala rasuli-lLah wa ‘ala alihi wa ashhabihi wa ma-wwalah, amma ba’d, assalamu ‘alaikum wa rahmatu-lLahi wa barakatuH,
“… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS 3: 134)
Saudaraku, ayat di atas menerangkan 3 tingkatan para wali:
Pertama, menahan amarahnya terhadap orang lain. Terkadang masih tersimpan dendam untuk membalas orang yang berbuat kesalahan terhadapnya.
Kedua, memaafkan kesalahan orang lain. Mengampuni kesalahan orang itu, tidak mencelanya, dan tidak ada dendam untuk membalas kejahatan orang itu.
Ketiga, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Memaafkan kesalahan orang itu, tidak ada dendam, mendoakan orang tersebut dan berbuat kebaikan.
Suatu hari, Khalifah Harun ar Rasyid sedang menjamu para undangan penting, di antaranya para menteri, gubernur, dan panglima perangnya. Tiba-tiba seorang budak yang bertugas membawa minuman menumpahkan kendi, dan basahlah baju sang khalifah. Dengan muka yang memerah sang khalifah menatap pelayan tersebut.
Pelayan yang cerdik itu berkata, “Wahai amirul mukminin, bukankah Allah berfirman, …dan orang-orang yang menahan amarahnya”.
Khalifah menjawab, “Aku telah menahan amarahku”.
Pelayan itu berkata lagi,”..dan mema`afkan (kesalahan) orang”.
Khalifah menjawab, “Aku telah mema’afkan kamu”.
Pelayan itu berkata lagi, “..dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Sang khalifah pun berkata, “Sekarang, aku memerdekakanmu karena Allah”.
***
Dari Sahabat
Keikutsertaan Nabi SAW dalam membangun Ka’bah Oleh : Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
Ka’bah adalah “rumah” yang pertama kali dibangun atas nama Allah, untuk menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya. Dibangun oleh bapak para Nabi, Ibrahim as, setelah menghadapi “perang berhala” dan penghancuran tempat-tempat peribadatan yang di dirikan di atasnya. Ibrahim as membangunnya berdasarkan wahyu dan perintah dari Allah : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa), “Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 127).
Setelah itu Ka’bah mengalami beberapa kali serangan yang mengakibatkan kerapuhan bangunannya. Diantaranya adalah serangan banjir yang menenggelamkan Makkah beberapa tahun sebelum bi’tsah, sehingga menambah kerapuhan bangunannya. Hal ini memaksa orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian bangunannya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Ka’bah merupakan “sisa” atau peninggalan dari syari’at Ibrahim as yang masih terpelihara di kalangan orang Arab.
Rasulullah saw sebelum bi’tsah pernah ikut serta dalam pembangunan Ka’bah dan pemugarannya. Beliau ikut serta aktif mengusung batu di atas pundaknya. Pada waktu itu Rasulullah saw berusia 35 tahun, menurut riwayat yang paling shahih.
Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari hadist Jabir bin Abdullah ra, ia berkata : Ketika Ka’bah dibangun, Nabi saw dan Abbas pergi mengusung batu. Abbas berkata kepada Nabi saw, “Singkirkan kainmu di atas lutut.” Kemudian Nabi saw mengikatnya.
Nabi saw memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan kemelut yang timbul akibat perselisihan antar kabilah tentang siapa yang berhak mendapatkan kehormatan meletakkan hajar aswad di tempatnya. Semua pihak tunduk pada usulan yang diajukan Nabi saw, karena mereka mengenalnya sebagai Al-Amin (terpercaya) dan mencintainya.
***
Sumber : Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW
Tauziyah.com
Perjalanan Rasulullah saw yang pertama ke Syam dan Usahanya mencari Rezeki Oleh : Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
Ketika berusia 12 tahun, Rasulullah saw diajak pamannya, Abu Thalib pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Pada waktu kafilah di Bashra, mereka melewati seorang pendeta bernama Bahira. Ia adalah seorang pendeta yang banyak mengetahui injil dan ahli tentang masalah-masalah kenasranian.
Kemudian Bahira melihat Nabi saw. Lalu ia mulai mengamati Nabi dan mengajak berbicara. Kemudian Bahira menoleh kepada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya, “Apa status anak ini di sisimu?”
“Anakku (Abu Thalib memanggil Nabi saw dengan panggilan anak karena kecintaannya yang mendalam),” jawab Abu Thalib.
“Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup,” tanya Bahira kepadanya.
“Dia adalah anak saudaraku,” kata Abu Thalib.
“Apa yang telah dilakukan oleh Ayahnya?” tanya Bahira.
“Dia meninggal ketika Ibu anak ini mengandungnya,” jawab Abu Thalib.
Bahira berkata, “Anda benar, bawalah dia pulang ke negerinya, dan jagalah dia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya di sini, pasti akan dijahatinya. Sesungguhnya anak saudaramu ini akan memegang perkara besar.” Kemudia Abu Thalib cepat-cepat membawa kembali ke Makkah.
Memasuki masa remaja, Rasulullah saw mulai berusaha mencari rezeki dengan mengembalakan kambing. Rasulullah saw pernah bertutur tentang dirinya. “Aku dulu mengembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” Selama masa mudanya Allah telah memeliharanya dari penyimpangan yang biasanya, dilakukan oleh para pemuda seusianya, seperti berhura-hura dan permainan nista lainnya. Bertutur Rasulullah tentang dirinya :
“Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan di masa jahiliyah kecuali dua kali. Itu pun kemudian dicegah oleh Allah. Setelah itu aku tidak pernah menginginkannya sampai Allah memuliakan aku dengan risalah. Aku pernah berkata kepada seorang teman yang menggembala bersamaku di Makkah, “Tolong awasi kambingku, karena aku akan memasuki kota Makkah untuk begadang sebagaimana para pemuda.” Kawan tersebut menjawab, “Lakukanlah.” Lalu aku keluar.
Ketika aku sampai pada rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian, lalu aku berkata, “Apa ini?”
Mereka berkata, “Pesta.”
Lalu aku duduk mendengarkannya. Tetapi kemudian Allah menutup telingaku, lalu aku tertidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh panas matahari. Kemudian aku kembali kepada temanku, lalu ia bertanya kepadaku, dan aku pun mengabarkannya. Kemudian pada malam yang lain aku katakan kepadanya sebagaimana malam pertama. Maka aku pun masuk ke Makkah, lalu mengalami kejadian sebagaimana malam terdahulu. Setelah itu aku tidak pernah lagi menginginkan keburukan.”
Hadist Bahira tentang Rasulullah saw, yakni hadist yang diriwayatkan oleh Jumhur Ulama’ Sirah dan para perawinya, dan dikeluarkan oleh Tirmidzi secara panjang lebar dari hadist Abu Musa al-Asy’ari, menunjukkan bahwa para ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani memiliki pengetahuan tentang bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya dan penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam Taurat dan Injil. Dalil tentang hal ini banyak sekali.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh para Ulama Sirah, bahwa orang-orang Yahudi biasa memohon kedatangan Nabi saw (sebelum bi’tsah) untuk mendapatkan kemenangan atas kaum Aus dan Khazraj, dengan mengatakan “Sesungguhnya sebentar lagi akan dibangkitkan seorang Nabi yang kami akan mengikutinya. Lalu kami bersamanya akan membunuh kalian sebagaimana pembunuhan yang pernah dialami kaum ‘Aad dan Iram.” Ketika orang-orang Yahudi mengingkari janjinya, Allah menurunkan firmanNya : “Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah : 89).
Al Qurtubi dan lainnya meriwayatkan, bahwa ketika turun firman Allah : “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami berikan Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah : 146).
Umar bin Khaththab bertanya kepada Abdullah bin Salam (seorang ahli kitab yang telah masuk Islam) : “Apakah kamu mengetahui Muhammad saw sebagaimana kamu mengetahui anakmu?” Ia menjawab, “Ya, bahkan lebih banyak. Allah mengutus (Malaikat) kepercayaan-Nya di bumi dengan sifat-sifatnya, lalu saya mengetahuinya. Adapun anak saya, maka saya tidak mengetahui apa yang telah terjadi dari ibunya.”
Bahkan keislaman Salman al-Farisi juga disebabkan ia telah melacak berita Nabi saw dan sifat-sifatnya dari Injil, para pendeta dan ulama al-Kitab. Ini tidak dapat dinafikan oleh banyaknya para ahli Kitab yang mengingkari adanya pemberitaan tersebut, atau oleh tidak adanya isyarat penyebutan Nabi saw di dalam Injil yang beredar sekarang. Sebab, terjadinya pemalsuan dan perubahan secara beruntun pada kitab-kitab tersebut telah diketahui dan diakui oleh semua pihak.
Maha Benar Allah yang berfirman di dalam kitab-Nya : “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan mereka sendiri, lalu dikatakannya “ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah : 78-79).
***
(Sumber (buku) : Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW)
Tubuh Seharum Kesturi DALAM KITAB Al Akhlaq Al Islamiyyah Lin Nasyi’in ada sebuah kisah yang indah menggetarkan jiwa. Kisah ini terjadi di tanah Syam. Kisah yang banyak disebut dari mulut ke mulut sampai abad ini.
Ini adalah kisah ketakwaan seorang pemuda. Seorang pemuda yang bekerja sebagai penjual kain keliling. Ia berkeliling dari satu daerah ke daerah. Dari satu kawasan ke kawasan lain. Dari lorong ke lorong. Dari rumah ke rumah. Ia berkeliling sambil memanggul kain dagangannya. Akhirnya masyarakat mengenalnya sebagai Si Penjual Kain Keliling.
Diantara kelebihan pemuda ini adalah postur tubuhnya yang gagah. Kulitnya yang putih. Wajahnya yang mempesona. Dan keramahannya yang luar biasa. Sehingga siapapun yang melihatnya akan terpesona karenanya. Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepadanya.
Suatu hari, ketika ia sedang berkeliling menjajakan dagangannya, tiba-tiba ada seorang wanita memanggilnya. Ia pun segera menghampiri. Wanita ini menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Rumah itu sangat mewah. Agaknya wanita itu termasuk golongan bangsawan. Begitu masuk rumah, dengan sebuah kelihaian wanita itu bisa mengunci pintu. Wanita itu sangat terpesona dengan ketampanannya. Wanita itu telah lama tergila-gila padanya. Sudah berkali-kali diam-diam wanita itu memandangi ketampanannya ketika pemuda itu lewat di depan rumahnya.
Wanita itu berkata, “Duhai pemuda tampan. Sebenarnya aku memanggilmu tidak untuk membeli barang daganganmu, tapi semata karena aku sangat mencintaimu. Selama ini aku tergila-gila pada ketampananmu.”
Pada saat itu, tak ada seorang pun didalam rumah selain mereka berdua. Wanita bangsawan itu dengan penuh harap merayunya untuk berzina. Sang pemuda pun mengingatkannya dan menakutinya akan pedihnya siksa Allah. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Setiap perkataan yang diucapkan pemuda itu justru membuat wanita itu semakin menggila dan nekat. Wanita itu justru semakin tertantang untuk menaklukkan pemuda itu. Namun pemuda itu tak bergeming dengan keimanannya. Ia menolak dengan tegas.
Karena sang pemuda tetap saja menolak, wanita itu mengancam, “Jika kamu tidak menurut apa yang kuperintahkan, aku akan berteriak sekeras-kerasnya dan mengatakan kepada orang-orang bahwa ada orang yang masuk kerumahku dan ingin memperkosaku. Mereka pasti mempercayai ucapanku karena kedudukanku dan karena kamu telah memasuki rumahku. Akibatnya kamu akan binasa. Kau akan dianggap penjahat paling nista. Dan orang-orang itu bisa marah dan menggantungmu hidup-hidup ! “
Wanita itu mengancam dengan serius. Pemuda itu terus berfikir bagaimana mencari jalan keluar. Ia tak mau maksiat tapi juga tak mau mengalami hal yang konyol. Diserapahi orang banyak sebagai penjahat lalu digantung tanpa ampun, sungguh hal yang sangat menyakitkan. Beberapa detik kemudian sekonyong-konyong terbitlah ide nekatnya. Terkadang tindakan nekat harus dilawan dengan nekat juga. Sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah. Bolehkah aku ke kamar mandi untuk bersih-bersih dahulu ? Lihatlah tubuhku penuh dengan peluh yang baunya tidak sedap ! “
Begitu mendengar ucapannya, wanita tersebut sangat gembira karena mengira ia akan menuruti keinginannya dan berkata dengan hati meluapkan kegembiraan, “O tentu saja boleh, aduhai kekasihku dan belahan jiwaku. Sungguh ini adalah kesempatan luar biasa.”
Sang pemuda pun segera masuk ke kamar mandi, ia mengatakan itu tadi sekedar untuk menyelamatkan diri sesaat. Mencari tempat yang tenang untuk berfikir. Sampai di dalam kamar mandi tubuhnya gemetar karena takut terjatuh pada kemaksiatan. Wanita adalah perangkap setan. Tak ada seorang laki-laki dan wanita yang berduaan, kecuali ada yang ketiga adalah setan. Demikianlah sabda Rasulullah Saw.
Ia pasrah kepada Allah. Ya Allah, apa yang mesti aku lakukan ? Berilah hamba-Mu petunjuk ya Allah. Tiba-tiba tercetus sesuatu dalam fikirannya, ia bergumam, “Aku tahu pasti, diantara golongan yang akan mendapatkan naungan pada hari tidak ada naungan lagi di hari kiamat adalah seorang pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan berkedudukan, lalu ia mengatakan, ‘Sungguh aku takut pada Allah !’ Aku juga tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena takut pada Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Tidak sedikit orang yang menurutkan hawa nafsunya, maka ia akan membawa penyesalan sampai akhir hayatnya. Jika aku lakukan kemaksiatan ini, Allah akan menghilangkan cahaya dan kenikmatan dari hatiku. Duhai Tuhan, tidak, tidak ! Sekali-kali aku tidak akan melakukannya ! Tapi apa yang bisa aku perbuat ? Apakah aku harus loncat dari jendela ? hal itu tidaklah mungkin karena jendela ini terkunci sangat kuat dan sulit sekali membukanya. Kalau begitu aku harus melumuri tubuhku dengan kotoran. Ya aku harus melumuri tubuhku dengan kotoran. Semoga jika ia melihatku seperti itu, ia akan merasa jijik lalu mengusirku.”
Benar saja, ia lalu buang air besar dan melumuri seluruh tubuhnya dengan kotoran buang air besarnya. Seluruh rambutnya, mukanya, dada, tangan, dan semuanya. Ia sendiri sebenarnya merasa jijik. Bahkan ia mual dan sempat muntah. Sambil menangis ia berkata, “Ya Allah ya Rabbi, karena rasa takutku pada-Mulah aku melakukan ini ! maka gantikanlah untukku yang lebih baik.”
Lalu iapun keluar dari kamar mandi. Dan begitu wanita tersebut melihatnya ia terkejut bukan main. Ia merasa jijik. Ia menjerit dan berteriak dengan keras, “Keluarlah, hai orang gila ! Dasar pemuda gila, keluar kau jangan kau kotori rumahku.”
Ia berjalan keluar dan berpura-pura bertingkah laku seperti orang gila. Begitu sampai diluar ia cepat-cepat cari tempat yang aman. Ia takut dilihat orang dan takut mereka akan menggunjingnya. Jika itu yang terjadi barang dagangannya bisa tidak laku, karena ia akan dianggap benar-benar gila. Beberapa orang yang melihatnya terheran-heran dan menertawakannya. Ia terus berjalan menuju rumahnya lewat jalan yang sepi. Ia merasa sangat lega ketika sampai dirumahnya. Ia langsung melepas pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, Allah SWT menunjukkan kekuasan-Nya. Allah menjadikan bau harum yang luar biasa memancar dari seluruh pori-pori tubuhnya hingga ajal menjemputnya. Bau itu tercium dari jarak beberapa meter. Akhirnya ia dikenal dengan sebutan “Al-Miski” atau Orang Yang Seharum Kesturi.
Kisah ini menjadi bukti keagungan Allah. Kisah nyata ini masih bisa dilihat bekasnya. Di tanah Syam, ada sebuah makam yang tertuliskan “Al-Miski”.
Itulah kubur orang mulia yang menjaga kesuciannya ini.
***
Sumber Tulisan Oleh : Habiburrahman El Shirazy
(Di Atas Sajadah Cinta, Penerbit Republika, Cetakan X, September 2006)
Sesuap Diganti Sesuap Seorang pengemis datang minta kepada seorang wanita yang sedang makan, maka dikeluarkan makanan yang belum sempat dikunyah yang ada di mulutnya dan diberikan kepada pengemis tersebut.
Kemudian tidak lama wanita itu mempunyai anak, dan pada suatu ketika anaknya sedang bermain, diterkam serigala, maka dikejarlah serigala oleh wanita itu sambil berteriak, “Anakku, anakku…”
Maka Allah menyuruh malaikat untuk mengambil anak itu dari mulut serigala sambil berkata kepada wanita itu, “Allah kirim salam kepadamu dan berfirman, Ini sesuap diganti sesuap yang terdahulu.” (HR. Ibn Misri)
***
Dari Sahabat
Kembalinya Seekor Rusa Dalam kitab Alhilyah, Abu Naim meriwayatkan ; Ada seorang berjlan di depan Nabi SAW dengan membawa rusa yang baru didapat dari berburu, tiba-tiba rusa itu berkata ; Ya Rasulullah sesungguhnya aku mempunyai beberapa anak yang masih menetek, dan mereka kini lapar, karena itu suruhlah orang ini untuk melepaskanku untuk meneteki anak-anaku, kemudian aku kembali. Kemudian Nabi SAW bertanya, jika engkau tidak kembali bagaimana?
Jawab si rusa ; Jika aku tak kembali maka Allah akan mengutuk aku bagaikan orang yang disebut namamu disebut padanya tiba-tiba ia tidak membaca sholawat kepadamu.
Lalu Nabi SAW menyuruh orang itu ; lepaskan rusa itu dan aku yang menjamin akan kembalinya rusamu itu. Kemudian pergilah rusa itu menemui anak-anaknya, tak berapa lam ia kembali lagi.
Maka seketika itu turunlah malaikat Jibril as dan berkata ; Ya Muhammad, Allah menyampaikan salam padamu dan berfirman ; Demi kemulyaan dan KebesaranKu, sungguh Aku lebih kasih pada ummatmu lebih dari rusa itu terhadap anak-anaknya, dan Aku akan mengembalikan mereka padamu sebagaimana kembalinya rusa padamu.
***
Dari Sahabat
Sabarnya Ayub AS, sabarnya Sulaiman AS, sabarnya Yusuf AS, dan sabarnya Musa AS Ini bukan untuk membandingkan tingkat kesabaran diantara tiap nabi tersebut, tapi sebuah ilustrasi yang memudahkan kita untuk memahami jenis-jenis kesabaran.
Sabar ujian kesusahan Nabi Ayub as
Sungguh Ayub as seorang yang sangat sabar melawan godaan kesusahan yang berniat mematahkan keteguhan imannya? Allah telah mengujinya dengan berbagai penderitaan sakit fisik luar dan dalam yang sangat dahsyat dan menjijikkan, dan itu terjadi hampir sepanjang usianya.
Sabar ujian kesenangan Nabi Sulaiman as
Sanggupkah kita sesabar Sulaiman as ketika ia melawan godaan kesenangan dunia yang ingin menutup hatinya? Bukankah kesenangan lebih mudah membuat kita melupakan Sang Pencipta Kesenangan ? Sungguh Sulaiman as tetap tegar dalam keimanan, walau Allah mengujinya dengan kerajaan yang besar, pasukan yang besar, kekayaan yang melimpah, istri yang cantik dan sebagainya.
Sabar ujian kemaksiatan Nabi Yusuf as
Hamba sahaya mana yang sanggup menolak godaan wanita yang punya kekuasaan dan cantik rupawan, kalau bukan seorang Yusuf as. Dialah yang sanggup mengatakan tidak pada Zulaika ketika Allah mengujinya kesabarannya untuk berbuat maksiat bahkan ketika Allah telah menyediakan sarana yang memudahkannya untuk berbuat maksiat.
Sabar ujian ketaatan seorang Nabi Musa as
Inilah kesabaran seorang Musa as, yang mengeluarkan energi keberaniannya namun tetap tegar ketika berkali-kali ia mengajak Firaun untuk bertobat. Ujian ketaatan bukan sesuatu yang datang seibarat ujian kesusahan atau kesenangan, tidak pula merupakan pilihan seibarat pilihan berbuat maksiat atau menolak maksiat. Ujian ketaatan adalah ujian yang diciptakan sendiri oleh seorang manusia di jalan Allah akibat keinginannya yang kuat untuk menjalankan perintah dan larangan Allah, atau karena ingin amar makruf nahi munkar atau karena ingin sekedar beribadah secara lebih baik. Sungguh membutuhkan kesabaran yang besar ketika kita sedang berjuang ingin konsisten menjalankan sholat secara khusyuk atau ketika kita ingin memperjuangkan hak-hak umat Islam misalnya.
Wallahu ‘alam bish shawab
Catatan tambahan, ciri kesabaran :
  1. tidak terburu-buru mengambil keputusan
  2. tegar dengan tujuan yang ditetapkan
  3. tuntas sesuai kemampuan
  4. tidak gampang pasrah
  5. hati tetap senang ketika diuji
***
Hak cipta adalah milik Allah semata. Hak kita sebagai manusia adalah berlomba-lomba menyebarluaskan kata-kata kebaikan kepada seluruh umat manusia.
Dari Sahabat
Bukti Tuhan itu Ada Assalamu’alaikum wr wb,
Beriman bahwa Tuhan itu ada adalah iman yang paling utama. Jika seseorang sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, maka sesungguhnya orang itu dalam kesesatan yang nyata.
Benarkah Tuhan itu ada? Kita tidak pernah melihat Tuhan. Kita juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Tuhan. Karena itu, tidak heran jika orang-orang atheist menganggap Tuhan itu tidak ada. Cuma khayalan orang belaka.
Ada kisah zaman dulu tentang orang atheist yang tidak percaya dengan Tuhan. Dia mengajak berdebat seorang alim mengenai ada atau tidak adanya Tuhan. Di antara pertanyaannya adalah: “Benarkah Tuhan itu ada” dan “Jika ada, di manakah Tuhan itu?”
Ketika orang atheist itu menunggu bersama para penduduk di kampung tersebut, orang alim itu belum juga datang. Ketika orang atheist dan para penduduk berpikir bahwa orang alim itu tidak akan datang, barulah muncul orang alim tersebut.
“Maaf jika kalian menunggu lama. Karena hujan turun deras, maka sungai menjadi banjir, sehingga jembatannya hanyut dan saya tak bisa menyeberang. Alhamdulillah tiba-tiba ada sebatang pohon yang tumbang. Kemudian, pohon tersebut terpotong-potong ranting dan dahannya dengan sendirinya, sehingga jadi satu batang yang lurus, hingga akhirnya menjadi perahu. Setelah itu, baru saya bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut.” Begitu orang alim itu berkata.
Si Atheist dan juga para penduduk kampung tertawa terbahak-bahak. Dia berkata kepada orang banyak, “Orang alim ini sudah gila rupanya. Masak pohon bisa jadi perahu dengan sendirinya. Mana bisa perahu jadi dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya!” Orang banyak pun tertawa riuh.
Setelah tawa agak reda, orang alim pun berkata, “Jika kalian percaya bahwa perahu tak mungkin ada tanpa ada pembuatnya, kenapa kalian percaya bahwa bumi, langit, dan seisinya bisa ada tanpa penciptanya? Mana yang lebih sulit, membuat perahu, atau menciptakan bumi, langit, dan seisinya ini?”
Mendengar perkataan orang alim tersebut, akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah terjebak oleh pernyataan mereka sendiri.
“Kalau begitu, jawab pertanyaanku yang kedua,” kata si Atheist. “Jika Tuhan itu ada, mengapa dia tidak kelihatan. Di mana Tuhan itu berada?” Orang atheist itu berpendapat, karena dia tidak pernah melihat Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.
Orang alim itu kemudian menampar pipi si atheist dengan keras, sehingga si atheist merasa kesakitan.
“Kenapa anda memukul saya? Sakit sekali.” Begitu si Atheist mengaduh.
Si Alim bertanya, “Ah mana ada sakit. Saya tidak melihat sakit. Di mana sakitnya?”
“Ini sakitnya di sini,” si Atheist menunjuk-nunjuk pipinya.
“Tidak, saya tidak melihat sakit. Apakah para hadirin melihat sakitnya?” Si Alim bertanya ke orang banyak.
Orang banyak berkata, “Tidak!”
“Nah, meski kita tidak bisa melihat sakit, bukan berarti sakit itu tidak ada. Begitu juga Tuhan. Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Demikian si Alim berkata.
Sederhana memang pembuktian orang alim tersebut. Tapi pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak zakat berukuran molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika meletakan benda tersebut ke bawah mikroskop yang amat kuat).
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada.
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih kompleks.
Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya.
Matahari, dan 9 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya! Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru
Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.
Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]
Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5]
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]
Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra'd:2]
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]
Terhadap manusia-manusia yang sombong dan tidak mengakui adanya Tuhan, Allah menanyakan kepada mereka tentang makhluk ciptaannya. Manusiakah yang menciptakan, atau Tuhan yang Maha Pencipta:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi'ah:58-59]
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” [Al Waaqi'ah:63-64]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi'ah:72]
Di ayat lain, bahkan Allah menantang pihak lain untuk menciptakan lalat jika mereka mampu. Manusia mungkin bisa membuat robot dari bahan-bahan yang sudah diciptakan oleh Allah. Tapi untuk menciptakan seekor lalat dari tiada menjadi ada serta makhluk yang bisa bereproduksi (beranak-pinak), tak ada satu pun yang bisa menciptakannya kecuali Allah:
“…Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” [Al Hajj:73]
Sesungguhnya, masih banyak ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang menjelaskan bahwa sesungguhnya, Tuhan itu ada, dan Dia lah yang Maha Pencipta
Wassalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu
***
Dari Sahabat
Imam Syafii Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Beliau dilahirkan di Gaza, Palestina, tahun 150 H, dan ayahnya meninggal ketika masih bayi, sehingga beliau hanya dipelihara oleh ibunya yang berasal dari Qabilah Azad dari Yaman. Diwaktu kecil Imam Syafii hidup dalam kemiskinan dan penderitaan sebagai anak yatim dalam “dekapan” ibundanya . Oleh karena itu ibunya berpendapat agar sebaiknya beliau (yang ketika itu masih kecil) dipindahkan saja ke Makkah (untuk hidup bersama keluarga beliau disana). Maka ketika berusia 2 tahun beliau dibawa ibundanya pindah ke Makkah.
Imam Syafi’i rahimahullah dilahirkan bertepatan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah oleh karena itu orang-orang berkata : “telah meninggal Imam dan lahirlah Imam”. Pada usia 7 tahun beliau telah menghafal Al Qur’an. Dan suatu sifat dari Imam Safi’i adalah, jika beliau melihat temannya diberi pelajaran oleh gurunya, maka pelajaran yang dipelajari oleh temannya itu dapat beliau pahami. Demikian pula jika ada orang yang membacakan buku dihadapan Imam Syafi’i, lalu beliau mendengarkannya, secara spontan beliau dapat menghafalnya. Sehingga kata gurunya : “Engkau tak perlu belajar lagi di sini (lantaran kecerdasan dan kemampuan beliau untuk menyerap dan menghafal ilmu dengan hanya mendengarkan saja)”.
Setelah beberapa tahun di Makkah, Imam Syafi’i pergi ke tempat Bani Hudzail dengan tujuan untuk belajar kepada mereka. Bani Hudzail adalah Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Beliau tinggal di tempat Bani Hudzail selama 17 tahun. Ditempat ini beliau beliau banyak menghafal sya’ir-sya’ir, memahami secara mendalam sastra Arab dan berita-berita tentang peristiwa yang dialami oleh orang-orang Arab dahulu.
Pada suatu hari beliau bertemu dengan Mas’ab bin Abdullah bin Zubair yang masih ada hubungan famili dengan beliau. Mas’ab bin Abdullah berkata : “Wahai Abu Abdullah (yaitu Imam Syafi’i), sungguh aku menyayangkanmu, engkau sungguh fasih dalam berbahasa Arab, otakmu juga cerdas, alangkah baiknya seandainya engkau menguasai ilmu Fiqih sebagai kepandaianmu.” Imam Syafi’i : “Dimana aku harus belajar?” Mas’ab bin Abdullah pun menjawab : “Pergilah ke Malik bin Anas”. Maka beliau pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik. Sesampainya di Madinah Imam Malik bertanya : “Siapa namamu?”. “Muhammad” jawabku. Imam Malik Berkata lagi : “Wahai Muhammad bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah laranganNya maka engkau akan menjadi orang yang disegani di kemudian hari”. Esoknya beliau membaca al Muwaththa’ bersama Imam Malik tanpa melihat buku yang dipegangnya, maka beliau disuruh melanjutkan membaca, karena Imam Malik merasa kagum akan kefasihan beliau dalam membacanya.
Al Muwaththa’ adalah kitab karangan Imam Malik yang dibawa beliau dari seorang temannya di Mekkah. Kitab tersebut beliau baca dan dalam waktu 9 hari, dan beliau telah menghafalnya.Beliau tinggal di Madinah sampai Imam Malik meninggal dunia, kemudian beliau pergi ke Yaman.
Kunjungan Imam Syafi’i Keberbagai Tempat Sudah menjadi kebiasaan ulama’-ulama’ pada masa Imam Syafi’i yaitu berkunjung ke berbagai negeri untuk menimba ilmu di tempat tersebut. Mereka tidak perduli terhadap rintangan-rintangan yang akan mereka hadapi. Demikian pula Imam Syafi’i berkunjung ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dengan sungguh-sungguh dan memperoleh manfaatnya. Sebagaimana yang telah diketahui tentang perjalanannya dari Mekkah ke Bani Hudzail, kemudian kembali ke Mekkah dan perjuangannya untuk menemui Imam Malik, dan setelah meninggalnya Imam Malik beliau pergi keYaman dan selanjutnya pergi ke Baghdad dan kembali ke Madinah , dan setelah itu kembali lagi ke Baghdad kemudian ke Mesir.
Kunjungan-kunjungan itu menghasilkan banyak ilmu dan pengalaman baginya serta membuatnya gigih dalam menghadapi berbagai rintangan dalam membela kebenaran dan membela Sunnah Rasulullah saw. Sehingga namanya menjadi terkenal dan disegani umat Islam di zamannya.
Imam Ahmad Bin Hambal berkata tentang gurunya Imam Syafi’i rahimahullah telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Inna Allaha yub’astu lihadzihil ummah ‘ala ra’si kulla miati sanatin man yujaddidu laha diinaha”
“Sesungguhnya Allah swt mengutus (mengirim) seseorang kepada umat ini setiap seratus tahun untuk memperbarui urusan agamanya”. (shahih sunan Abu daud hadits no : 4291)
Kemudian Imam Ahmad bin Hambal menambahkan dengan berkata : “Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang pertama dan mudah-mudahan Imam Syafi’i adalah yang kedua”.
Ilmu Yang Dimiliki Oleh Imam Syafi’i rahimahullah Imam Syafii rahimahullah memiliki ilmu yang luas seperti yang dikatakan Ar Rabbii bin Sulaiman : “Setiap selesai shalat shubuh Imam Syafi’i selalu duduk dikelilingi orang-orang yang ingin bertanya tentang tafsir Al Qur’an. Dan seandainya matahari telah terbit, barulah orang-orang itu berdiri dan bergantian dengan orang-orang lain yang ingin bertanya juga tentang hadits, serta tafsirnya. Beberapa jam kemudian ganti orang-orang lain untuk bertanya-jawab. Dan sebelum waktu dhuhur mereka pergi disusul oleh orang-orang yang bertanya tentang nahwu, urudh dan syai’r sampai waktu dhuhur”. Mas’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata : “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui peristiwa tentang orang-orang Arab dahulu seperti Imam Syafi’i”. Abu Isma’il At Tarmudzi juga berkata : “Aku perna mendengar Ishak bin Rahawih berceritra : “ketika kami berada di Makkah Imam Bin Hambal rahimahullah, berkata kepadaku : “Wahai abu Ya’kub belajarlah kepada orang ini ”Seraya memandang Imam Syafi’i””.
Kemudian aku berkata : “Apa yang akan aku peroleh dari orang ini, sementara usianya hampir sama dengan kita? Apakah aku tidak merugi seandainya meninggalkan Ibnu Uyainah dan Mugni?”. Imam Ahmad pun menjawab : “Celaka engkau! Ilmu orang-orang itu dapat engaku tinggalkan tapi Ilmu orang ini tidak dapat”. Lalu aku belajar padanya.
Imam Ahmad bin hambal menambahkan tentang Imam Syafi’I, adalah beliau orang yang paling paham (pengetahuannya) tentang Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kesederhanaan Dan ketaatan Imam Syafi’i Pada Kebenaran Al Imam Syafi’i rahimahullah terkenal akan kesederhanaan dan (ketaatan) dalam menerima kebenaran. Hal ini telah dibuktikan dalam diskusi-diskusi dan tadarus-tadarusnya serta pergaulan murid-murid, teman-teman dan orang umum. Banyak orang yang telah meriwayatkan sifat-sifat yang telah dimilikioleh Imam Syafi’i yang seolah-olah sifat itu hanya dimiliki oleh beliau saja.
Al Hasan bin Abdul Aziz Al Jarwi Al Masri (dia adalah Abu Ali Al Judzami, guru Syeikh Al Bukhari yang meninggal di Baghdad pada tahu 257 H) berkata : “As Syafi’i mengatakan : “tidak pernah terbesit dalam hatiku agar seseorang bersalah bila berdiskusi denganku, malah aku menginginkan agar semua ilmu yang kumiliki juga dimiliki oleh semua orang tanpa menyebut namaku””.
Dan Ar Rabii berkata : “Ketika aku mengunjungi As Syafi’i sakit, beliau masih sempat menyebutkan buku-buku yang telah ditulisnya dan berkata : “Aku ingin semua orang membacanya tanpa mengkaitkanya dengan namaku””.
Harmalah bin Yahya juga mengatakan : “Aku pernah mendengar As Syafi’i berkata : “Aku ingin setiap ilmu yang kumiliki, dimiliki oleh semua orang dan aku mendapatkan pahalanya tanpa ucapan terima kasih dari orang-orang itu”.” Beliau juga mengatakan demikian :
“Idza wajadtum fii kitaabii khilafa sunnati rasulillahi sallallahu ‘alaihi wasallam, fakuuluu sunnati rasulillahi sallallahu ‘alaihi wasallam, wa da’uu ma kultu”
“jika kalian mendapati dalam kitabku (suatu tulisan) yang menyelisihi sunnah Rasulullah saw , maka ambillah sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan perkataanku.
Dan beliau juga berkata :
“Idza sohhal hadits fahuwa madzhabii”
“jika hadits Nabi saw (derajatnya) shahih, maka itulah madhabku”
“Kullu haditsin ‘anin nabi saw fahuwa kaulii, wain lam tasma’uu minni”
“setiap hadits dari Nabi saw adalah pendapatku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkan dariku”
“Kullu maa kultu, fakaana ‘aninnabiyyi khilafu kaulii mimma yashihhu, fahadtsun nabiyyi awlaa, falaa tukalliduunii”
“segala pendapat yang aku katakan ,sedangkan hadits Nabi saw yang shahih menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi saw lebih utama (untuk diikuti) , dan janganlah kalian taklid kepadaku”.
Imam Syafi’i rahimahullah sendiri berkata : “Demi Allah aku belum pernah berdiskusi dengan seseorang kecuali dengan tujuan nasihat”. Seandainya aku menyampaikan tentang kebenaran kepada seseorang dengan bukti-bukti yang tepat, lalu diterima dengan baik, maka aku akan menjadi sayang dan akrab dengan orang tersebut. Sebaliknya jika orang tersebut sombong dan membantah bukti-bukti tadi, maka seketika itu juga orang tersebut jatuh dalam pandanganku”.
Dan beliau juga berkata : “ketahuilah bahwa perbuatan yang terberat itu ada tiga : “Memiliki harta sedikit tetapi dermawan. Takut kepada Allah swtdalam kedaaan sepi, dan mengatakan kebenaran kepada orang yang diharapkan serta ditakuti banyak orang”.
Ketaatannya Dan Ibadahnya Kepada Allah swt. Tentang ketaatan Imam Syafii dan ibadahnya kepada Allah, semua orang yang bergaul dengannya, guru maupun murid, tetangga maupun teman, semuanya mengakuinya.
Ar Rabii bin Sulaiman mengatakan : “Imam Syafii telah mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan yang kesemuanya itu terbaca dalam shalatnya”. Dan Imam Syafii pernah berkata kepadaku : “Semenjak usia 16 tahun aku belum pernah merasa kenyang, kecuali hanya sekali saja. Karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati dan dapat menghilangkan kecerdasan, mendatangkan rasa kantuk serta membuat malas seseorang untuk beribadah”.
Rabii juga mengatakan bahwa Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, bagian pertama untuk menulis, bagian kedua untuk shalat dan bagian ketiga untuk tidur.
Kedermawanannya Imam Syafi’i rahimahullah terkenal dengan kedermawanannya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diragukan lagi. Muhammad bin Abdullah Al Misri berkata : “Imam Syafii adalah orang yang paling dermawan terhadap apa yang dimilikinya”.
Dan Amr bin Sawwad As Sarji berkata : “Imam Syafii adalah orang yang paling dermawan dalam hal keduniaan. Beliau pernah berkata kepadaku : “Aku pernah bangkrut sebanyak tiga kali dalam hidupku, sampai aku menjual semua barang-barang yang aku miliki, baik yang mahal maupun yang murah, juga perhiasan anak dan istriku tetapi aku belum pernah menggadaikannya””.
Muhammad Al Busti As Sajastani juga mengatakan : “Imam Syafi’i rahimahullah belum pernah menyimpan sesuatu karena kedermawanannya”. Al Humaidi juga berkata tentang Syafi’i ketika beliau datang dari Makkah, Imam Syafii membawa uang sebanyak 10.000 dinar, kemudian bermukim di pinggiran kota Makkah, dan dibagi-bagikan uang itu kepada orang yang mengunjunginya. Dan ketika beliau meninggalkan tempat itu uangnya sudah habis.
Ar Rabbii’ menambahkan tentang hal ini : “Seandainya Imam Syafi’i didatangi oleh seseorang untuk meminta kepadanya, maka wajahnya merah karena malu kepada orang tersebut, lalu dengan cepat dia akan memberinya”.
Bukti-bukti tentang kedermawanan Imam Syafi’i rahimahullah banyak sekali dan tidak mungkin untuk mengungkapkannya di dalam lembaran yang pendek ini.
Wafatnya Imam Syafi’i rahimahullah Di Mesir (Di Fisthath) Tahun 204 H Al Muzni berkata ketika aku mengunjungi beliau yang sakit yang tidak lama kemudian beliau meninggal, aku bertanya kepadanya bagaimana keadaanmu? Beliau menjawab : “Tidak lama lagi aku akan meninggalkan dunia ini, meninggalkan saudara-saudaraku dan akan menjumpai Allah swt. Aku tidak tahu apakah aku masuk surga atau neraka”. Kemudian beliau menangis dan mengucapkan sebuah sya’ir
“Falamma kosaa kalbii wa dookot madzahidii
ja’altu rajaai nahwa ‘afwika sullamaa”
“ketika hatiku membeku dan menyempit semua jalan bagiku,
aku jadikan harapanku sebagai tangga untuk menuju ampunanMu”.
Rabii’ bin Sulaiman berkata : “Al Imam Syafi’i meningl dunia pada malam jum’at, sehabis isya’ akhir bulan Rajab. Kami menguburkannya pada hari jum’at, dan ketika kami meninggalkan pemakaman itu kami melihat bulan (hilal) Sya’ban 204”.
Ar Rabbii’ bercerita : “Beberapa hari setelah berpulangnya Imam Syafi’i rahimahullah ke Rahmatullah dan ketika itu kami sedang duduk berkeliling seperti tatkala Imam Syafi’i masih hidup, datang seorang badui dan bertanya : “Dimana matahari dan bulan (yaitu Imam Syafi’i) yang selalu hadir di tengah-tengah kalian?” kami menjawab : “Beliau telah wafat” kemudian orang itu menangis tersedu-sedu seraya berkata : “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya, sesungguhnya beliau dengan kata-kata yang indah telah membuka bukti-bukti yang dahulu tidak pernah kita ketahui. Dan mampu membuat bungkam musuh-musuhnya dengan bukti yang benar. Serta telah mencuci besih wajah-wajah yang menghitam karena aib dan membuka pintu-pintu yang dulu tertutup dengan pendapat-pendapatnya”. Setelah berucap kata-kata itu dia meninggalkan tempat itu”.
Ibnu Khollikan (penulis buku Wafiati A’yan) berkata : “Seluruh ulama’ hadits, fiqhi, usul, lughah, nahwu dan lain-lain sepakat bahwa Al Imam Syafi’i rahimahullah adalah orang yang tidak diragukan lagi kejujurannya, amanatnya, adilnya, zuhudnya, taatnya, akhlaqnya, kedermawannya dan kewibawaannya dikalangan para ulama’”.
Abu Hasan Al Razi berkata : “Aku belum pernah melihat Muhammad Al Hasan mengagungkan seorang ulama’ seperti dia mengagungkan Al Imam Syafi’i rahimahullah.”.
Abdullah din Ahmad bin Hambal betanya kepada ayahnya : “Ayah, bagaimana Imam Syafi’i itu? Aku sering kali melihatmu mendoakannya”.
Imam Ahmad bin hambal menjawab : “ketahuilah anakku, bahwa Imam Syafi’i itu ibarat matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia. Seandainya keduanya itu tidak ada, bagaimana mungkin dapat digantikannya dengan yang lain?”.
Hidup Mulia atau Mati Syahid!!!
***
Dari Sahabat

Kisah Dialog Rasulullah SAW Dengan Iblis Diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal r.a. dari Ibn Abbas r.a., ia berkata :”Kami bersama Rasululah SAW berada di rumah seorang sahabat dari golongan Anshar dalam sebuah jamaah. Tiba-tiba, ada yang memanggil dari luar :”Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, karena kalian membutuhkanku”.
Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat :”Apakah kalian tahu siapa yang menyeru itu?”. Para sahabat menjawab,”Tentu Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah berkata :”Dia adalah Iblis yang terkutuk – semoga Allah senantiasa melaknatnya”.
Umar bin Khattab r.a. berkata :”Ya, Rasulullah , apakah engkau mengijinkanku untuk membunuhnya?”.
Nabi SAW berkata pelan :”Bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa dia termasuk mereka yang tertunda kematiannya sampai waktu yang ditentukan [hari kiyamat]?. Sekarang silakan bukakan pintu untuknya, karena ia sedang diperintahkan Allah SWT. Fahamilah apa yang dia ucapkan dan dengarkan apa yang akan dia sampaikan kepada kalian!”.
Ibnu Abbas berkata :”Maka dibukalah pintu, kemudian Iblis masuk ke tengah-tengah kami. Ternyata dia adalah seorang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Dagunya berjanggut sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda, kedua kelopak matanya [masyquqatani] memanjang [terbelah ke-atas, tidak kesamping], kepalanya seperti kepala gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti taring babi, kedua bibirnya seperti bibir macan / kerbau [tsur].
Dia berkata,”Assalamu ‘alaika ya Muhammad, assalamu ‘alaikum ya jamaa’atal-muslimin [salam untuk kalian semua wahai golongan muslimin]“.
Nabi SAW menjawab : ”Assamu lillah ya la’iin [Keselamatan hanya milik Allah SWT, wahai makhluq yang terlaknat. Aku telah mengetahui, engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluanmu wahai Iblis".
Iblis berkata : ”Wahai Muhammad, aku datang bukan karena keinginanku sendiri, tetapi aku datang karena terpaksa [diperintah] .”
Nabi SAW berkata : ”Apa yang membuatmu terpaksa harus datang kesini, wahai terlaknat?”.
Iblis berkata,”Aku didatangi oleh seorang malaikat utusan Tuhan Yang Maha Agung, ia berkata kepada-ku ‘Sesungguhnya Allah SWT menyuruhmu untuk datang kepada Muhammad SAW dalam keadaan hina dan bersahaja. Engkau harus memberitahu kepadanya bagaimana tipu muslihat, godaanmu dan rekayasamu terhadap Bani Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Engkau harus menjawab dengan jujur apa saja yang ditanyakan kepa-damu’ . Allah SWT bersabda,”Demi kemulia-an dan keagungan-Ku, jika engkau berbohong sekali saja dan tidak berkata benar, niscaya Aku jadikan kamu debu yang dihempas oleh angin dan Aku puaskan musuhmu karena bencana yang menimpamu”. Wahai Muhammad, sekarang aku datang kepadamu sebagaimana aku diperintah. Tanyakanlah kepadaku apa yang kau inginkan. Jika aku tidak memuaskanmu tentang apa yang kamu tanyakan kepadaku, niscaya musuhku akan puas atas musibah yang terjadi padaku. Tiada beban yang lebih berat bagiku daripada leganya musuh-musuhku yang menimpa diriku”.
Rasulullah kemudian mulai bertanya :”Jika kamu jujur, beritahukanlah kepada-ku, siapakah orang yang paling kamu benci ?”.
Iblis menjawab :”Engkau, wahai Muhammad, engkau adalah makhluq Allah yang paling aku benci, dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu”.
Rasulullah SAW :”Siapa lagi yang kamu benci?”.
Iblis :”Anak muda yang taqwa, yang menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT”.
Rasulullah :”Lalu siapa lagi ?”.
Iblis :”Orang Alim dan Wara [menjaga diri dari syubhat] yang saya tahu, lagi penyabar”.
Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.
Iblis :”Orang yang terus menerus menjaga diri dalam keadaan suci dari kotoran”.
Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.
Iblis :”Orang miskin [fakir] yang sabar, yang tidak menceritakan kefakirannya kepada orang lain dan tidak mengadukan keluh-kesahnya”.
Rasulullah :”Bagaimana kamu tahu bahwa ia itu penyabar ?”.
Iblis :”Wahai Muhammad, jika ia mengadukan keluh kesahnya kepada makhluq sesamanya selama tiga hari, Tuhan tidak memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang sabar”.
Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.
Iblis :”Orang kaya yang bersyukur”.
Rasulullah bertanya :”Bagaimana kamu tahu bahwa ia bersyukur ?”.
Iblis :”Jika aku melihatnya meng-ambil dari dan meletakkannya pada tempat yang halal”.
Rassulullah :”Bagaimana keadaanmu jika umatku mengerjakan shalat ?”.
Iblis :”Aku merasa panas dan gemetar”.
Rasulullah :”Kenapa, wahai terlaknat?”.
Iblis :”Sesungguhnya, jika seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud saja, maka Allah mengangkat derajatnya satu tingkat”.
Rassulullah :”Jika mereka shaum ?”.
Iblis :”Saya terbelenggu sampai mereka berbuka puasa”.
Rasulullah :”Jika mereka menunaikan haji ?”.
Iblis :”Saya menjadi gila”.
Rasulullah :”Jika mereka membaca Al Qur’an ?’.
Iblis :’ Aku meleleh seperti timah meleleh di atas api”.
Rasulullah :”Jika mereka berzakat ?”.
Iblis :”Seakan-akan orang yang berzakat itu mengambil gergaji / kapak dan memotongku menjadi dua”.
Rasulullah :”Mengapa begitu, wahai Abu Murrah ?”.
Iblis :”Sesungguhnya ada empat manfaat dalam zakat itu. Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan orang yang bezakat disenangi makhluq-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Ke-empat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya”.
Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Abu Bakar?”.
Iblis :”Wahai Muhammad, pada zaman jahiliyah, dia tidak taat kepadaku, bagaimana mungkin dia akan mentaatiku pada masa Islam”.
Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Umar ?”.
Iblis :”Demi Tuhan, tiada aku ketemu dengannya kecuali aku lari darinya”.
Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Utsman ?”.
Iblis :”Aku malu dengan orang yang para malaikat saja malu kepadanya”.
Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib ?”.
Iblis :”Andai saja aku dapat selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya [menukar darinya kepala dengan kepala], dan kemudian ia meninggalkanku dan aku meninggalkannya, tetapi dia sama sekali tidak pernah melakukan hal itu”.
Rasulullah :”Segala puji hanya bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu sampai hari kiamat”.
Iblis yang terlaknat berkata kepada Muhammad :”Hay-hata hay-hata [tidak mungkin- tidak mungkin]. Mana bisa umatmu bahagia sementara aku hidup dan tidak mati sampai hari kiamat. Bagaimana kamu senang dengan umatmu sementara aku masuk ke dalam diri mereka melalui aliran darah, daging, sedangkan mereka tidak melihatku. Demi Tuhan yang menciptakanku dan membuatku menunggu sampai hari mereka dibangkitkan. Akan aku sesatkan mereka semua, baik yang bodoh maupun yang pandai, yang buta-huruf dan yang melek-huruf. Yang kafir dan yang suka beribadah, kecuali hamba yang mukhlis [ikhlas]“.
Rasulullah :”Siapa yang mukhlis itu menurutmu ?”.
Iblis dengan panjang-lebar menjawab :”Apakah engkau tidak tahu, wahai Muhammad. Barangsiapa cinta dirham dan dinar, dia tidak termasuk orang ikhlas untuk Allah. Jika aku melihat orang tidak suka dirham dan dinar, tidak suka puji dan pujaan, aku tahu bahwa dia itu ikhlas karena Allah, maka aku tinggalkan ia. Sesungguhnya hamba yang mencintai harta, pujian dan hatinya tergantung pada nafsu [syahwat] dunia, dia lebih rakus dari orang yang saya jelaskan kepadamu.
Tak tahukah engkau, bahwa cinta harta termasuk salah satu dosa besar. Wahai Muhammad, tak tahukan engkau bahwa cinta kedudukan [riyasah] termasuk dosa besar. Dan bahwa sombong, juga termasuk dosa besar. Wahai Muhammad, tidak tahukan engkau, bahwa aku punya tujuh puluh ribu anak. Setiap anak dari mereka, punya tujuh puluh ribu syaithan. Diantara mereka telah aku tugaskan untuk menggoda golongan ulama, dan sebagian lagi menggoda anak muda, sebagian lagi menggoda orang-orang tua, dan sebagian lagi menggoda orang-orang lemah.
Adapun anak-anak muda, tidak ada perbedaan di antara kami dan mereka, sementara anak-anak kecilnya, mereka bermain apa saja yang mereka kehendaki bersamanya. Sebagian lagi telah aku tugaskan untuk menggoda orang-orang yang rajin beribadah, sebagian lagi untuk kaum yang menjauhi dunia [zuhud]. Setan masuk ke dalam dan keluar dari diri mereka, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu pintu ke pintu yang lain, sampai mereka mempengaruhi manusia dengan satu sebab dari sebab-sebab yang banyak. Lalu syaithan mengambil keikhlasan dari mereka. Menjadikan mereka menyembah Allah tanpa rasa ikhlas, tetapi mereka tidak merasa. Apakah engkau tidak tahu, tentang Barshisha, sang pendeta yang beribadah secara ikhlas selama tujuh puluh tahun, hingga setiap orang yang sakit menjadi sehat berkat da’wahnya. Aku tidak meninggalkannya sampai dia dia berzina, membunuh, dan kafir [ingkar]. Dialah yang disebut oleh Allah dalam Qur’an dengan firmannya [dalam Surah Al Hasyr] :”
(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaitan ketika mereka berkata pada manusia:”Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata:”Sesungguhn ya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam”. (QS. 59:16).
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu berasal dariku. Akulah orang yang pertama kali berbohong. Barangsiapa berbohong, dia adalah temanku, dan barangsiapa berbohong kepada Allah, dia adalah kekasihku. Apakah engkau tidak tahu, bahwa aku bersumpah kepada Adam dan Hawa,”Demi Allah aku adalah penasihat kamu berdua”. Maka, sumpah palsu merupakan kesenangan hatiku, ghibah, membicarakan kejelekan orang lain, dan namimah, meng-adu domba adalah buah kesukaanku, melihat yang jelek-jelek adalah kesukaan dan kesenanganku. Barangsiapa thalaq, bersumpah untuk cerai, dia mendekati perbuatan dosa, meskipun hanya sekali, dan meskipun ia benar. Barangsiapa membiasakan lisannya dengan ucapan cerai, istrinya menjadi haram baginya. Jika mereka masih memiliki keturunan sampai hari kiyamat, maka anak mereka semuanya adalah anak-anak hasil zina. Mereka masuk neraka hanya karena satu kata saja.
Wahai Muhammad, sesungguhnya diantara umatmu ada yang meng-akhirkan shalat barang satu dua jam. Setiap kali mau shalat, aku temani dia dan aku goda dia. Kemudian aku katakan kepadanya:”Masih ada waktu, sementara engkau sibuk”. Sehingga dia mengakhirkan shalatnya dan mengerjakannya tidak pada waktunya, maka Tuhan memukul wajahnya. Jika ia menang atasku, maka aku kirim satu syaithan yang membuatnya lupa waktu shalat. Jika ia menang atasku, aku tinggalkan dia sampai ketika mengerjakan shalat aku katakan kepadanya,’ Lihatlah kiri-kanan’, lalu ia menengok. Saat itu aku usap wajahnya dengan tanganku dan aku cium antara kedua matanya dan aku katakan kepadanya,’ Aku telah menyuruh apa yang tidak baik selamanya’. Dan engkau sendiri tahu wahai Muhammad, siapa yang sering menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul wajahnya.
Jika ia menang atasku dalam hal shalat, ketika shalat sendirian, aku perintahkan dia untuk tergesa-gesa. Maka ia ‘mencucuk’ shalat seperti ayam mematuk biji-bijian dengan tergesa-gesa. Jika ia menang atasku, maka ketika shalat berjamaah aku cambuk dia dengan ‘lijam’ [cambuk] lalu aku angkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepalanya. Aku letakkan ia hingga mendahului imam. Kamu tahu bahwa siapa yang melakukan itu, batal-lah shalatnya dan Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala keledai pada hari kiyamat nanti.
Jika ia masih menang atasku, aku perintahkan dia untuk mengacungkan jari-jarinya ketika shalat sehingga dia mensucikan aku ketika ia sholat. Jika ia masih menang, aku tiup hidungnya sampai dia menguap. Jika ia tidak menaruh tangan di mulutnya, syaithan masuk ke dalam perutnya dan dengan begitu ia bertambah rakus di dunia dan cinta dunia. Dia menjadi pendengar kami yang setia.
Bagaimana umatmu bahagia sementara aku menyuruh orang miskin untuk meninggalkan shalat. Aku katakan kepadanya,’ Shalat tidak wajib atasmu. Shalat hanya diwajibkan atas orang-orang yang mendapatkan ni’mat dari Allah’. Aku katakan kepada orang yang sakit :”Tinggalkanlah shalat, sebab ia tidak wajib atasmu. Shalat hanya wajib atas orang yang sehat, karena Allah berkata :”Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, ………
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (QS. 24:61) Tidak ada dosa bagi orang yang sakit. Jika kamu sembuh, kamu harus shalat yang diwajibkan”. Sampai dia mati dalam keadaan kafir. Jika dia mati dan meninggalkan shalat ketika sakit, dia bertemu Tuhan dan Tuhan marah kepadanya. Wahai Muhammad, jika aku bohong dan ngawur, maka mintalah kepada Tuhan untuk membuatku jadi pasir. Wahai Muhammad, bagaimana engkau bahagia melihat umatmu, sementara aku mengeluarkan seper-enam umatmu dari Islam.
Nabi berkata :”Wahai terlaknat, siapa teman dudukmu ?”.
Iblis :”Pemakan riba”.
Nabi :”Siapa teman kepercayaanmu [shadiq] ?”.
Iblis :”Pe-zina”.
Nabi :”Siapa teman tidurmu ?”.
Iblis :”Orang yang mabuk”.
Nabi :”Siapa tamumu ?”.
Iblis :”Pencuri”.
Nabi :”Siapa utusanmu ?”.
Iblis :”Tukang Sihir”.
Nabi :”Apa kesukaanmu ?”.
Iblis :”Orang yang bersumpah cerai”.
Nabi :”Siapa kekasihmu ?”.
Iblis :”Orang yang meninggalkan shalat Jum’at”.
Nabi :”Wahai terlaknat, siapa yang memotong punggungmu ?”.
Iblis :”Ringkikan kuda untuk berperang di jalan Allah”.
Nabi :”Apa yang melelehkan badanmu ?”.
Iblis :”Tobatnya orang yang bertaubat”.
Nabi :”Apa yang menggosongkan [membuat panas] hatimu ?”.
Iblis :”Istighfar yang banyak kepada Allah siang-malam.
Nabi :”Apa yang memuramkan wajahmu (membuat merasa malu dan hina)?”.
Iblis :”Zakat secara sembunyi-sembunyi”.
Nabi :”Apa yang membutakan matamu ?”.
Iblis :”Shalat diwaktu sahur [menjelang shubuh]”.
Nabi :”Apa yang memukul kepalamu ?”.
Iblis :”Memperbanyak shalat berjamaah”.
Nabi :”Siapa yang paling bisa membahagiakanmu ?”.
Iblis :”Orang yang sengaja meninggalkan shalat”.
Nabi :”siapa manusia yang paling sengsara [celaka] menurutmu?”.
Iblis :”Orang kikir / pelit”.
Nabi :”Siapa yang paling menyita pekerjaanmu [menyibukkanmu] ?”.
Iblis :”Majlis-majlis ulama”.
Nabi :”Bagaimana kamu makan ?”.
Iblis :”Dengan tangan kiriku dan dengan jari-jariku”.
Nabi :”Dimana kamu lindungkan anak-anakmu ketika panas ?”.
Iblis :”Dibalik kuku-kuku manusia”.
Nabi :”Berapa keperluanmu yang kau mintakan kepada Allah ?”.
Iblis :”Sepuluh perkara”.
Nabi :”Apa itu wahai terlaknat ?”.
Iblis :”Aku minta kepada-Nya untuk agar saya dapat berserikat dalam diri Bani Adam, dalam harta dan anak-anak mereka. Dia mengijinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS. 17:64)
Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan ketika bersetubuih dengan istrinya maka syaithan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku. Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya.
Itulah maksud firman Allah :”……. , dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki …… (QS. 17:64) . Saya memohon kepada-Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar-mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Aku memohon agar saya punya al-Qur’an, maka syair adalah al-Qur’anku. Saya memohon agar punya adzan, maka terompet adalah panggilan adzanku. Saya memohon agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya punya teman-teman yang menolongku, maka maka kelompok al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku. Dan saya memohon agar saya memiliki teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfaq-kan harta kekayaannya untuk kemaksiyatan adalah teman dekat-ku. Ia kemudian membaca ayat : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS. 17:27)
Rasulullah berkata :”Andaikata tidak setiap apa yang engkau ucapkan didukung oleh ayat-ayat dari Kitabullah tentu aku tidak akan membenarkanmu”.
Lalu Iblis meneruskan :”Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam sementara mereka tidak dapat melihatku. Kemudian Allah menjadikan aku dapat mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku dapat berjalan kemanapun sesuai dengan kemauanku dan dengan cara bagaimanapun. Kalau saya mau, dalam sesaatpun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku:”Engkau dapat melakukan apa saja yang kau minta”. Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari kiamat . Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari kiamat.
Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Isya. Andaikata tidak karenanya tentu ia tidak akan tidur lebih dahulu sebelum menjalankan shalat. Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan ibadah dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamer-kan ditengah-tengah manusia sehingga semua manusia tahu. Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahala-Nya sehingga yang tersisa hanya satu pahala, sebab, setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala. Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal. Ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang ada di majlis pengajian dan ketika khatib sedang memberikan khutbah, sehingga, mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak dapat mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Bagi mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikitpun untuk selamanya.
Setiap kali ada perempuan keluar pasti ada syaithan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi kepada orang-orang yang melihatnya. Kedua syaithan itu kemudian berkata kepadanya, ‘ keluarkan tanganmu’. Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya.
Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak dapat menyesatkan sedikitpun, akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikata saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak akan membiarkan segelintir manusia-pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan”Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, dan tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak memberikan hidayat sedikitpun kepada siapa saja, akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanah dari Tuhan. Andaikata engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang-pun kafir di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai hujjah [argumentasi] Tuhan terhadap makhluq-Nya. Sementara saya adalah hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah menjadi orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya.
Kemudian Rasulullah SAW membacakan firman dalam QS Hud : Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (QS. 11:118) kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguh-nya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. 11:119) dilanjutkan dengan : Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (QS. 33:38)”.
Kemudian Rasulullah berkata lagi kepada Iblis :”Wahai Abu Murrah [Iblis], apakah engkau masih mungkin bertaubat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjamin-mu masuk surga”.
Ia iblis menjawab :”Wahai Rasulullah, ketentuan telah memutuskan dan Qalam-pun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari kiamat nanti. Maka Maha Suci Tuhan, yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan Khatib para penduduk surga. Dia, telah memilih dan meng-khususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang yang celaka dan khatib para penduduk neraka. Saya adalah makhluq celaka lagi terusir. Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu dan saya mengatakan yang sejujurnya”.
Segala puji hanya milik Allah SWT , Tuhan Semesta Alam, awal dan akhir, dzahir dan bathin. Semoga shalawat dan salam sejahtera tetap selalu diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sahabatnya serta para Utusan dan Para Nabi.
Hikmah dari Kisah tersebut di atas Sebagai upaya mencari hikmah dalah kisah di atas, rangkuman ini barangkali berguna untuk direnungkan :
  • Kita perlu semakin menancapkan keyakinan, bahwa syaithan tidak punya kuasa sedikitpun bagi orang-orang yang disucikan-Nya.
  • Jadi upaya kita adalah memohon kepada Allah Ta’Ala agar Dia ridho dan berkenan membersihkan segala dosa baik sengaja maupun tidak untuk mendapatkan ampunan-Nya.
  • Bila kita simak, perbedaan mendasar keyakinan Iblis adalah tidak ada keinginannya untuk bertaubat, walau Rasulullah SAW telah menghimbaunya bahkan dengan menawarkan jaminan untuk mendapatkan ampunan. Dengan tegas Allah berfirman : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. 20:82).
  • Bila kita cermati hadangan dan rintangan yang akan dilakukan oleh Iblis dari kisah tersebut membuat kesadaran bahwa upaya untuk menjalani kehidupan sungguh tidak mudah.
  • Hanya karena Maha Rahman dan Maha Rakhiim-Nya sajalah kita akan selamat dalam menjalani kehidupan ini hingga akan selamat dari jebakan-jebakan syaithan.
***
Naskah ini disarikan dari dua rujukan. Terdapat beberapa perbedaan kecil atas terjemahan, kami mencoba merangkumnya.
Source -I : Bab-II POHON SEMESTA / Pustaka Progressif / Cetakan-I/Oktober 1999. Dari Kitab Sajaratul Kaun oleh Muhyiddin Ibnu Arabi / Darul ‘Ilmi al-Munawar asy-Syamsiyah, Madinah. Translated by : Nur Mufid, Nur Fu’ad.
Source-II : Dari Judul Asli : Syajaratul Kaun dan Hikayah Iblis. Risalah Muhyiddin Ibnu al-’Arabi [Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1360/1941 ] Translated By : Wasmukan, Risalah Gusti / Cetakan-II, Mei 2001

  

Orang Yang Beriman Selalu Menepati Ucapannya 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Orang Yang Beriman Selalu Menepati Ucapannya
Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika Umar sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, tiga pemuda bangsawan yang tampan memasuki majelisnya. Dua orang di antaranya berkata, “Kami berdua bersaudara. Ketika ayah kami sedang bekerja di ladangnya, dia dibunuh oleh pemuda ini, yang sekarang kami bawa kepada tuan untuk diadili. Hukumlah dia sesuai dengan Kitabullah.” Khalifah Umar menatap orang yang ketiga dan memintanya untuk berbicara.
“Walaupun di sana tidak ada saksi sama sekali, Allah, Yang selalu Hadir, mengetahui bahwa mereka berdua berkata yang sebenar-benarnya,” kata si tertuduh itu. “Aku sangat menyesal ayah mereka terbunuh di tanganku. Aku orang dusun. Aku tiba di Madinah tadi pagi untuk berziarah ke makam Rasullulah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk menyucikan diri dan berwudhu. Kudaku mulai memakan ranting-ranting pohon kurma yang bergelantungan melewati tembok. Segera setelah aku melihatnya, aku menarik kuda menjahui ranting-ranting tersebut. Pada saat itu juga, seorang laki-laki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu itu ke kepala kidaku, dan kudaku langsung mati. Karena itu aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparkannya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi kemana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di sini, di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang tuanlah yang berhak mengadili aku.”
Khalifah berkata, “Engkau telah melakukan membunuh. Menurut hukum Islam, engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah engkau lakukan.” Walaupun pernyataan itu berati satu pengumuman kematian, pemuda itu tetap bersabar; dan dengan tenang dia berkata, “Kalau begitu, laksanakanlah. Namun, aku menanggung satu tanggung jawab untuk menyimpan harta kekayaan anak yatim yang harus aku serahkan kepadanya bila ia telah cukup umur. Aku menyimpan harta tersebut di dalam tanah agar aman. Tak ada seorangpun yang tahu letaknya kecuali aku. Sekarang aku harus menggalinya dan menyerahkan harta tersebut kepada pengawasan orang lain. Kalau tidak, anak yatim itu akan kehilangan haknya. Beri aku tiga hari untuk pergi ke desaku dan menyelesaikan masalah ini.”
Umar menjawab, “Permintaanmu tidak dapat dipenuhi kecuali ada orang lain yang bersedia menggantikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu.”
“Wahai Amirul Mukminin,” kata pemuda tersebut, “Aku dapat melarikan diri sebelumnya jika aku mau. hatiku sarat dengan rasa takut kepada Allah; yakinlah bahwa aku akan kembali.” Khalifah menolak permintaan itu atas dasar hukum. Pemuda itu memandang kepada para pengikut Rasullulah saw, yang mulia yang berkerumun di sekeliling khalifah. Dengan memilih secara acak, ia menunjuk Abu Dzar Al-Ghifari dan berkata, “Orang ini akan menjadi jaminan bagiku.” Abu Dzar adalah salah satu saeorang sahabat Rasulullah saw, yang paling dicintai dan disegani. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu. Si tertuduh pun dibebaskan untuk sementara waktu.
Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi tertuduh itu tidak ada. Kedua penuduh itu berkata: “Wahai Abu Dzar, anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidal akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”
Khalifah berkata: “Sungguh, bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inpirasi bagi semua penduduk Madinah.
Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat. “Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir,” dia berkata terengah-engah, “Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjalanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.” Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, “Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, “Orang-orang Islam tidak kagi menepati ucapannya sendiri?”
Kerumunan massa itu kemudian berpaking kepada Abu Dzr dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawab, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?” Hati dan perasaan kedua penuduh itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam?” s
Oleh: Sumarah Wahyudi, sumber buku FUTUWWAH.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
 

  

Kekuatan Sedekah
Dikisahkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sbb : Tatkala Allah Ta’ala menciptakan bumi, maka bumipun bergetar. Lalu Allah menciptakan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumipun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada gunung?”
Allah menjawab, “Ada, yaitu besi” (kita mafhum bahwa gunung batupun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi),
Para malaikat bertanya lagi “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada besi?” Allah yang Maha Suci menjawab, “Ada, yaitu api” (besi, bahkan bajapun bisa menjadi cair dan lumer setelah dibakar api),
Para malaikat kembali bertanya “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada api?” Allah yang Maha Agung menjawab, “Ada, yaitu air” (api membara sedahsyat apapun niscaya akan padam jika disiram air),
Para malaikatpun bertanya kembali “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada air?” Allah yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna menjawab, “Ada, yaitu angin” (air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tiada lain karena kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).
Akhirnya para malaikatpun bertanya lagi “Ya Allah, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dahsyat dari itu semua?”
Allah yang Maha Gagah dan Maha Dahsyat kehebatannya menjawab, “Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya”. Artinya, yang paling hebat, paling kuat dan paling dahsyat sebenarnya adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.
Berkaitan dengan ikhlas ini, Rasul Allah SAW mengingatkan dalam pidatonya ketika beliau sampai di Madinah pada waktu hijrah dari Makkah: “Wahai segenap manusia ! Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niat, dan seseorang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang diniatkannya”.
Oleh karena itu hendaknya kita selalu mengiringi sedekah kita dengan niat yang ikhlas hanya karena Allah semata, tanpa tendensi ingin dipuji, dianggap dermawan, dihormati, dll yang dapat menjadikan sedekah kita menjadi sia-sia.
***
Dari Sahabat

Permalink | Balas  

Memimpin dengan Rendah Hati
Pemimpin, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah pelayan umatnya. Bukan sebaliknya, bagai “raja” yang selalu minta dilayani
Setelah diumumkan pengangkatannya menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, beliau pun tak mau keluar menemui seorang.
Dalam kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur, berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan cucuran air mata.
Tiga hari kemudian beliau keluar. Para pengawal menyambutnya, hendak memberi hormat. Umar malah mencegahnya. “Kalian jangan memulai salam kepadaku, bahkan salam itu kewajiban saya kepada kalian.”
Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.
Umar menuju ke sebuah ruangan. Para pembesar dan tokoh telah menunggunya. Hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?
“Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul-’Alamin.”
Itulah yang dikatakan pertama kali kepada rakyatnya.
Buka Hati
Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian. Sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin adalah pelayan umatnya.
Sabda Nabi itu sungguh istimewa, sebab seorang pemimpin biasanya seperti seorang raja. Dan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan.
Ternyata Umar tidak serta merta meneruskan budaya yang sebenarnya menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau tak mau dihormati berlebihan dan hidup dalam kemewahan. Ia memilih sikap rendah hati dan sederhana.
Sebagai pemimpin besar, bersikap rendah hati, sederhana, dan melayani tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata, siapa tak tergiur?
Di negeri kita ini, kedudukan dan jabatan malah jadi rebutan. Bahkan banyak yang mati-matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya. Setelah berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan adalah pesta kemenangan. Kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Sim salabim, jadilah OKB (Orang Kaya Baru). Gaya hidup dan pergaulannya berbeda dengan sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah memang impiannya.
Mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup mewah itu, apa sih sesungguhnya dicari? Dengan mobil mewah, rumah megah, pakaian serba mahal, apa sebenarnya yang dirindukan lubuk hati? Mungkin terdetak dorongan hidup terhormat dan dimuliakan.
Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh kalau ada orang bercita-cita hidup hina dan direndahkan. Tetapi benarkah kemuliaan dan kehormatan dapat dicapai dengan hidup berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama-nama orang yang menggetarkan hati karena kemuliaan dan kehormatannya. Cermati satu per satu. Benarkah hati Anda terkesan karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada Umar. Kita tenangkan hati dan jernihkan pikiran sejenak. Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja-raja yang lain, akankah memiliki nama harum seperti saat ini?
Mungkin saja kemewahan singgasana bisa menjadi topeng kemuliaan di muka rakyat. Tetapi berapa lama “kemuliaan” seperti itu bisa bertahan?
Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum. Terbukti bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang sombong. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 18-19)
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.
Ketika sedang memegang kekuasaan, yang dipikirkan adalah apa yang dapat diambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat diberikan pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan, seolah yang harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiyaa’: 107). Dengan berbagi rahmat, tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan.
Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana karyawannya sejahtera. Karyawan pun berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah yang mengasihi keluarganya akan mengantar pada suasana sakinah. Anak-anaknya pun termotivasi untuk meneladani dan berbakti kepada kedua orangtuanya.
Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin. Dan setiap kita pada hakikatnya adalah pemimpin, begitu sabda Rasulullah.
Bila setiap orang berpikir minta dilayani, yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani stafnya. Majikan memeras para karyawan. Petugas mempersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil ‘alamin, tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat, malah dikuras untuk bermewah-mewah diri dan kroninya. Hutan digunduli sehingga banjir dan longsor di sana-sini. Rakyatlah yang jadi korban.
Melihat perilaku pemimpin yang seperti itu, rakyat pun ikut-ikutan mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan, namun belum bersyukur dan malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin. Sungguh cara hidup yang tidak akan berujung kepada kemuliaan, tetapi justru kehinaan. Dan inilah yang banyak disaksikan di sekeliling kita sekarang.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Israa’: 16)
Agar mampu rahmatan lil ‘alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu, harus diganti dengan kebeningan nurani.
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan keikhlasannya?
Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan keberkahan rendah hati. Meski hanya menjabat dua tahun, terjadi perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk seketika berubah menjadi baik.
Umat akan terinspirasi pemimpin yang rendah hati dan teramat jujur itu. Yang menjadi pembicaraan heboh saat itu di berbagai sudut kota, warung, sampai pinggiran ladang di desa adalah masalah iman dan amal shalih. Mungkin seheboh dunia ini ketika dihipnotis oleh perhelatan Piala Dunia yang belum lama berakhir.
Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya. Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat. Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” ( Al-A’raaf: 96)
Alam dan binatang pun digambarkan turut berbahagia. Para gembala yang biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh serigala, saat itu kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan dibuka Allah bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah.
Atas prestasi gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafa’ Ar-Rasyidin kelima setelah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan Ali.
***
[Hanif Hannan/Hidayatullah]
Kisah Abdullah bin Al-Mubarak Dengan Seorang Yang Ditahan Karena Dililit Hutang Oleh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil
Dari Muhammad bin Isa diriwayatkan bahwa ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak biasa pulang pergi ke Tharasus. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan. Ada seorang pemuda yang mondar-mandir mengurus kebutuhan beliau sambil belajar hadits.
Diriwayatkan bahwa suatu hari beliau mampir ke penginapan itu namun tidak mendapati pemuda tersebut. Kala itu, beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama pasukan kaum muslimin. Sepulangnya beliau dari peperangan itu, beliau kembali ke penginapan tersebut dan menanyakan perihal pemuda tersebut. Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu ditahan akibat terlilit hutang yang belum dibayarnya.
Maka Abdullah bin Al-Mubarak bertanya: Berapa jumlah hutangnya? Mereka menjawab: Sepuluh ribu dirham. Beliau segera menyelidiki sampai beliau dapatkan pemilik hutang hutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam harinya dan langsung menghitung dan membayar hutang pemuda tadi. Namun beliau meminta lelaki itu untuk tidak memberitahukan kejadian itu kepada siapapun selama beliau masih hidup.
Beliau berkata: Apabila pagi tiba, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan. Abdullah segera berangkat pergi, dan pemuda itu segera dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya: Kemarin Abdullah bin Al-Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang dia sudah pergi. Si pemuda segera menyusuri jejak Abdullah dan berhasil menjumpai beliau kira-kira dua atau tiga marhalah (satu marhalah kira-kira dua belas mil -pent) dari penginapan.
Beliau (Abdullah) bertanya; Kemana saja engkau? Saya tidak melihat engkau di penginapan?
Pemuda itu menjawab: Betul wahai Abu Abdirrahman, saya ditahan karena hutang.
Beliau bertanya lagi: Lalu bagaimana engkau dibebaskan? Ada seseorang yang datang membayarkan hutangku. Sampai aku dibebaskan, aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.
Maka beliau berkata: Wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga lepas dari hutang.
Lelaki pemilik hutang itu tidak pernah memberitahukan kepada siapapun sehingga Abdullah bin Al-Mubarak wafat. [Shifatush Shafwah IV:141,142]
***
Dinukil dari: Panduan Akhlak Salaf, Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil Baha-uddien `Aqiel.
Penerjemah: Abu Umar Basyir Al-Medani. Penerbit: At-Tibyan – Solo, Cet. pertama, September 2000. Di bawah judul; Ulama As-Salaf Dalam Kejujuran dan Keikhlasan, halaman.8-9.

, , , , , ,   

Keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq
Anas meriwayatkan dari Abu Bakr bahwa ia berkata: “Saya pernah berkata kepada Rasululloh ketika kami berdua berada dalam gua: ‘Sekiranya salah seorang melihat ke arah telapak kakinya pasti dapat melihat kita!’ beliau bersabda: ‘Bagaimana perkiraanmu wahai Abu Bakr jika ada dua orang sedang Alloh yang ketiganya.’” (HR. Bukhori dan Muslim)
‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasululloh pernah berkata kepadanya saat beliau sakit: “Panggilah Abu Bakr kemari, ayahmu, dan saudara laki-lakimu agar aku menulis sebuah pesan, sebab aku khawatir akan muncul orang yang berharap lalu berkata: ‘Aku lebih berhak.’ Sesungguhnya Alloh dan segenap kaum mukminin hanya rela menerima Abu Bakr.” (HR. Muslim)
Jubeir bin Mu’thim meriwayatkan: “Seorang manusia datang menemui Rasululloh. Kemudian Rasululloh menyuruhnya agar datang di lain hari. Wanita itu bertanya: ‘Bagaimana jika nantinya aku tidak menemuimu lagi?’ Maksudnya bagaimana bila beliau telah wafat? Rasululloh menjawab: ‘Jika engkau tidak menemuiku maka temuilah Abu Bakr.’” (HR. Bukhori dan Muslim)
Ketiga hadis di atas cukuplah menjadi bukti kuat bahwa Rasululloh mengangkat Abu Bakr menjadi khalifah sepeninggal beliau. Sebagaimana juga Rasululloh mengangkatnya menjadi imam sholat sewaktu beliau masih hidup. Demikian juga kaum muslimin telah sepakat mengangkat Abu bakr menjadi khalifah dan membaiatnya.
Di antara hadis yang menjelaskan keutamaan Abu Bakr adalah hadis: “Andaikata aku akan mengangkat seorang khalil (kekasih) dari umatku niscaya aku angkat Abu Bakr, tetapi cukuplah sebagai saudara dan sahabatku. Sungguh Alloh telah mengangkat sahabat kalian ini (maksudnya diri beliau sendiri) menjadi khalil-Nya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan salah satu keutamaan beliau yakni beliau masuk surga dari kedelapan pintunya. Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata “Ayah dan ibuku menjadi tebusannya wahai Rasululloh, cukuplah seseorang dipanggil dari salah satu pintu tersebut, lalu adakah yang dipanggil dari seluruh pintu?” Rasululloh menjawab ”Ada, dan saya berharap engkau termasuk orang yang dipanggil dari seluruh pintu wahai Abu Bakr!”
Diantara keutamaannya adalah beliaulah yang menginfakkan seluruh hartanya fisabilillah. Oleh sebab itu Rasululloh bersabda “Sesungguhnya yang paling besar jasanya padaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakr.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau termasuk sahabat yang paling banyak mengerjakan amal kebajikan dan termasuk yang terdepan daripada sahabat lainnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasululloh bersabda, “Siapakah diantara kalian yang berpuasa pada hari ini?” Abu Bakr menjawab ”Saya!” Rasul bertanya lagi ”Siapakah diantara kalian yang mengiringi jenazah pada hari ini?” Abu Bakr menjawab ”Saya!”. “Siapakah yang memberi makan fakir miskin pada hari ini?” tanya Rasul lagi. “Saya!” jawab Abu Bakr. “Siapakah diantara kalian yang menjenguk orang sakit pada hari ini?” tanya Rasul pula. “Saya!” jawab Abu Bakr. Kemudian Rasululloh bersabda “Tidaklah terkumpul perkara tersebut pada seorang hamba kecuali pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Itu hanya sebagian dari keutamaan beliau. Beliau adalah penghulu para sahabat, yang paling utama dan paling disayangi oleh Rasululloh. Dalam Shahih Al-Bukhori diriwayatkan bahwa ketika para sahabat berkumpul di aula Bani Sa’idah, Umar berkata “Justru kami akan membaiatmu! Engkau adalah penghulu kami, orang terbaik diantara kami dan yang lebih dicintai oleh Rasululloh daripada kami semua.” Lalu Umar meraih tangan Abu Bakr dan membaiatnya. Lantas kaum muslimin pun membai’at beliau.
Rasululloh telah mendoakan ampunan untuk Abu Bakr, beliau berdoa: “Semoga Alloh mengampunimu wahai Abu Bakr!” beliau megucapakan tiga kali. Lalu beliau bersabda “Sesungguhnya Alloh telah mengutusku kepada kalian namun kala itu kalian katakan ‘Engkau berdusta!’ Sedang Abu Bakr berkata ‘Engkau benar!’ Ia mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk membelaku. Lalu apakah kalian hendak meninggalkan sahabatku itu?” beliau mengucapakan ucapan itu dua kali. Maka tidak ada yang berani mengganggu Abu Bakr setelah itu. (HR. Bukhori)
Beliau adalah sebaik-baik hamba yang pernah menjadi khalifah. Al-Ajjuri meriwayatkan dari Abdullh bin Ja’far At Thayyar, ia berkata “Saat Abu Bakr memimpin kami, beliau adalah sebaik-baik khalifah, kasih sayang kepada kami dan yang paling lemah lembut kapada kami.” (HR. Bukhori)
Imam Al-Laaikaai meriwayatkan dari Zaid bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Tholib, ia berkata: ”Abu Bakr Ash-Shiddiq adalah imam para syakirin” kemudian beliau membaca ayat “Dan Alloh akan memberi balasan kepda orang-orang yang bersyukur.” [Ali-Imron:144]” (Syarah Ushul I’toqod karangan Al-Laaikaai).
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Husein ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui ayahku lalu berkata: ‘Ceritakan padaku perihal Abu Bakr!’ Ayahku berkata: ‘Apakah engkau bertanya tentang Ash-Shiddiq?’, ‘Apakah engkau menyebutnya Ash-Shiddiq?’ Ayahku berkata ‘Celaka engkau, hamba yang lebih baik dariku telah menyebutnya Ash-Shiddiq, yakni Rasululloh, kaum Muhajirin dan Anshor. Barangasiapa tidak menyebutnya Ash-Shiddiq niscaya Alloh tidak akan membenarkan ucapannya. Pergilah dan cintailah Abu Bakr dan Umar serta berikanlah loyalitasmu kepada keduanya. Apa yang terjadi setelah itu maka dirikulah menjadi tebusannya!’”
Demikianlah sekilas keutamaan Abu Bakr. Beliau adalah sahabat yang paling utama, paling berani, paling taat, dan paling mulia. Selayaknyalah beliau mejadi suri teladan bagi setiap muslim setelah Rasululloh.
(Disarikan dari terjemahan: Al-Ibanah Lima lish Shahabah minal Manzilah wal Makaanah)
***
Dari Sahabat

Tags: , , , , , ,   

Abu Bakar Ash Shidiq Khalifah Rasulullah
Penulis: Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Siapa yang tak mengenal Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahuanhu, seorang khalifah besar pengganti Rasulullah, manusia paling mulia dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan hanya kaum muslimin yang mengenalnya, bahkan orang-orang kafir pun mengenalnya. Panglima besar yang berhasil menundukkan kekuatan dan kecongkakan negara super power Romawi. Dialah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahuanhu.
Ibunya menjelaskan, suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Abu Bakar lalu menjulukinya ‘atiiqullah minan nar, orang yang dibebaskan Allah dari api neraka. Ibunya bernama Ummul Khair As-Sahmi binti Shakhr bin ‘Amir, wafat dalam keadaan memeluk Islam.
Keagungan dan kemuliaan Abu Bakar bukan karena ketampanan dan kegagahannya, akan tetapi karena keimanan yang kokoh di hati yang membuahkan pembenaran terhadap semua apa yang dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara fisik ia seorang yang berbadan kurus, berdahi menonjol, berpundak sempit, berwajah cekung dan pinggang kecil.
Di saat semua orang meragukan dan mendustakan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan, dia seorang diri membenarkannya. Ia rela merobek habis robekan demi robekan bajunya untuk menyumbat setiap lubang yang ada di dalam gua di malam hari karena takut binatang penyengat yang bersembunyi di dalamnya keluar mengganggu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika orang-orang musyrik mengepung keduanya. Pagi harinya, Rasulullah menanyakan di mana pakaiannya. Setelah tahu apa yang terjadi, Rasulullah mendoakannya menjadi orang yang mempunyai derajat tinggi di jannah.
Ia memiliki beberapa anak. Dari perkawinan dengan Qutaibah dihasilkan Abdullah yang ikut perang di Thaif dan Asma’, istri Az-Zubair. Qutaibah kemudian dicerai dan wafat pada usia 100 tahun. Perkawinannya dengan Ummu Ruman melahirkan ‘Aisyah x (istri Rasulullah) dan Abdurrahman. Sebelum masuk Islam, Abdurrahman masuk dalam barisan kaum musyrikin yang memerangi Rasulullah. Namun dalam perang Badr ia baru masuk Islam.
Dari istrinya yang lain yang bernama Asma’ binti ‘Umais melahirkan Muhammad dan dari Habibah binti Kharijah bin Zaid melahirkan Ummu Kultsum x yang dinikahi shahabat Thalhah bin Ubaidillah z.
Dari sisi keilmuan, Abu Bakar radiallahuanhu melebihi shahabat lainnya. Banyak fatwa yang ia keluarkan di hadapan Rasulullah dan beliau menyetujuinya. Diangkatnya Abu Bakar menjadi imam shalat pengganti Rasulullah r, ditambah adanya hadits yang memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepada “dua bulan” (Abu Bakar dan ‘Umar) bila mengalami suatu perselisihan, menjadi saksi atas ketinggian ilmunya. Karenanya, sewaktu Rasulullah wafat orang-orang Muhajirin dan Anshar sepakat membaiatnya menjadi khalifah.
Ia seorang khalifah yang adil, tidak bergaya hidup mewah dan rendah hati. Tak lama setelah diangkat jadi khalifah ia berkata, bahwa ia bukanlah orang yang terbaik, memerintah rakyatnya mengikuti syariat dan tidak mengadakan bid’ah. Bila ia baik minta diikuti dan bila menyimpang ia minta diluruskan.
Abdullah bin ‘Umar c mengabarkan bahwa Abu Bakar radiallahuanhu sakit karena wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga menyebabkan kematiannya. Ahli sejarah menulis Abu Bakar z wafat antara waktu Maghrib dan ‘Isya pada hari Rabu bulan Rabi’ul Awwal tahun 13 H, dalam usia 63 tahun.
Wallahu a’lam.
***
Bacaan: Shifatush Shafwah, Al-Imam Ibnul Jauzi
sumber : http://www.asysyariah.com

Permalink | Balas  

Energi Pelukan 

Oleh Azimah Rahayu
Suatu hari di gua Hira, Muhammad SAW tengah ber’uzlah, beribadah kepada Rabbnya. Telah sekian hari ia lalui dalam rintihan, dalam doa, dalam puja dan harap pada Dia Yang Menciptanya. Tiba-tiba muncullah sesosok makhluk dalam ujud sesosok laki-laki. “Iqra!” katanya.
Muhammad SAW menjawab, “Aku tidak dapat membaca!” Laki-laki itu merengkuh Muhammad ke dalam pelukannya, kemudian mengulang kembali perintah “Iqra!” Muhammad memberikan jawaban yang sama dan peristiwa serupa pun terulang hingga tiga kali. Setelah itu, Muhammad dapat membaca kata-kata yang diajarkan lelaki itu. Di kemudian hari, kata-kata itu menjadi wahyu pertama yang yang diturunkan Allah kepada Muhammad melalui Jibril, sang makhluk bersosok laki-laki yang menemui Muhammad di gua Hira.
Sepulang dari gua Hira, Muhammad mencari Khadijah isterinya dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!”. Ia gemetar ketakutan, dan saat itu, yang paling diinginkannya hanya satu, kehangatan, ketenangan dan kepercayaan dari orang yang dicintainya. Belahan jiwanya. Isterinya. Maka Khadijah pun menyelimutinya, memeluknya dan mendengarkan curahan hatinya. Kemudian ia menenangkannya dan meyakinkannya bahwa apa yang dialami Muhammad bukanlah sesuatu yang menakutkan, namun amanah yang akan sanggup ia jalankan.
**
Suatu hari dalam sebuah pelatihan manajemen kepribadian. Para instruktur yang jugapara psikolog tengah mengajarkan berbagai terapi penyembuhan permasalahan kejiwaan. Dari semua terapi yang diberikan, selalu diakhiri dengan pelukan, baik antar sesama peserta maupun oleh instrukturnya.
Namun demikian, mereka mempersilakan peserta yang tidak bersedia melakukan pelukan dengan lawan jenis untuk memilih partner pelukannya dengan yang sejenis. Yang penting tetap berupa terapi pelukan. Menurut mereka, pelukan adalah sebuah terapi paling mujarab hampir dari semua penyakit kejiwaan dan emosi. Pelukan akan memberikan perasaan nyaman dan aman bagi pelakunya.
Pelukan akan menyalurkan energi ketenangan dan kedamaian dari yang memeluk kepada yang dipeluk. Pelukan akan mengendorkan urat syaraf yang tegang. Saya yang saat itu menjadi salah satu peserta, memilih menggunakan pilihan kedua ini. Pelatihan itu, di kemudian hari memberikan perubahan besar dalam stabilitas emosi dan kejiwaan saya.
**
Apa yang saya inginkan pertama kali ketika saya sedang bersedih, marah atau apapun yang secara emosi mengguncang perasaan saya? Dipeluk suami. Pelukan itu akan menenangkan saya, membuat saya nyaman dan tenang kembali. Apa yang kami berdua lakukan setelah berantem? Saling memeluk.
Pelukan itu akan menurunkan tensi emosi di antara kami. Pelukan itu akan merekatkan kembali ikatan cinta di antara kami setelah luka dan kecewa yang sempat tertoreh. Pelukan itu, akan membuat kehidupan rumah tangga kami menjadi makin mesra. Segala sedih, segala marah, segala kecewa, dan segala beban hilang oleh kehangatan pelukan.
Pelukan itu, kemudian tidak hanya berlaku ketika saya terguncang secara emosi. Setelah setahun lebih kami menikah, pelukan telah menjadi satu kebiasaan dalam hari-hari kami. Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di rumah sepulang dari kantor atau dari bepergian adalah memeluk suami. Memeluknya erat-erat. Itu saja. Tak Lebih. Hal pertama yang saya inginkan ketika saya bangun dari tidur adalah memeluk dan dipeluk suami saya. Memeluknya kuat-kuat. Itu saja.
Bukan yang lainnya. Jika kami bangun pada jeda waktu yang tak sama, maka ‘utang’ kebiasaan itu dilakukan setelah shalat lail atau shalat subuh. Jika kami tidur di kamar yang berbeda, biasanya jelang subuh atau habis shubuh, salah satu dari kami akan menyusul yang lainnya. Hanya untuk satu hal saja: memeluk dan dipeluk.
Saat malam menjelang tidur, kami terbiasa tiduran dan saling memeluk, berlama-lama sambil berbincang tentang aktifitas kami seharian. Ada kata-kata yang minimal tiga kali sehari saya ucapkan kepada suami saya, “I Love U” dan “Minta peluk!” Rasanya ada yang kurang jika kekurangan pelukan dalam sehari. Pelukan memberiku rasa aman dan nyaman. Pelukan, saya rasakan memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun.
**
Berdasarkan hasil penelitian, kita butuh empat kali pelukan per hari untuk bertahan hidup, delapan supaya tetap sehat, dan dua belas kali untuk pertumbuhan. Jika ingin terus tumbuh, kita butuh dua belas pelukan per hari. Pelukan berkhasiat menyehatkan tubuh. Pelukan merangsang kekebalan tubuh kita. Pelukan membuat kita merasa istimewa. Pelukan memanjakan sifat kekanak-kanakan yang ada dalam diri kita. Pelukan membuat kita lebih merasa akrab dengan keluarga dan teman-teman.
Riset membuktikan bahwa pelukan dapat menyembuhkan masalah fisik dan emosional yang dihadapi manusia di zaman serba stainless steel dan wireless ini. Bukan hanya itu saja, para ahli mengemukakan bahwa pelukan bisa membuat kita panjang umur, melindungi dari penyakit, mengatasi stress dan depresi, mempererat hubungan keluarga dan membantu tidur nyenyak. (The Aladdin Factor, Jack Canfield & Mark Victor Hansen.”)
Helen Colton, penulis buku The Joy of Touching juga menemukan bahwa ketika seseorang disentuh, hemoglobin dalam darah meningkat hingga suplai oksigen ke jantung dan otak lebih lancar, badan menjadi lebih sehat dan mempercepat proses penyembuhan. Maka bisa dikatakan bahwa pelukan bisa menyembuhkan penyakit “hati” dan merangsang hasrat hidup seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh jurnal Psychosomatic Medicine, pelukan hangat dapat melepaskan oxytocin, hormon yang berhubungan dengan perasaan cinta dan kedamaian. Hormon tersebut akan menekan hormon penyebab stres yang awalnya mendekam di tubuh.
Hasil hasil penelitian tersebut, memberikan keterangan ilmiah atas kecenderungan dalam diri setiap manusia untuk mendapatkan ketenangan dan kehangatan melalui pelukan. Penelitan tersebut memberikan fakta ilmiah atas besarnya energi yang dapat disalurkan melalui pelukan.
Sayangnya, banyak dari kita dibesarkan dalam rumah yang di dalamnya pelukan adalah sesuatu yang tidak lazim, dan kita mungkin merasa tidak nyaman minta dipeluk dan memeluk. Kita mungkin pernah digoda sebagai “si anak manja” jika sering memeluk atau dipeluk Ayah, Ibu atau saudara kandung kita. Dan jadilah kita atau remaja-remaja kita saat ini, tumbuh dengan kekurangan energi pelukan.
Bisa jadi, kekurangan energi pelukan ini adalah termasuk salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus ketidakstabilan emosi manusia seperti yang terjadi belakangan ini: tingginya angka kriminalitas dan narkoba pada golongan anak dan remaja, kesurupan di berbagai sekolah dan sebagainya.
Dan bisa jadi, sesungguhnya solusi untuk mengurangi berbagai permasalahan itu sebenarnya sederhana saja: Pemberian pelukan kasih sayang yang banyak kepada anak-anak dari orang tuanya. Bukankah Rasulullah sangat gemar memeluk isteri, anak, cucu, dan bahkan anak-anak kecil di lingkungannya dengan pelukan kasih sayang? Bahkan pernah ada satu kisah ketika Rasulullah mencium dan memeluk cucunya, seorang sahabat menyatakan bahwa hingga ia punya 10 orang anak, tak satu pun yang pernah ia curahi dengan peluk cium.
Rasulullah saat itu berkomentar, “Sungguh orang yang tidak mau menyayang (sesamanya), maka dia tidak akan disayang.” (riwayat Al-Bukhari)
Rasanya, sudah sangat cukup alasan bagi saya, untuk mencurahi anak saya nanti dengan pelukan kasih sayang. Insya Allah!
***
Dari Sahabat

  

Imam Al Barbahary Rahimahullah
Nama, Kunyah, dan Nasab
Beliau seorang imam, mujahid, tokoh ulama panutan lagi disegani yang bermadzhab Hanabali dan pemuka ulama pada zamannya. Beliau adalah Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Kholaf al Barbahary, nisbat kepada daerah Barabahar salah satu daerah lembah di benua India .
Tempat Lahir
Tidak ada referensi yang cukup untuk menjelaskan secara detail tentang sejarah kelahiran Beliau, namun menurut penemuan saya (yakni pentahqih), beliau lahir dan besar di Baghdad sebagaimana yang dikenal dan masyhur di kalangan kaum muslimin terutama para alim ulama. Imam al Barbahary banyak bergaul dengan para ulama murid-murid Imam Ahlu sunnah Ahmad bin Hanbal dan Beliau banyak mengambil ilmu dari mereka dan kebanyakan mereka berasal dari Baghdad. Yang Demikian ini menjadi bukti bahwa beliau besar dan tumbuh di tengah lingkungan ilmu yang kental dengan sunnah yang memberi pengaruh besar pada dirinya.
Guru dan Petualangan
Beliau dalam Mencari Ilmu Imam al Barbahary sangat menonjol dalam petualangan mencari ilmu dan memiliki perhatian besar dalam ilmu agama. Beliau banyak menimba ilmu dari para imam dan ulama sahabat Imam Ahmad bin Hanbal, namun sangat disayangkan guru Beliau yang tercantum dalam literature hanya dua orang saja:
1. Ahmad bin Muhammad bin al Hajjaj bin Abdul Aziz abu Bakar al Marwazi,seorang imam, tokoh panutan, faqih, Muhaddits dan pemuka ulama Baghdad, sahabat karib Imam Ahmad bin Hanbal, wafat pada tanggal 6 Jumadil Ula tahun 275 H
2. Sahal bin Abdulloh bin Yunus At Tustary Abu Muhammad, seorang imam, ahli ibadah, zuhud dan memeiliki mutiara hikmah dan karomah srta kelebihan. Wafat pada bulan Muharrom tahun 233 H dalam usia 80 tahun.
Kedudukan dan Pujian Para Ulama
Imam al Barbahary seorang imam yang sangat disegani, tegas dalam menyampaikan kebenaran, pengajak kembali kepada sunnah dan atsar. Beliau memiliki kedudukan mulia di kalangan para pemimpin dan pra pembesar negara. Majlis ta’limnya dipenuhi dengan pengajian tentang ilmu hadits, atsar dan fiqh yang dihadiri oleh para imam ahli hadits dan fiqh. Abu Abdillah al Faqih berkata: “Jika ada orang yang berasal dari Baghdad senang terhadap Abul Hasan bin Basysyar dan Abu Muhammad al Barbahary, ketahuilah dia termasuk ahlu sunnah”. Di antara hal-hal yang menjadi bukti bahwa beliau seorang ulama yang disegani dan memiliki kedudukan mulia:
Murid Beliau Ibnu Baththoh berkata: “Saya mendengar al Barbahary ketika seorang jamaah haji berkata: ‘Wahai kaumku! Jika beliau butuh bantuan seratus ribu dinar dan seratus ribu dinar hingga lima kali lipat maka aku siap membantunya.” Ibnu Baththoh berkata: “Jika beliau menghendakinya maka dia bisa memperolehnya dari para jamaah”.
Adapun pujian para ulama terhadap beliau antara lain: Ibnu Abi Ya’la berkata: “Dia seorang pemuka ulama di tengah kaumnya, terdepan dalam anti kemungkaran dan berlepas diri dari kebathilan, baik dengan Tangan maupun lisan. Beliau sangat disegani dan terhormat di hadapan para pemimpin dan para sahabatnya, dia salah seorang imam yang berilmu dan banyak hafalannya, serta mumpuni dan terpercaya dalam meriwayatkan atsar”. Imam adz dzahabi dalam kitab al ‘Ibar berkata: “Dia seorang ahli fiqh dan tokoh pantuan, ulama terekemuka dari kalangan madzhab Hanbali di Iraq baik dalam pemikiran, kedudukan dan kebersihan hidupnya. Beliau memiliki posisi dan kedudukan yang sempurna.” Ibnul Jauzi berkata: “Dia seorang ulama pengumpul ilmu, zuhud, dan sangat tegas terhadap ahli bid’ah.” Ibu Katsir berkata: “Beliau seorang ulama yang zuhud, ulama ahli fiqh dari kalangan madzhab Hanbali, sangat ahli dalam memberi nasihat dan sangat tegas dan keras terhada ahli bid’ah dan pelaku maksiat. Serta sangat berwibawa dan disegani oleh orang alim dan orang awam.”
Sikap Zuhud dan Wara
Beliau Imam al Barbahary sangat dikenal kezuhudan dan wara’nya dan sebagai bukti kuat apa yang telah dikatakan oleh Abul Hasan bin Basysyar: “Imam al Barbahary telah berlepas diri dari harta warisan dari bapaknya sebanyak tujuh puluh ribu dirham.” Ibnu Abi Ya’la berkata: “Imam al barbahary Memiliki banyak kelebihan dan keistimewaan dalam urusan agama.”
Sikap Beliau terhadap Ahli Bid’ah
Imam al barbahary bersikap sangat tegas terhadap ahli bid’ah dan sangat gencar dalam memerangi mereka baik dengan tangan atau tulisan tanpa keluar dari kaidah ahlu sunnah dalam mengambil sikap dan bermuamalah terhadap mereka. Beliau sangat komitmen dalam kemurnian ajaran dan proaktif dalam menyingkirkan kotoran bid’ah dan hawa nafsu baik dari pemikiran Jahmiyah, Mu’tazilah, Asy’Aryah, Tasawuf, Syiah dan rafidhoh. Dalam buku ini beliau sangat memperhatikan bahaya bid’ah dari mulai yang kecil hingga yang besar sebagaimana beliau katakan dalam masalah nomor (6): “Waspadalah terhadap bid’ah meskipun dianggap remeh, sebab bid’ah yang remeh dan keil bila dibiarkan akan menjadi besar.”
Beliau juga menjelaskan bahaya penyebaran bid’ah dan memberi peringatan keras kepada kita agar tidak terjatuh ke dlam cara-cara dan praktek kebid’ahan sebagaimana ucapan beliau pada masalah no (8): “Perhatikanlah setiap ucaapan orang pada zamanmu, jangan tergesa-gesa dan cepat membenarkan suatu ucapan tersebut hingga kamu bertanya dan memperhatikan apakah ucapan itu pernah disampaikan oleh para sahabat Nabi atau para ulama ahli sunnah?
Jika kamu mendapatkan atsar dalam hal tersebut (maka) peganglah dan jangan sampai kamu melampaui batas, dan jangan memililh-milih darinya sehingga terjatuh dalam neraka.” Beliau berkata dalam maslah n omor (9): “ketahuilah, orang yang tersesat dari jalan lurus ada dua macam; pertama orang yang tersesat dari jalan lurus sementara dia tidak menginginkan kecuali kebaikan, maka kekelirun orang tersebut tidak boleh diikuti karena ia telah hancur, dan kedua orang yang sengaja menentang kebenaran dan menyelisihi orang-orang yang bertaqwa dari generasi sebelumnya sebelum mereka, dialah orang yang telah tersesat dalam kesesatan dan menyesatkan.”
Beliau juga berkata dalam nomor (64) berkata: “Jika ada seorang yang suka menghujat dan menolak atsar atau mengingkari hadits Rasul sholallohu ‘alaihi wa salam maka jadikanlah dia seorang yang tertuduh dalam Islam sebab dia seorang yang buruk pemikiran dan madzhabnya.”
Beliau dalam masalah nomor (101) berkata: “Ketahuilah kebid’ahan hanya tumbuh dan datang dari kaum puritan lagi kerdil ilmu yang suka ikut-ikutan dan mudah terombang-ambing oleh arus.” Masih banyak ucapan beliau yang sangat bagus dan berbobot dalam buku ini yang memberikan gambara secara jelas tentang karakter ahli bid’ah seakan-akan kamu menyaksikan mereka di dean mata, maka perhatikanlah ucapan beliau: “Perumpamaan ahli bid’ah laksana kalajengking yang mengubur kepala dan tubuhnya di dalam tanah lalu mengeluarkan ekornya yang berbisah, dan bila ada kesempatan ia langsung tanpa gamang menyengatmu, begitu juga ahli bid’ah yang senantiasa bersembunyi dari penglihatan orang dan ketika mendapat kesempatan ia langsung tanpa gamang menyebarkan racun dan bisa kebid’ahan,” Jadi beliau bersikap sangat tegas terhadap ahli bid’ah sebagai bukti betapa tingginya perhatian beliau terhadap sunnah dan betapa besarnya ghirah beliau terhadap sunnah saat ada orang sesat yang ingin menghantamnya. Sikap seperti itu bisa menjadi contoh mulia sebagai bentuk sikap ulama ahli sunnah terhadap ahli bid’ah dan kebathilan dan kesesatan.
Murid-Murid Beliau
Banyak orang yang menimba dan mengambil faidah agama dari beliau karena beliau adalah tokoh panutan dalam ilmu dan kemuliaan.
Di antara Murid-Murid Beliau
1. Seorang imam dan ahli fiqh serta tokoh panutan, Abu Abdillah bin Ubaidulloh bin Muhammad al ‘Ukbary yang dikenal dengan Ibnu Baththoh, wafat pada bulan Muharrom tahun 387 H.
2. Seorang imam, tokoh panutan dan ahli hikmah, Muhammad bin Ahmad bin Ismail al baghdadi Abul Husain bin Sam’un, ahli pemberi nasihat, pemilik karomahdan kedudukan mulia, wafat bulan Dzul Qo’dah tahun 387 H
3. Ahmad bin Kamil bin Kholaf bin Syajarah Abu Bakar, perawi buku ini (syarhus Sunnah) yang meriwayatkan dari penulis.
4. Muhammad bin Muhammad bin Utsman Abu Bakar
Al Khathib berkata: “Telah samapi kepadaku bahwa dia suka hidup sederhana dan memiliki madzhab yang sangat bagus namun sering meriwayatkan riwayat yang mungkar dan bathil.”
Mutiara Ucapan Beliau
Abu Abdillah bin Baththoh berkata: “Saya mendengar Abu Muhammad al Barbahary berkata:’Duduk-duduk untuk saling memberi nasihat adalah pembuka pintu faidah, sedangkan duduk-duduk untuk berdebat adalah penutup pintu faidah.’ Beliau berkata: “Manusia berada dalam ketertipuan terus-menerus”.
Di Antara Syair beliau:
Barangsiapa yang puas dengan apa yang dimiliki maka Dia menjadi orang kaya dan selalu tetap di atas agama
Betapa tingginya kedudukan qona’ah membuat orang Rendahan menjadi mulia
Jiwa seseorang menajdi sempit ketika dalam kemiskinan namun bila ia mendekat kepada Tuhannya semua menjadi luas
Karya-Karya Beliau
Para penulis biografi menyebutkan bahwa beliau memiliki banyak tulisan, namun saya tidak mendapatkan karya-karya ilmiah beliau kecuali hanya tulisan ini dan penjelasannya akan diuraikan nanti
Cobaan dan Wafat Beliau
Dikarenakan kedudukan Imam al Barbahary yang tinggi dan mulia, berwibawa lagi disegani oleh semua kalangan baik yang alim atau yang awam dan terhormat di klalangan para pemimpin maka ahli bid’ah senantiasa membuat makar untuk memperdaya beliau dalam rangka untuk menghancurkan karier beliau dan menjilat kepada para pemimpin hingga Kholifa al Qohir memerintahkan kepada mentrinya, Ibnu Muqlah pada tahun 321 H untuk menangkap Imam al barbahary dan para sahabatnya lalu beliau bersembunyi, dan sebagian besar sahabatnya ditangkap dan dibawa ke Bashroh. Dan Alloh membalas perbuatan Ibnu Muqlah yang akhiranya sang Kholifah marah kepadanya sehingga dia melarikan diri lalu dipecat oleh Kholifah al Qohir dari jabatannya dan rumahnya dilempari api.
Kemudian dia ditangkap pada tanggal 6 bulan Jumadil akhir tahu 322 H kemudian dimasukkan penjara dan disiksa dengan dicongkel kedua matanya hingga menjadi buta. Lalu Imam al barbahary kembali lagi kepada kedudukan semula di negeri itu hingga ketika Abu Abdillah bin Arofah yang dikenal dengan Nafthowaih wafat, banyak sekali orang yang hadir untuk mensholatkan jenazahnya dan Imam al Barbahary mendapat kehormatan untuk menjadi Imam sholat jenazah tersebut. Demikian itu terjadi pada bulan Safar tahun 323 H dan pada tahun itu beliau semakin nak daun dan tenar serta para sahabat beliau semakin diperhitungkan, mereka lebih berani dalam melarang segala kebid’ahan dan melawan ahli bid’ah.
Ketika Imam al Barbahary melewati daerah bagian barat lalu beliau bersin dan para sahabat beliau mendoakan hingga tedengar suara gemuruh maka sang kholifah mendengar dari dalam tandunya kemudian bertanya tentang kejadian tersebut dan dikabarkan kepadanya hingga sang kholifah merasa takjub dengan sikap tersebut.
Para ahli bid’ah tidak bosan-bosan untuk terus menerus membuat makar keji dan kebohongan dengan menjilat kepada Kholifah ar radhiy, mereka berusaha memfitnah Imam al barbahary hingga Kholifah ar Rodhiy memerintahkan Badr al Harosiy kepala polisi bagian transportasi dan komunikasi di daerah Baghdad, agar melarang para sahabat Imam al Barbahary berkumpul dan bertemu.
Maka Imam al Barbahary dengan gerak cepat mencari tempat persembunyian dan pindah dari daerah bagian barat menuju bagian timur lalu bersembunyi di daerah tersebut hingga beliau wafat dalam masa persembunyian pada bulan rojab tahun 329 H.
Ibnu Abi Ya’la berkata: “telah bercerita kepadaku bahwa Muhammad bin Hasan al Muqriy berkata bahwasannya kakek dan nenekku berkata kepadaku: ‘Abu Muhammad al Barbahary bersembunyi di rumah saudari Tuzun di daerah bagian timur daerah al Hammam jalan raya as Silsilah, selama satu bulan dalam persembunyian, beliau terserang pendarahan hebat hingga wafat. Ketika beliau wafat, saudaru Tuzun berkata kepada pembantunya:
“Caarilah orang yang ahli dalam memandikan mayat, maka datang seorang yang ahli dalam memandikan mayyity ke rumah lalu pintu ditutup agar tidak diketahui oleh orang kemudianorang tersebut menshalatkan sendirian.”
Pada saat pemilik rumah melihat dari kejauhan tampak ruangan rumah dipenuhi kaum laki-laki yang berpakaian putih dan hijau maka ia berusaha untuk mendekati namun ketika sholat jenazah usai mereka menghilang, lalu pemilik rumah memanggil pembantu tersebut lalu berkata: “Wahai Hajjam, kamu telah menghancurkanku bersama saudaraku. Lalu pembantu berkata: “Wahai tuanku, engkau juga melihat apa yang aku lihat?” Ia Menjawab: “Ya” pembantu berkata: “Inilah kunci-kunci rumah dan rumah dalam keadaan tertutup.” Saudari Tuzun berkata: “Kuburlah dia di dalam rumahku dan jika nanti aku meninggal dunia kuburkanlah (aku) di sisinya.” Semoga Alloh merahmati Imam al Barbahary dan memberi balasan yang besar, dia seorang imam dan tokoh panutan, pembela sunnah dan sangat keras terhadap ahli bid’ah dan kaum zindiq.”
***
(Di tulis kembali dari: Buku “Syarhus Sunnah-Penjelasan Tuntas Bahwa Islam itu adalah Sunnah dan Sunnah itu adalah Islam, hal 5-13, Penerbit: Dar El-Hujjah)

  

Imam Al Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti
Nama, Garis keturunan, dan nisbat yang dimilikinya:
As-Sayuthi nama lengkapnya adalah Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Al- Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq ad-Din Ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi al-Sayuthi.
Penulis Mu`jam al-Mallifin menambahkan: Athaluni al-Mishri Asy-Syafi`i, dan diberi gelar Jalaluddin, serta di panggil dengan nama abdul Fadhal. Ia berasal dari keturunan non arab, yang dalam hal ini asy-sayuthi sendiri pernah mengatakan: Ada seorang yang bisa saya percaya pernah menuturkan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar ayah saya mengatakan bahwa kakek buyut ayah adalah orang non arab dari timur. Ia menghubungkan garis keturunannya demikian: Kakek buyut saya adalah Damam ad-Din, seorang ahli hakikat dan guru tarekat. Darinya lahir tokoh-tokoh dan pemimpin, antara lain ada diantara mereka yang menjadi kepala pemerintahan di daerahnya, ada pula yang menjadi Hakim Perdata, dan ada pula yang menjadi pedagang. Namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang saya ketahui menekuni ilmu secara sungguh-sungguh kecuali ayah saya.
Kelahiran dan pertumbuhannya:
As-sayuthi dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah ia mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali ibnu Iyas dan Ismail Pasha al-Bagdadi yang menganggap bahwa kelahiran as-Sayuthi adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.
Perjalanan dan masa menuntut ilmu:
Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna betul ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-`Umdab, Minhaj fiqh, Al-Ushul, dan Al-fiyah ibn Malik.Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilimu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H.
Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ilmu Faraid dari ulama di jamannya yakni Syeikh Syihab ad-Din asy-Syarmasahi, lalu menimba ilmu Fiqh kepada syeikhul Islam Al-Balqini sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya `Ilmuddin Al-Balqini. Ia kemudian berguru kepda Al-Ustadz Muhyiddin Al-Kafayaji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap ilmu Tafsir dan Ushul, bahasa dan ma`ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.Ia banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, dan seterusnya ke Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko). As-Sayuthi kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir Hadist, Fiqh , Nahwu, Ma`ani, Bayan dan Badi`, melalui para ahli bahasa dan Balaqhah.
Kegiatannya menuntut ilmu:
Di dalam usahanya menuntut ilmu as-Sayuthi telah mendatangi syeikh Safuddin Al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab Al-Mukasyaf dan At-Taudhih. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Hafidz ibnu Hajar, dan mengkaji shahih Muslim sampai hampir tamat. Kepada ash-Shyairafi di samping kita-kitab lain seperti As Syifa`, Al-Fiyah ibnu Malik, Syarh-Asyudur, al Mughni – sebuah kitab Ushul Fiqh Mazhab Hanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassith serta as-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini. Selain itu, juga mempelajari Alfiah karya al-`Iraqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqini. Dari ulama yang disebut terakhir itu, as-Sayuthi menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama asy-Syaraf al-Manawi, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini as-Sayuthi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya. Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifudin muhammad bin muhammad al-Hanafi, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-`alamah asy-Syamani dan al-Kafiji.
Kendatipun demikian, ia tetap mengatakan bahwa ia tidak banyak mempelajari ilmu-ilmu riwayat, melebihi perhatiannya terhadap masalah yang dianggapnya paling penting dalam disiplin ilmu ini, yakni ilmu dirayah hadits.
Guru, murid dan sejawatnya:
as-Sayuthi mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah: Ahmad zas-Syarmasahi ‘Umar al-Balqini Shalih bin Umar bin Ruslan al-Balqini Muhyidin al-Kafiji Al-Qadhi syarafudin al-Manawi. Sementara itu beribu-ribu orang telah pula berguru kepada dirinya, dan diantara mereka yang paling menonjol antara lain: Syamsudin asy-sakhawi.`Ali al-Asymuni.
Akidahnya:
Dari karangan-karangan yang membela para sahabat dan tetap berpijak pada sunnah, maka tampaklah bahwa mazhab yang dipilihnya adalah mazhab ahlus sunnah. Tidak ada hal lain yang dapat diketahui tentang dirinya dalam persoalan ini, selain kecendrungannya kepada tasawuf yang telah dirintis oleh kakek buyutnya Hamam. Kendatipun demikian, ilmunya yang demikian mendalam tentang Al-Qurn dan sunnah, telah mampu membentengi dirinya dari penyimpangan-penyimpangan yang banyak dialami oleh para pengikut aliran sufi, yang jauh menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah.
Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu usianya menginjak 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang, ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul, semisal tafsir dan ilmu tafsir, Hadits dan ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, sirah Nabawiyah, dan Tarikh. Penullis hidayah al-A`rifin mengemukakan sejumlah besar karangan yang telah ditulis oleh asy-Sayuthi yan jumlahnya mendekati apa yang kami sebutkan itu, yang diakui sebenarannya oleh yang bersangkutan.
Cukuplah sekiranya di sini bisa kami sebutkan saja beberapa diantara karya-karyanya yang paling menonjol dalam ilmu Hadits lantaran kaitannya yang demikian erat dengan topik kajian kita sekarang ini.
Pertama: tentang Hadits Zahr ar-Rabbiy Ala Mujtaba Li an-Nasa`I Al-Hawalik `Ala Muwaththa` Malik. Marqat ash-Shu`ud Syarkh Sunan Abi Dawud. Jam`u aljawami` Aw al-jami` al-Kabir. al-Jami` ash-Shaghir wa Dzailuh.
Kedua: Dalam ilmu Hadits. Tadrib ar-Rawi bi syarkh Tawqrib an-Nawawi. Al al-fiyah fi al-Hadits.As`af al-mabtha` bi Rijal al-Muhtha`. Durr as-sahabah Fi Man Nazal al-Nishir Min al shahabah. Natsr al-Abir fi Takhrij Ahadits asy-syarkh al-Kabir
Wafatnya:
Hidup syaikh as-syayuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyas dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, lalu dimakamkan di Hausy Qousun.
***
Dikutip dari: Proses lahirnya sebuah Hadits karya: Al-Hafizh Jalauddin as-Sayuthi, hal:41-45. Penerbit: PUSTAKA, Bandung, 1406 H – 1985 M.

 

Senang di Dunia, Senang di Akhirat 


Hampir setiap malam, di teras rumah yang berada di depan rumah saya —maksud saya: rumah kontrakan saya— di daerah pinggiran Jakarta, beberapa pemuda selalu menghabiskan waktu selama beberapa jam untuk bersenang-senang: menikmati lintingan ganja. Duduk melingkar sambil membicarakan apa saja.
Wajah-wajah mereka kusam. Mata di wajah mereka merah. Suara-suara mereka terdengar berat khas orang mabuk. Terkadang tertawa terbahak-bahak. Kencang. Dalam kondisi seperti itu tentu saja mereka tidak bisa diharapkan untuk memahami suasana. Justru kami —saya dan beberapa penghuni kontrakan lain, para pendatang— seolah-olah yang diharuskan memahami kesenangan para pemuda setempat itu.
Membiarkan mereka meski kegaduhan mereka terkadang mengganggu. Apalagi rumah yang terasnya mereka tempati untuk nongkrong, penghuninya adalah keluarga muda yang memiliki bayi baru berumur sekian bulan. Mungkin, para pemuda itu berpikir: kami tidak akan berbuat macam-macam jika kalian membiarkan kami menikmati kesenangan kami. Padahal dengan seperti itu pun mereka sudah berbuat macam-macam.
Mereka akan bubar jika lintingan-lintingan ganja itu telah habis. Setelah itu mereka melanjutkan dengan kesenangan yang lain, yaitu bermain remi sambil berjudi kecil-kecilan, sampai dini hari. Hampir setiap hari mereka seperti itu. Kecuali jika mereka kehabisan ‘bekal’. Untuk beberapa hari, teras rumah yang berada di depan rumah saya itu akan sepi. Setelah bekal kembali terkumpul, mereka pun melanjutkan kesenangan mereka.
Setiap kali melihat para pemuda itu menikmati kesenangan mereka, saya selalu teringat kisah dalam al-Risslah al-Qusyayriyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, sebuah kitab tentang tasawuf yang telah berusia lebih dari seribu tahun karya Abu Qasim al-Qusyairi.
Suatu ketika, seorang sufi bernama Ma’ruf al-Kurkhi sedang duduk-duduk bersama murid-muridnya. Kemudian, lewatlah rombongan yang tampaknya sedang merayakan sesuatu. Mereka memainkan alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi sambil meminum minuman keras.
“Lihatlah orang-orang itu,” kata salah seorang muridnya. “Mereka berbuat maksiat secara terang-terangan. Mereka tidak malu kepada Tuhan. Maka, apalagi kepada sesama manusia.”
“Doakanlah mereka agar celaka,” kata si murid kepada Ma’ruf.
Di mana-mana, guru akan selalu lebih bijak daripada murid-muridnya. Sebab itulah orang Jawa mengatakan, ‘guru’ adalah singkatan dari ‘digugu lan ditiru’ yang artinya ‘dituruti dan diteladani’. Jika ada orang yang dianggap guru tapi tak berperilaku selayaknya guru, sehingga tak patut digugu lan ditiru, ia akan tetap menjadi guru, hanya saja dengan singkatan yang berbeda, yaitu ‘guru’ singkatan dari ‘wagu tur saru’ yang artinya ‘tak pantas dan cabul’.
Ma’ruf al-Kurkhi kemudian mengangkat tangannya. Ia berdoa, “Ya Tuhanku! Seperti mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa bersenang-senang di akhirat nanti.”
“Kami tidak memintamu berdoa seperti itu,” kata si murid.
Ma’ruf al-Kurkhi menjawab, “Jika di akhirat kelak mereka bisa bersenang-senang, artinya Tuhan mengampuni maksiat mereka di dunia.”
Ma’ruf ingin mengajarkan kepada para muridnya bahwa dunia adalah tempat kemungkinan-kemungkinan. Apa yang tampak buruk tidak selalu akan berakhir tetap dalam kondisi buruk. Sebab itu, ia tak perlu dikutuk.
Itulah yang disebut dengan al-raja’ dalam ilmu tasawuf, yaitu mengharap segala sesuatu menjadi baik, atau berakhir dengan kebaikan. Orang yang menjaga al-raja’ dalam dirinya tidak akan pernah merasa puas dengan kebaikan, dan sebab itu ia tidak mengutuk keburukan, tapi berharap keburukan itu akan menjadi atau berakhir dengan kebaikan.
***
Juman Rofarif – detikRamadan,
Editor di Penerbit Serambi Jakarta.

  

Cinta kepada Allah Menyelamatkan Yusuf dari Perbuatan Maksiat 

Yusuf kecil tumbuh menjadi pemuda yang indah parasnya, jernih matanya, dan halus budi pekertinya. Tak heran jika Zulaikha, istri seorang pejabat Mesir yang memelihara Yusuf, tertarik padanya. Asy-Sya’rawi menulis, kalau pada awalnya Zulaikha memandang Yusuf as sebagai seorang remaja, kini pandangan itu telah berubah. Sehingga ketika misalnya Zulaikha meminta membawa segelas air, dia berkata kepada Yusuf as, “Mendekatlah! Mengapa menjauh? Duduklah di sampingku.”
Tanpa sadar tumbuh benih-benih cinta pada diri Zulaikha. Cinta itu semakin hari semakin besar. Ia pun tambah berani. Bukan hanya isyarat-syarat halus yang sekarang ditampakkan, gerak-geriknya semakin jelas menunjukkan rasa itu. Bahkan semakin menjadi-jadi karena Yusuf as berpura-pura tidak mengerti atau mengalihkan pandangan dan pembicaraan.
Suatu ketika, di saat cintanya tak terbendung lagi, Zulaikha merencanakan untuk berduaan saja dengan Yusuf as di suatu ruang di rumahnya. Untuk itu, ia membersiapkan diri dengan berdandan sebaik mungkin.
Saat ia telah berada di ruang itu bersama Yusuf as, ia menutup rapat pintu-pintu dan tabir-tabirnya. Kemudian ia berkata dengan penuh harap dan merayu, “Marilah ke sini, laksanakan apa yang kuperintahkan!” Rayuan kepada Yusuf as dilakukan berkali-kali, bahkan dengan memaksa.
Seandainya Yusuf as hanya memperturutkan hawa nafsunya, pastilah ia melakukan seperti apa yang diinginkan Zulaikha. Yusuf as adalah laki-laki normal yang punya ketertarikan pada wanita. Apalagi Zulaikha adalah wanita yang cantik jelita.
Namun, cinta Yusuf as kepada Allah jauh lebih besar dari itu. Cinta yang selalu dalam hubungan intim dengan-Nya melalui zikir. Senantiasa menunaikan hak-haknya. Yang memandang kepada-Nya dengan mata hati. Yang terbakar hatinya oleh hakekat Ilahi. Tabir pun terbuka sehingga sang Maha Kuasa muncul dari tirai-tirai gaib-Nya. Maka, tatkala berucap, dengan nama Allah. Tatkala bergerak, atas perintah Allah. Dan tatkala diam, bersama Allah.
Begitulah keadaan Yusuf as yang dilukiskan oleh Thabathaba’i. Sehingga walaupun Yusuf as memiliki birahi sebagaimana manusia yang lain, ia tak menuruti godaan dan rayuan Zulaikha. Jangankan mempunyai tekad atau keinginan, perhatian dan pandangannya tak lagi tertuju kepada wanita itu maupun wanita lain. (imam)
***
Alifmagz – detikRamadan

  

Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab.
Nasab dan Kelahirannya
Bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku dating ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”.
Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang adal dalam hati dan diucapkan dengan lesan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq. Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak daripara imamyang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”.
Beberapa Nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku. Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? Maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil!”
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. Berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudia syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupaka udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari sulthan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
***
Daftar Pustaka:
  1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke – 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
  3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
  5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
(diambil dari majalah Fatawa)

Kekuasaan Bisa Menjadi Kehinaan dan Penyesalan 

Abu Dzar al-Ghiffari merupakan salah satu sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw dan termasuk sahabat yang paling awal masuk Islam. Ia terlahir dengan nama Jundub bin Junadah bin Sakan, berasal dari suku Ghiffar. Suku Ghiffar terkenal sebagai suku penyamun sebelum datangnya Islam.
Abu Dzar memeluk Islam dengan sukarela. Kegundahan hati dan keinginannya untuk berperilaku yang baik membawanya pergi menempuh perjalanan yang jauh untuk bertemu Rasulullah Saw.
Di tengah suasana Mekah yang mencekam, karena saat itu Rasullah Saw banyak mendapat ancaman dari Quraisy, Abu Dzar berhasil bertemu Rasulullah Saw dan menyatakan keislamannya. Keyakinannya terhadap Islam sangat kuat, sehingga tanpa ragu dan takut ia memberitakan keislamannya itu kepada banyak orang secara terbuka.
Sekembalinya ke kampung halamannya, Abu Dzar menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat seluruh suku Ghiffar. Meski dengan susah payah, seluruh suku Ghiffar berhasil diajaknya memeluk Islam.
Sewaktu mendengar Rasulullah Saw hijrah, Abu Dzar bersama beberapa orang dari Ghiffar pergi ke Madinah. Tujuannya untuk ikut serta membantu Rasulullah Saw berjuang menegakkan Islam. Sejak di Madinah itu, Abu Dzar menjadi dekat dengan Rasulullah Saw. Ke mana Rasulullah Saw pergi, ia selalu turut serta, tidurnya pun di masjid. Jarang sekali, ia absen dari majelis-majelis Rasulullah Saw.
Suatu ketika ada yang mengganjal dalam hati Abu Dzar. Ia ingin terlibat lebih jauh, masuk dalam jajaran pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah. Suatu saat ia memberanikan diri menyampaikan keinginannya itu kepada Rasulullah Saw. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakan aku?”
Rasulullah Saw sangat mengenal pribadi Abu Dzar. Beliau mengetahui ada sifat-sifat Abu Dzar yang tidak sesuai untuk orang yang memegang kekuasaan. Karena itu, meskipun Abu Dzar sangat dicintainya, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan keinginan sahabatnya itu.
Sambil menepuk kedua bahu Abu Dzar, dengan bijak Rasulullah Saw berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, sementara kekuasaan itu adalah amanat. Di hari kiamat kekuasaan itu nanti menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengembannya dengan benar dan menjalankan semua amanat yang ada di dalamnya.” (imam)
***
ramadan.detik.com/read/2010/08/24/163757/1426935/985/kekuasaan-bisa-menjadi-kehinaan-dan-penyesalan

 

Al-Imam Malik ra.
1. Nama dan Nasabnya
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al Harits Al Ashbahiy Al Humairiy. Nasabnya berakhir pada Ya’rib bin Yasyjub bin Qaththan. Kakeknya yang juga bernama Malik bin Anas termasuk seorang tabi’in besar dan salah satu yang ikut memikul Khalifah Utsman ke kuburnya.
Kakek buyutnya, Anas, adalah seorang sahabat agung, yang selalu mengikuti Rasululloh SAW dalam semua peperangan kecuali perang Badar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yang mengatakan ibunya adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma’mar.
2. Kelahiran dan Petumbuhannya
Imam Malik ra. lahir di Madinah Al Munawaroh pada tahun 95 H. Disana beliau menulis kitabnya Al-Muwaththo’. Beliau menimba ilmu dari 100 orang guru lebih. Beliau hidup selama 84 tahun, wafat pada tahun 179 H dan dimakamkan di Baqie.
Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah besar Tabi’ien dan Tabi’ut Tabi’ien, diantaranya : Nafi’ bekas budak Ibn Umar, Ibn Syihab Az Zuhri, Abu Az Zanad, Abdurrahman bin Al Qasim, Ayyub As Sakhtiyani, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Aslam, Humaid Ath Thawiel, dan Hisyam bin Urwah.
Sebaliknya, tidak sedikit guru2nya yang meriwayatkan hadis dari beliau sesudah itu, seperti Az Zuhri dan Yahya bin Sa’id Al Anshari. Cukup banyak perawi yang meriwayatkan hadis dari beliau. Al Hafidh Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi menulis sebuah kitab tentang para perawi yang meriwayatkan dari Imam Malik. Dalam kitab tersebut, Al Baghdadi menyebutkan hampir 1000 orang perawi. Diantara tokoh2 yang meriwayatkan hadis dari beliau : Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin AL Mubarak, Abdurrahman Al Auza’i, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dll.
3. Kedudukannya
Para Imam dan Ulama yang berkomentar tentang Imam Malik ra.:
a. Asy Syafi’i : Apabila ulama disebut, maka Malik adalah bintangnya.
b. Ibn Mu’in : Malik termasuk hujjah Allah atas makhluk Nya.
c. Yahya bin Sa’id Al Qaththan : Malik adalah amirul mukminin dalam bidang hadis.
d. Ibn Hibban : Malik adalah orang pertama yang memilih para tokoh ahli fiqh di Madinah, menghindari orang yang tidak terpercaya (tsiqoh), tidak meriwayatkan kecuali yang shahih, dan hanya menceritakan dari orang yang terpercaya. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang bebrunyi: “Nyaris orang-orang memukul perut unta untuk mencari ilmu, tapi ternyata mereka tidak menemukan seorang pun yang lebih alim dari orang alim Madinah” (hadis ini hasan menurut Tirmidzi) Ibn Unayah bilnag orang alim madinah tersebut adalah Malik.
4. Al-Muwwaththo’
Imam Malik menulis kitabnya yang legendaris Al-Muwwaththo’ selama 40 tahun. Selama kurun waktu tersebut, kitab itu ditunjukkan ke sekitar 75 orang ulama fiqh Madinah.
Asy Syafi’i berkomentar tentang Al Muwwaththo’ Malik : “Di muka bumi ini, tidak ada satu kitab pun – sesudah Kitab Allah – yang lebih shahih daripada kitab Malik.
Al Muwwaththo’ memuat 6000 hadis musnad (sanad bersambung samapai ke Nabi SAW/ Marfu’), 222 hadis mursal (sanad hanya samapai sahabat), 613 hadis mauquf (sanad hanya samapai tabi’ien), dan 285 makalah Tabi’ien.
***
Wallaahu a’lam bishshowab
(Ditulis ulang dari kata pengantar kitab Al-Muwwaththo’ edisi terjemahan)

  

Imam Bukhari : Keajaiban Dari Bukhara 

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.
Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.
Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.
Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, “Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Ha tim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”
Muhammad bin Abi Hatim berkata, ” Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”.
Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.
Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.
Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah -ed) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, ” Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”.
Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af’aal Al Ibaad.
Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.
***
Sumber:
Siyar A’laam An-Nubala’ karya Al Imam Adz-Dzahabi dll
  •   

    Abu Bakar: Saya Ingin Diampuni Allah 

    “Saya ingin diampuni Allah,” kata Abu Bakar menyambut turunnya ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan para Muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24: 22)
    Ayat di atas, menjadi teguran untuk Abu Bakar. Ia memang pernah bersumpah untuk tak memberikan bantuan kepada Misthah yang selama ini kerap ditolongnya. Sebenarnya, Misthah masih termasuk keluarga Abu Bakar, yaitu putra saudara perempuan ayahnya. Namun demikian, Abu Bakar sangat marah kepadanya, karena Misthah ikut menyebarkan kabar bohong menyangkut ‘Aisyah, putrinya dan sekaligus istri Nabi Saw. Kabar yang disebarkan Misthah itu bisa menghancurkan nama baik keluarga Abu Bakar.
    Mendengar kabar itu, Nabi Saw pun gundah dan bimbang. Beliau mencari-cari informasi tentang kabar tersebut. Kegundahan Nabi reda setelah turun beberapa ayat dalam Surah an-Nur (24) yang menjelaskan kebohongan berita itu. Setelah jelas status kabar itu, orang-orang mencari sumber beritanya. Tersebutlah Misthah menjadi salah satu penyebarnya. Karena itu Abu Bakar marah dan keluarlah sumpah itu.
    Dalam ayat di atas, Allah menegur Abu Bakar dan semua orang yang mempunyai kelebihan agar memberi bantuan kepada orang-orang yang miskin, kaum Muhajirin (orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain) dan kepada siapa saja memerlukan uluran tangan. Janganlah mereka bersumpah untuk tidak memberi bantuan karena orang yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan atau karena ketersinggungan pribadi. Hendaknya, orang yang berkelebihan itu berhati besar dan sebaiknya mereka memaafkan dan berlapang dada.
    Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar memaafkan Misthah, ia membatalkan sumpahnya, dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah, sebagaimana sediakala. (imam) ( gst / vta )
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/25/095702/1427340/985/abu-bakar-saya-ingin-diampuni-allah
     
  • erva kurniawan 1:03 am on 20 Desember 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, Penulis:Al Ustadz Zainul Arifin
    **
    Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.
    Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
    Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
    Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:
    “Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)
    Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
    Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan  makanan beliau dan keluarganya.
    Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
    Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
    Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H. (Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)
    ***
    Sumber : http://www.asysyariah.com
  • Ali bin Abi Thalib dan Hukum 

    Bagi Anda yang merasa frustasi dengan keadaan hukum saat ini dan tingkah polah pemimpin dan penegak hukum, kisah yang terjadi belasan abad yang lalu ini menarik untuk disimak.
    Alkisah pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia kehilangan baju dir’a  (baju besi) miliknya. Tidak berapa lama, ia mendapati baju besinya ada pada seorang Yahudi. Namun, ketika ditanya Ali, orang Yahudi itu bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke hadapan hakim.
    Setelah mendengar duduk perkaranya, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, apakah ia mempunyai bukti-bukti yang mendukung pernyataannya. Ali pun menghadirkan dua saksi, yaitu pembantunya, Qanbar dan anaknya, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw.
    Sang hakim menerima kesaksian pembantu Ali, namun menolak kesaksian Hasan, karena kesaksian seorang anak kepada ayahnya tidak dapat diterima di hadapan hukum. Ali pun berkata pada hakim Syuraih, “Tetapi apakah Anda tidak pernah mendengar Rasulullah yang menyatakan bahwa Hasan dan Husain adalah pemuda penghuni surga”.
    Syuraih membenarkan pernyataan Ali itu namun tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak bisa menerima kesaksian Hasan. Karena hanya ada satu orang saksi, akhirnya hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik si Yahudi. Ali, sang Amirul Mukminin, dikalahkan dalam persidangan tersebut. Dengan besar hati, Ali menyatakan menerima keputusan hakim.
    Melihat seorang pemimpin jazirah Islam dikalahkan di pengadilan padahal lawannya seorang non-muslim dan sang pemimpin menerima putusan itu, Yahudi itupun serta merta mengakui bahwa baju besi tersebut adalah benar milik Ali dan ia menyatakan bahwa sebuah agama yang menyuruh hal tersebut pastilah benar. Orang Yahudi itu pun mengucapkan kalimat syahadat dan menyatakan masuk Islam. Menyaksikan hal itu, Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepada si Yahudi disertai dengan hadiah lainnya. ( gst / vta )
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/26/114320/1428283/985/ali-bin-abi-thalib-dan-hukum
      
  • Abu Amru Abdurrahman Al-Auza’i Syaikhul Islam, Seorang Ulama dari Syam
    Siapakah al-Auza’i? dan Bagaimana Nasabnya?
    Beliau adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad al-Auza’i ad-Dimasyqi, beliau adalah ulama dari Syam yang kemudian berpindah ke ke Beirut sampai wafatnya, yang mendapat julukan Syaikhul Islam.
    Beliau lahir tatkala sebagian para sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Al-Auza’i merupakan nisbat kepada sebuah desa yang terkenal di kota Hamadan, Damsyiq yang bernama Al-Auza’. Beliau lahir pada tahun 88 H, dikenal sebagai orang yang baik, utama, memiliki banyak ilmu, baik dalam bidang hadits maupun fikih, dan ucapan beliau dipakai sebagai hujah.
    Bagaimana Masa Mudanya?
    Al-Abbas bin al-Walid bercerita bahwa guru-gurunya berkata, bahwa al-Auza’i bercerita, “Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal sebagai seorang syaikh yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, “Kamu anak siapa?”; maka saya menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, “Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.” Lalu dia mengajakku kerumahnya, dan tinggal bersamanya sehingga aku baligh. Dia mengikutsertakan aku dalam dewan (kantor/mahkamah pengadilan) untuk bermusyawarah dan juga ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Tatkala aku sampai di Yamamah, aku masuk ke dalam masjid jami’. Pada waktu keluar masjid ada seorang temanku berkata kepadaku, “Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah seorang ulama Yamamah) kagum kepadamu; dan dia mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di antara para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!’” Al-Auza’i berkata, “Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya hingga 14 atau 13 buku, kemudian terbakar semuanya.” Beliau adalah orang yang pertama kali menulis buku ilmu di Syam.
    Beliau adalah orang yang menghidupkan malamnya dengan shalat lail, membaca al-Qur’an dan menangis. Bahkan sebagian penduduk kota Beirut bercerita bahwa pada suatu hari ibunya memasuki rumah al-Auza’i dan memasuki kamar shalatnya, maka dia mendapati tempat shalatnya basah karena air mata tangisan malam harinya.
    Siapa Guru-Gurunya ?
    Beliau banyak belajar kepada para tabi’in (yaitu orang-orang yang menuntut/menerima ilmu langsung dari para sahabat Rasululloh). Di antaranya adalah: Atha’ bin abi Rabbaah, Abu Ja’far al-Baaqir, Qatadah, Bilal bin Sa’ad, Az-Zuhri, Yahya bin Abu Katsir, Ismail bin Ubaidillah bin Abul Muhajir, Muth’im bin al-Miqdam, Umar bin Hani’, Muhammad bin Ibrahim, Salim bin Abdulloh, Syadad abu Ammar, Ikrimah bin Khalid, ‘Alqomah bin Martsad, Muhammad bin Sirin, Mauimun bin Mihran, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan masih banyak lagi dari para Tabi’in dan yang lainnya.
    Al-Abbas anak dari al-Waliid bercerita, “Tidaklah saya mengetahui keheranan ayahku terhadap sesuatu di dunia ini, sebagaimana keheranannya terhadap al-Auza’i. Dahulu al-Auza’i adalah anak yatim lagi miskin yang berada dalam pengasuhan ibunya. Beliau sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. ‘Wahai anakku,’ –lanjut ayahnya– raja-raja tidak mampu menjadikan dirinya orang yang beradab dan tidak juga anak-anaknya; sedangkan al-Auza’i melatih dirinya untuk beradab. Tidaklah satu kalimat yang didengar darinya melainkan dijadikan hujah bagi orang yang mendengarnya untuk menetapkan sesuatu darinya; dan apabila menasehati manusia tentang hari kiamat, –maka aku berkata pada diriku sendiri–, ‘Apakah engkau tidak melihat di dalam majelisnya hati yang tidak menangis?”
    Siapakah Murid-Muridnya?
    Amat banyak penuntut ilmu yang belajar kepada beliau. Di antara murid-murid yang meriwayatkan dari beliau, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.
    Bagaiman Perkataan Para Ulama Tentang al-Auza’i?
    Ummayyah berkata, “Sungguh telah terkumpul pada diri al-Auza’i sebagai ahli ibadah, berilmu dan perkataan yang benar.”
    Imam Malik berkata, “Al-Auza’i adalah seorang imam yang diikuti”. Dan tatkala ats-Tsauri dan al-Auza’i keluar dari majelis; Imam Malik berkata, “Salah satu dari keduanya itu lebih banyak ilmunya dari temannya. Dan salah seorang dari keduanya tidak pantas menjadi Imam dan satunya lagi pantas menjadi Imam (maksudnya al-Auza’i).”
    Ibnul Mubarok berkata, “Kalau saya disuruh memilih pemimpin untuk umat ini, maka saya akan memilih Sufyan ats-Tsauri dan al-Auza’i. Dan jika disuruh memilih di antara keduanya, maka saya akan memilih al-Auza’i karena dia lebih lembut.” Hal seperti ini juga dikatakan Abu Usamah.
    Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Manusia pada zaman mereka merujuk kepada empat orang: Hamad bin Zaid di Bashrah, Sufyan ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik di Hijaz dan al-Auza’i di Syam.
    Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah saya melihat seorang laki-laki yang ilmu fiqihnya sebagaimana ilmu haditsnya daripada al-Auza’i”. Sekretaris al-Manshur berkata, “Tatkala al-Manshur diberi kitab-kitab karya al-Auza’i maka kami kagum terhadap kitab-kitabnya. Al-Manshur tidak sanggup menyalin sendiri kitab-kitab al-Auza’i, Karenanya disalinkan untuknya beberapa buku, kemudian diberikan kepadanya. Maka dia banyak memperhatikan isinya dan memuji kebagusan ungkapan-ungkapan yang digunakan Al-Auza’i.”
    Al-Walid bin Muslim bercerita, “Saya bersemangat sekali mendengarkan ilmu dari al-Auza’i. Sehingga aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan al-Auza’i berada di sampingnya. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah, “Kepada siapa aku harus mengambil ilmu?” Kemudian Rasululloh menjawab, “Kepada lelaki ini” sambil menunjuk ke arah al-Auza’i. Dan tidaklah aku melihat seseorang yang lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dari al-Auza’i.
    Bagaimana Pengajaran al-Auza’i?
    Abu Ishaq al-Fazari meriwayatkan dari al-Auza’i, ada 5 perkara yang para sahabat konsisten di dalamnya, yaitu senantiasa berjamaah (tidak berpecah belah), mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca al-Qur’an dan berjihad fi sabilillah.”
    Bisyr bin Bakar bertanya kepada al-Auza’i, “Wahai Abu Amru (kunyah dari al-Auza’i), seorang lelaki mendengarkan hadits dari Nabi yang terdapat kesalahan di dalamnya, apakah harus membenarkan dengan bahasa Arab?” Beliau menjawab, “Ya, karena Rasulullah tidaklah berbicara kecuali dengan bahasa Arab. Dan tidak mengapa memperbaiki kekeliruan dan kesalahan dalam hadits”.
    Al-Auza’i ditanya perihal khusyu’ di dalam shalat, beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, merendahkan diri di hadapan Alloh, melunakkan hati yaitu takut kepada Allah”.
    Al-Auza’i berkata, “Barangsiapa yang lebih banyak mengingat kematian maka kehidupan cukup mudah baginya (mencari bekal dengan beramal shalih). Dan barangsiapa berucap dengan ilmunya maka dia akan sedikit bicara.” Al-Auza’i berkata, “Barangsiapa yang lama dalam shalat malam, maka Allah akan memudahkan urusannya dan menaunginya pada hari kiamat”.
    Muhammad bin al-Auza’i berkata, ayahku menasehatiku, “Wahai anakku, seandainya kita menerima setiap yang dikatakan manusia, maka hampir-hampir mereka itu menghinakan kita”.
    Al-Walid mendengar al-Auza’i berkata, “Wajib atasmu untuk berpegang teguh dengan atsar (teladan) para salaf meskipun manusia menjauhimu. Dan jauhilah kebanyakan pendapat orang-orang meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan yang indah. Sesungguhnya perkara yang benar itu akan nampak/jelas dan kamu berada di dalam jalan yang lurus.”
    Al-Auza’i memberi nasehat kepada Baqiyah bin al-Walid, “Wahai Baqiyah, janganlah kamu menyebut/membicarakan salah seorang dari sahabat Nabi kecuali kabaikannya. Wahai Baqiyah, ilmu itu apa-apa yang datang dari sahabat Nabi, maka yang datang dari selain mereka bukan merupakan ilmu”. Dan berkata, “Tidak akan terkumpul kecintaan Ali dan Utsman kecuali hanya pada diri seorang Mu’min.”
    Muhammad bin Katsir mendengar al-Auza’i berkata, “Kami – dan para tabi’in – berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu berada di atas Arsy-Nya, kita beriman sebagaimana berita tersebut datang dalam sunnah tentang sifat-sifat-Nya’”.
    Al-Walid bin Mazid mendengar al-Auza’i berkata, “Apabila Allah menghendaki suatu kaum kejelekan, maka Allah akan membukakan baginya pintu berdebat dan enggan untuk beramal.” Dan juga berkata, “Sesungguhnya orang Mu’min itu sedikit bicara banyak beramal dan orang munafiq itu banyak bicara dan sedikit beramal.”
    Abdullah bin Ali adalah raja yang zalim, banyak menumpahkan darah, keras kepala, meskipun demikian, Imam al-Auza’i tetap berani dalam menyampaikan kebenaran sebagaimana yang kalian saksikan. Tidak sebagaimana akhlaq para ulama jahat yang menganggap baik sesuatu perkara di hadapan pimpinannya meskipun perkara tersebut kezaliman dan sia-sia, mereka membalik yang batil menjadi haq –- semoga Allah membinasakan mereka-– atau mereka diam (terhadap kemungkaran) meskipun sebenarnya mampu menyampaikan kebenaran.
    Al-Manshur meminta al-Auza’i menuliskan nasehat untuknya. Maka beliau menulis, “Ammaa ba’du, wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah, bertawadhu’lah maka Allah akan mengangkatmu pada hari di mana Allah akan merendahkan orang-orang yang sombong di dunia tanpa haq…”
    Muhammad bin Syu’aib mendengar Al-Auza’i berkata, “Barang siapa memanfaatkan ketergelinciran ulama, maka dia akan keluar dari agama Islam.” Al-Auza’i berkata, “Tidaklah seseorang membuat bid’ah melainkan akan hilang kewara’annya.” [Wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal yang dilarang dan sia-sia.]
    Ibnu Mazid mendengar al-Auza’i berkata, “Celakalah orang yang belajar dan faham agama Islam tanpa amal ibadah, dan celaka pula orang yang menghalalkan keharaman dengan syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan).” Muhammad bin Abdul Wahab bercerita, “Saya dan teman-teman sedang bersama Abu Ishaq al-Fazari. Lalu ada seseorang menyebut-nyebut tentang al-Auza’i. Maka beliau berkata, ‘Dia adalah seorang lelaki yang sungguh ajaib keadaannya. Jika ditanya tentang suatu perkara yang di sana ada atsar (ungkapan dan pendapat para sahabat dan dua generasi sesudahnya), maka dia menjawab sebagaimana dalam atsar tersebut. Dia tidak mendahului atsar tersebut dan tidak pula mengeyampingkannya.’”
    Al-Auza’i ditanya tentang pakaian berwarna hitam, maka beliau menjawab, “Janganlah dipakai untuk berihram, jangan pula untuk mengkafani mayit, dan jangan dipakai pada waktu pesta pernikahan.”
    Kapan Wafatnya?
    Muhammad bin Ubaid sedang bersama Sufyan ats-Tsauri ketika datang seorang laki-laki, dia berkata, “Saya bermimpi raihanah (tumbuhan berbau harum) yang berasal dari daerah Maghrib diangkat” Mendengar hal itu Sufyan ats-Tsauri menimpali, “Jika mimpimu benar maka sungguh al-Auza’i telah wafat.” Maka mereka menulis surat menanyakan hal itu, dan ternyata memang benar demikian.
    Sebab kematiannya, bahwa setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya mengecat sesuatu dengan cat berwarna, kemudian masuk kamar mandi yang ada di rumahnya; sementara istrinya masuk bersamanya dengan membawa tabung yang berisi arang agar beliau tidak kedinginan di dalamnya. Istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut. Ketika asap arang itu menyebar, beliau menjadi lemas. Beliau berusaha membuka pintu, tetapi tidak bisa. Kemudian beliau terjatuh, dan kami menemukannya dalam keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat.
    Abu Mushir berkata tentang kematian al-Auza’i, bahwa ketika dia berada di kamar mandi, istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut tanpa sengaja, sehingga hal itulah yang menjadi penyebab kematiannya. Karenanya Sa’id bin Abdul Aziz memerintahkan istri al-Auza’i untuk membebaskan seorang budak.
    Al-Auza’i tidak meninggalkan harta warisan melainkan uang sebanyak 6 dinar. Beliau meninggal pada tahun 153 H, dan kebanyakan ulama berkata bahwa beliau meninggal pada tahun 157 H di bulan Shafar.
    ***
    Diambil dari majalah Fatawa. 
  • Kisah Hajar Aswad 

    Ibrahim as diperintahkan Allah Swt membangun kembali Ka’bah. Ia memenuhi perintah itu dibantu putranya, Isma’il as. Saat hampir selesai mengerjakannya, Ibrahim as merasa ada yang kurang pada Ka’bah. Kemudian ia memerintahkan putranya, “Pergilah engkau mencari sebuah batu lagi yang akan aku letakkan di Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”
    Isma’il as mematuhi perintah ayahnya. Ia pergi dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari batu yang paling baik. Ketika sedang mencari, malaikat Jibril datang pada Isma’il as dan memberinya sebuah batu yang cantik. Dengan senang hati ia menerima batu itu dan segera membawa batu itu untuk diberikan pada ayahnya. Ibrahim as pun gembira dan mencium batu itu beberapa kali.
    Kemudian Ibrahim as bertanya pada putranya, “Dari mana kamu peroleh batu ini?” Isma’il as menjawab, “Batu ini aku dapat dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu.” Ibrahim as mencium batu itu lagi dan diikuti juga oleh Isma’il as.
    Begitulah, sampai saat ini banyak yang berharap bisa mencium batu yang dinamai Hajar Aswad itu. Umar bin Khathab pernah menyambaikan bahwa Rasulullah Saw sendiri pernah menciumnya. Saat Umar bin Khaththab berada di hadapan Hajar Aswad dan menciumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (Hadits no 228 Kitab Sahih Muslim).
    Karena sangat bersejarahnya, ada juga orang yang ingin mencuri Hajar Aswad. Di akhir bulan Muharram 1351 H, datanglah seorang laki-laki ke Ka’bah. Ia mencungkil Hajar Aswad, mencuri potongan kain Kiswah, dan membawa sepotong perak dari tangga Ka’bah. Untunglah, penjaga masjid mengetahuinya, laki-laki itu pun ditangkap dan dihukum. Tanggal 28 Rabi’ul Akhir tahun yang sama, dilakukan penempelan kembali bongkahan batu itu ke tempat asalnya.
    Sebelumnya perekatan itu, dilakukan penelitian oleh para ahli mengenai bahan perekat yang digunakan. Akhirnya ditemukan perekat berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar. (imam)
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/27/093602/1429109/985/kisah-hajar-aswad
  • Kemuliaan Taat Kepada Ibu 

    Suatu saat Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabat, “Sungguh, kelak ada orang yang termasuk tabi’in terbaik yang bernama Uwais. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepadanya. Sehingga, kalau dia mau berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Dia punya sedikit bekas penyakit kusta. Oleh karena itu, perintahkan dia untuk berdoa, niscaya dia akan memintakan ampun untuk kalian.” (HR Muslim).
    Bernama lengkap Uwais Al-Qarni, ia tinggal bersama ibunya di negeri Yaman. Setiap hari ia menggembalakan domba milik orang lain. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya hidup bersama ibunya. Bila ada kelebihan dari upahnya itu terkadang ia berikan kepada tetangganya yang kekurangan.
    Ia termasuk orang yang taat beribadah, selalu menjalankan ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Ia punya suatu keinginan yang belum terlaksana sejak lama yaitu bertemu dengan Rasulullah Saw. Keinginan itu kian memuncak setiap kali melihat tetangganya yang baru pulang dari Madinah dan sempat bertemu Rasulullah Saw. Tetapi apa daya, ibunya sudah tua renta dan sangat lemah. Ia begitu menyayanginya sehingga tak tega meninggalkannya sendiri.
    Semakin hari kerinduan bertemu Rasulullah Saw bertumpuk. Ia sangat gelisah mengingat-ingat itu. Suatu hari kerinduannya tak tertahan lagi, ia memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada ibunya. Mendengar curahan hati anaknya, ibunya terharu, ia pun diijinkan menemui Rasulullah Saw.
    Namun kerinduan itu tak sempat terobati karena saat ia datang, Rasulullah Saw sedang tak berada di rumah. Ingin sekali ia menunggu, tetapi ia teringat pesan ibunya untuk segera pulang. Ia pun memilih taat ibunya dan segera berpamitan pada ‘Aisyah.
    Ketika Rasulullah Saw kembali, beliau menanyakan tentang seseorang yang mencarinya. ‘Aisyah menjelaskan kedatangan Uwais. Kemudian Rasulullah Saw mengatakan Uwais yang taat pada ibunya itu penghuni langit. Rasulullah Saw meneruskan keterangan tentang Uwais kepada para sahabat. Seraya memandang Ali dan beliau mengatakan, “Suatu ketika jika kalian bertemu dengan Uwais mintalah doa dan istighfar darinya.” (imam)
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/28/160402/1430145/985/kemuliaan-taat-kepada-ibu
     
  • Ibnu Haitham, Ilmuwan Optik dari Basrah 

    Nama lengkapnya Abu Al Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham. Dunia Barat mengenalnya dengan nama Alhazen. Ia lahir di Basrah tahun 965 M. Di kota kelahirannya itu ia sempat menjadi pegawai pemerintahan. Tetapi segera keluar karena tidak suka dengan kehidupan birokrat.
    Sejak itu, mulailah perantauannya untuk belajar ilmu pengetahuan. Kota pertama yang dituju adalah Ahwaz kemudian Baghdad. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membawanya berhijrah ke Mesir. Untuk membiayai hidupnya, ia menyalin buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
    Belajar yang dilakukan secara otodidak membuatnya mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata telah menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat. Kajiannya mengenai pengobatan mata menjadi dasar pengobatan mata modern.
    Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian.
    Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, salah satunya adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
    Ibnu Haitham membuktikan dirinya begitu bergairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga saat ini. Di antara buku-bukunya itu adalah Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matematika penganalisaan; Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri; Kitab Tahlil ai’masa’il al ‘Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak; dan Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi.
    Meski menjadi orang terkenal di zamannya, namun Ibnu Haitham tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia dikenal sebagai orang yang miskin materi tapi kaya ilmu pengetahuan. (imam/ Hagi).
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/29/115306/1430388/985/ibnu-haitham-ilmuwan-optik-dari-basrah
  • Memuliakan Orang Berusia Lanjut 

    Alifmagz – detikRamadan
    Jakarta – Pada suatu subuh, Ali bin Abu Thalib bergegas menuju masjid untuk salat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun di tengah perjalanan, langkahnya terhambat oleh seorang lelaki tua berusia lanjut. Bapak tua itu berjalan lambat di depan Ali.
    Suami Fatimah binti Rasulullah itu tak ingin mendesak dan memaksa untuk mendahului bapak tua itu. Ali menghormati karena ketuaannya. Dengan sabar, Ali mengikuti langkah demi langkah bapak tua itu di belakangnya. Sebenarnya, ada keresahan dalam hati Ali. Ia kawatir, tak sempat mengikuti shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
    Tibalah iring-iringan Ali dan bapak tua itu di depan masjid. Ternyata, bapak tua itu tak memasuki masjid. Tahulah Ali bahwa bapak itu bukanlah seorang muslim, ia seorang Nasrani yang kebetulan sedang melintas. Setelah langkahnya tak terhalang, Ali bergegas memasuki masjid. Syukurlah, Ali masih sempat mengikuti raka’at terakhir.
    Seusai shalat berjama’ah, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa yang terjadi wahai Rasulullah? Tidak seperti biasanya, engkau memperlambat ruku’ yang terakhir?”
    Rasulullah Saw pun menjawab, “Ketika ruku’ dan membaca tasbih seperti biasa, aku hendak mengangkat kepalaku untuk berdiri. Tapi Jibril datang, ia membebani punggungku hingga lama sekali. Baru setelah beban itu diangkat, aku bisa mengangkat kepalaku dan berdiri.”
    “Mengapa bisa begitu ya Rasulullah?” tanya sahabat yang lain.
    “Aku sendiri tak mengetahuinya dan tak bisa menanyakan hal itu kepada Jibril,” jawab Rasulullah Saw.
    Maka, datanglah Jibril kepada Rasulullah Saw dan menjelaskan apa yang terjadi. “Wahai Muhammad! Sesungguhnya tadi itu karena Ali tergesa-gesa mengejar shalat berjama’ah, tapi terhalang oleh seorang laki-laki Nasrani tua. Ali menghormatinya dan tak berani mendahului langkah orang tua itu. Ali memberi hak orang tua itu untuk berjalan lebih dulu. Maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam keadaan ruku’ hingga Ali bisa menyusul shalat berjama’ah bersamamu.”
    Kemudian Rasulullah Saw mengatakan, “Itulah derajat orang yang memuliakan orang tua, meski orang tua itu seorang Nasrani.”
    Sumber: Pesan Indah dari Makkah & Madinah – Ahmad Rofi’ Usmani
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/17/120059/1421819/985/memuliakan-orang-berusia-lanjut
     
  • erva kurniawan 1:57 am on 5 Desember 2010 Permalink | Balas  

    Perjalanan Berliku Seorang Ahli Pengobatan 

    Jakarta – Umat Islam mengenal seorang tokoh yang ahli di bidang pengobatan. Ia bernama Abu Ali Al-Husain bin Abdullah bin Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina. Ia juga dikenal dengan nama Avicenna. Pemikiran Ibnu Sina di bidang pengobatan diakui banyak kalangan. Karyanya yang tertuang dalam kitab Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan selama berabad-abad.
    Ibnu Sina lahir pada 980 M di Afshana, Bukhara. Semasa kanak-kanak, ia mendapatkan pendidikan yang baik. Ayahnya mengirimnya untuk belajar pada seorang guru. Ia termasuk murid yang mempunyai semangat belajar yang tinggi. Tak ayal ia menjadi anak yang sangat menonjol karena kepandaiannya.
    Pada usia 16 tahun, Ibnu Sina mulai belajar kedokteran. Sambil belajar, ia juga mempraktekan ilmunya, memberi pelayanan kepada orang sakit. Dari situ, ia menemukan metode-metode pengobatan baru. Dua tahun bergelut di dunia pengobatan, ia menjadi mahir dan dikenal masyarakat secara luas.
    Pada suatu ketika, ia diminta mengobati seseorang yang punya jabatan penting di jajaran pemerintahan Dinasti Samanid. Ibnu Sina berhasil menyelamatkan pejabat itu dari serangan penyakit yang berbahaya. Ia diberi sejumlah imbalan. Namun Ibnu Sina menolaknya. Sebagai gantinya, ia meminta agar diberi akses ke perpustakaan milik negara. Sang pejabat mengabulkan permintaannya. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan belajar banyak buku dari koleksi perpustakaan itu.
    Saat berusia 22 tahun, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara menuju Jurjan. Tak lama kemudian, ia meninggalkan Jurjan menuju kota Hamazan karena terjadi kekacauan politik di Jurjan.
    Di Hamazan, Ibnu Sina diangkat menjadi perdana menteri di Rayyand karena jasanya menyembuhkan Sultan Shams al-Dawlah, seorang penguasa dari Dinasti Buwaihi. Namun, ada kelompok dari kalangan militer yang tak suka ia berada pada posisi itu. Dengan segala cara, kelompok itu memasukkan Ibnu Sina ke dalam penjara. Atas pertolongan Sultan, ia berhasil keluar dari penjara.
    Pada kesempatan yang lain, ia kembali berhasil menyembuhkan Sultan dari penyakit. Sultan pun kembali mengangkatnya menjadi menteri. Jabatan itu diembannya sampai Sultan meninggal dunia. Ketika ia ingin meninggalkan Bukhara menuju Isfahan, putra sang Sultan, Taj al-Muluk, menangkapnya. Ia dijebloskan ke penjara. Tak lama kemudian, ia berhasil melarikan diri ke Isfahan dengan cara menyamar.
    Ibnu Sina menghabiskan masa hidupnya di Isfahan. Ia meninggal pada usia 57 tahun. Di akhir hayatnya, Ibnu Sina menjadi seorang guru filasafat dan dokter di Isfahan. (imam)
    ***
    ramadan.detik.com/read/2010/08/21/125814/1424822/985/perjalanan-berliku-seorang-ahli-pengobatan
     
  • erva kurniawan 1:23 am on 30 November 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Ibnu ‘Arabi, Kaya Tanpa Terjebak Nafsu Keduniawian 

    Ibnu ‘Arabi yang dikenal dengan sebutan Syekh al-Akbar, tiba di Tunisia. Ia bertemu dengan seorang nelayan yang tinggal di gubuk berdinding lumpur kering. Nelayan itu dikenal sangat dermawan. Setiap hari ia melaut. Namun, seluruh hasil tangkapannya ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Sedangkan untuknya sendiri, hanya sepotong kepala ikan untuk direbus sebagai lauk makan malamnya.
    Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu ‘Arabi. Selang beberapa waktu, nelayan itu pun menjadi seorang syekh yang juga punya murid. Suatu ketika, salah seorang muridnya meminta izin untuk mengadakan perjalanan ke Spanyol.
    Sang nelayan mengijinkan dan berpesan agar menemui Ibnu ‘Arabi untuk meminta nasihat. Sudah bertahun-tahun nelayan itu merasa perkembangan jiwanya tak lagi mengalami kemajuan, ia membutuhkan nasehat Ibnu ‘Arabi.
    Sesampainya di kota tempat tinggal Ibnu ‘Arabi, murid nelayan itu menanyakan tempat ia bisa bertemu Ibnu ‘Arabi. Orang-orang yang ditanya menunjuk ke puncak bukit, ke sebuah puri yang tampak seperti istana. Melihat tempat yang ditunjuk orang-orang, murid itu sangat terkejut, betapa sangat duniawinya kehidupan Ibnu ‘Arabi. Jauh dibandingkan dengan kehidupan guru tercintanya yang sangat sederhana.
    Dengan enggan, ia melangkahkan kakinya ke arah puri itu. Sepanjang jalan ke puri, ia melalui ladang-ladang yang terawat baik dan jalan-jalan yang indah, lengkap dengan kumpulan domba, kambing, dan sapi. Ia menyempatkan diri bertanya kepada orang-orang di ladang, siapa pemilik semua ladang dan ternak ini.
    Setiap yang ditanya menjawab, milik Ibnu ‘Arabi. Keragu-raguan membayangi pikirannya, bagaimana mungkin orang yang sangat materialis seperti itu bisa menjadi seorang sufi terkemuka. Apalagi setelah ia sampai puri itu. Tak pernah ia melihat bagunan seindah dan semegah ini, bahkan dalam mimpi sekalipun.
    Murid sang nelayan itu tak bisa menyembunyikan kegeramannya ketika bertemu Ibnu ‘Arabi. Ia sangat marah ketika mendengar pesan Ibnu ‘Arabi yang diamanahkan kepadanya untuk disampaikan kepada gurunya, sang nelayan. Ibnu ‘Arabi berkata, “Sampaikan kepada gurumu, dirinya masih terikat pada keduniawian.”
    Sekembalinya murid itu ke kampung halamannya, ia menyampaikan pesan itu kepada gurunya. Sungguh ia tak menduga sikap gurunya. Mendengar pesan itu, gurunya mengatakan, “Ia benar! Ia sungguh tak peduli sama sekali dengan semua yang ada
    padanya. Sementara aku, ketika setiap malam menyantap kepala ikan, aku masih saja berharap seandainya saja kepa ikan itu adalah seekor ikan yang utuh.”  (imam) – ilustrasi: viky
    ***
    Sumber: Cinta Bagai Anggur – Syekh Ragip Frager, Ph. D
    ramadan.detik.com/read/2010/08/18/101742/1422304/985/ibnu-arabi-kaya-tanpa-terjebak-nafsu-keduniawian
     
  • erva kurniawan 1:20 am on 16 November 2010 Permalink | Balas  

    Ibadah Haji 

    Alkisah, di padang Arafah Ali bin Husain bertanya kepada Zuhri, ” Menurut engkau , berapakah kira-kira orang yang wukuf disini?”
    Kata Zuhri,”Menurut perkiraanku ada sekitar empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya Haji, mereka menuju Allah dengan harta mereka dan berteriak-teriak memanggil-Nya.”
    Ali bin Husain pun berkata,” Hai Zuhri, sebenarnya sedikit sekali yang haji.”
    Zuhri tentu saja keheranan,”Sebanyak itu apakah sedikit?”
    Ali lalu menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Kemudian Ali mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat kembali.
    Zuhri terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia diantara kerumunan monyet-monyet itu.
    Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia kini menyaksikan Babi-babi, dan sedikit sekali manusia.
    Pada usapan yang ketiga, Zuhri melihat banyaknya serigala dan sedikit sekali manusia.
    Berkat sentuhan orang Salih, Zuhri dapat melihat kebalik tubuh-tubuh mereka yang sedang wukuf di Arafah. Tuhan berkenan menyingkapkan tirai baginya, sehingga pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan, karena begitu banyaknya orang yang tampak lahirnya adalah manusia, tetapi hakikatnya binatang. Ia pun berfikir, apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara tampilan, dan binatang secara hakiki?.
    Ibadah Haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Rupanya kesibukan pada dunia telah melemparkan kita dari kemanusiaan kita. Kita jatuh menjadi mahluk yang lebih rendah; bukannya menjadi khalifah Allah SWT, tetapi justru kita menjadi Monyet, babi, dan serigala. Oleh karena itu, para jemaah haji dari satu sisi dapat dilihat ibarat rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia.
    Para jamaah haji semestinya meninggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lamanya agar menjalani kehidupan baru. Baju -baju kebesaran, yang sering dipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam lubang bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketioka kembali ketempat asalnya.
    Para jemaah haji harus meninggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Seorang haji adalah ibarat anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya, yaitu : suci dan telanjang; yang selanjutnya ia akan melangkah dengan langkah-langkah kesucian, kejujuran, kerendahan hati, dan pengabdian.
    Marilah kita renungkan , berapa banyakkah diantara jutaan orang yang beruntung dapat terhimpun di Arafah adalah Haji, dalam artian manusia yang sudah kembali kepada fitrahnya? Berapa besarkah diantara mereka yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya, dan sebagai gantinya menyerap Rahman-Rahimnya Allah? Mungkin kita tidak pernah tahu.
    Jika Ibadah Haji dilakukan dengan Khusuk maka ada tiga keutamaan yang dapat dirasakan menurut sebagian orang yang telah menunaikannya, yaitu :
    1. Kenikmatan dalam beribadah.
    2. Doa yang makbul
    3. Ketajaman introspeksi
    Sebagaimana lazimnya suatu perjalanan, maka dibutuhkan perbekalan. Perbekalan untuk menunaikan ibadah Haji paling sedikit ada tiga, yaitu :
    1. Ikhlas (tanpa ragu-ragu)
    2. Sabar
    3. Berserah Diri
    Rasulullah SAW , telah bersabda, “bahwa Iman manusia itu amat mudah berubah, yaitu laksana bulu ayam yang digantungkan di padang pasir.”
    Oleh karena itu, oleh karena itu, boleh jadi penurunan iman itu terjadi pada saat menunaikan ibadah haji. Ada beberapa kiat untuk mempertahankan atau meraih kembali iman yang turun :
    1. Sering-sering melaksanakan Thowaf
    2. Laksanakan setiap hari qiyamul lail
    3. Rajin membaca Al-Qur’an
    4. Hati selalu diisi dengan Zikir
    5. Batasi dalam berbicara.
    Setiap Jemaah Haji adalah Tamu Allah, oleh karena itu usahakanlah agar menjadi Tamu yang Sopan.
    ***
    Diringkas dari sentuhan Kalbu karya Ir. Permadi Alibasyah
     
  • erva kurniawan 1:01 am on 15 November 2010 Permalink | Balas
    Tags: ,   

    Dahsyatnya Sedekah 

    Dimanakah letak kedahsyatan hamba-hamba Allah yang bersedekah? Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :
    Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?” Allah menjawab, “Ada, yaitu besi” (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).
    Para malaikat pun kembali bertanya, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?”
    Allah yang Mahasuci menjawab, “Ada, yaitu api” (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).
    Bertanya kembali para malaikat, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?”
    Allah yang Mahaagung menjawab, “Ada, yaitu air” (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).
    “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?” Kembali bertanya para malaikat.
    Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, “Ada, yaitu angin” (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).
    Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, “Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?”
    Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, “Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya.”
    Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.
    Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.
    Karenanya, tidak usah heran, seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat. Sungguh ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan.
    Apalagi kedahsyatan seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas? Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bis antar kota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bis yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kurs-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itulah. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.
    Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apa? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafazkan zikir.
    Sahabat, tidaklah kita ragukan lagi, bahwa inilah sebagian dari fadhilah (keutamaan) bersedekah. Allah pasti menurunkan balasannya disaat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak pernah disangka-sangka. Allah Azza wa Jalla adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Bahkan kepada kita yang pada hampir setiap desah nafas selalu membangkang terhadap perintah-Nya pada hampir setiap gerak-gerik kita tercermin amalan yang dilarang-Nya, toh Dia tetap saja mengucurkan rahmat-Nya yang tiada terkira.
    Segala amalan yang kita perbuat, amal baik ataupun amal buruk, semuanya akan terpulang kepada kita. Demikian juga jika kita berbicara soal harta yang kini ada dalam genggaman kita dan kerapkali membuat kita lalai dan alpa. Demi Allah, semua ini datangnya dari Allah yang Maha Pemberi Rizki dan Mahakaya. Dititipkan-Nya kepada kita tiada lain supaya kita bisa beramal dan bersedekah dengan sepenuh ke-ikhlas-an semata-mata karena Allah. Kemudian pastilah kita akan mendapatkan balasan pahala dari pada-Nya, baik ketika di dunia ini maupun saat menghadap-Nya kelak.
    Dari pengalaman kongkrit kedua akhwat ataupun kutipan hadits seperti diuraikan di atas, dengan penuh kayakinan kita dapat menangkap bukti yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahwa sekecil apapun harta yang disedekahkan dengan ikhlas, niscaya akan tampak betapa dahsyat balasan dari-Nya.
    Inilah barangkali kenapa Rasulullah menyerukan kepada para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan infaq dan sedekah. Apalagi pada saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui,” demikian firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2] : 261).
    Seruan Rasulullah itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, “Ya, Rasulullah. Harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah.”
    “Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan,” jawab Rasulullah.
    Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. “Ya, Rasulullah. Saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya,” ujarnya.
    Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.
    Mengapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan Rasulullah tersebut? Ini tiada lain karena yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Medan perang adalah medan pertaruhan antara hidup dan mati. Kendati begitu para sahabat tidak ada yang mendambakan mati syahid di medan perang, karena mereka yakin apapun yang terjadi pasti akan sangat menguntungkan mereka. Sekiranya gugur di tangan musuh, surga Jannatu naÃÊm telah siap menanti para hamba Allah yang selalu siap berjihad fii sabilillaah. Sedangkan andaikata selamat dapat kembali kepada keluarga pun, pastilah dengan membawa kemenangan bagi Islam, agama yang haq!
    Lalu, apa kaitannya dengan memenuhi seruan untuk bersedekah? Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan pelipat ganda rizki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. Masya Allah!
    Sahabat, betapa dahsyatnya sedekah yang dikeluarkan di jalan Allah yang disertai dengan hati ikhlas, sampai-sampai Allah sendiri membuat perbandingan, sebagaimana tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini.
    ***
    Oleh: K.H. Abdullah Gymnastia 
  • Tangisan Seorang Pemimpin Yang Takut Pada Alloh 

    UMAR bin ABDUL AZIZ, Dia seorang hafizh, mujtahid, sangat mendalam ilmunya, zuhud,ahli ibadah dan sosok pemimpin kaum Muslimin yang sejati. Dia juga disebut Abu Hafsh,dari suku Quraisy,Bani Umayyah. Istrinya, Fathimah pernah berkata, “ Dikalangan kaum laki-laki memang ada yang shalat dan puasanya lebih banyak dari Umar. Tetapi aku tidak melihat seorangpun yang lebih banyak ketakutannya kepada Allah daripada Umar, jika masuk rumah ia langsung menuju tempat shalatnya, bersimpuh dan menangis sambil berdoa kepada Alloh hingga tertidur. Kemudian dia bangun dan berbuat seperti itu sepanjang malam.”
    Takkala menyampaikan khutbah terakhirnya, Umar bin Abdul Aziz naik keatas mimbar, memuji Alloh, lalu berkata, “ Sesungguhnya ditanganmu kini tergenggam harta orang-orang yang binasa. Orang-orang yang hidup pada generasi mendatang akan meninggalkannya, seperti yang telah dilakukan oleh generasi yang terdahulu. Tidakkah kamu ketahui bahwa siang dan malam kamu sekalian mengarak jasad yang siap menghadap Allah, lalu kamu membujurkannya di dalam rekahan bumi, tanpa tikar tanpa bantal, lalu kamu menimbunnya dalam kegelapan bumi ?. Jasad itu telah meninggalkan harta dan kekasih-kekasihnya. Dia terbujur dikolong bumi, siap menghadap hisab. Dia tak mampu berbuat apa-apa menghadapi keadaan sekitarnya dan tidak lagi membutuhkan semua yang ditinggalkannnya. Demi Allah, kusampaikanhal ini kepadamu sekalian, karena aku tidak tahu apa yang terbatik didalam hati seorang seperti yang kuketahui pada diriku sendiri “
    Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz menarik ujung bajunya, menyeka air mata, lalu turun dari mimbar. Sejak itu dia tidak keluar rumah lagi kecuali setelah jasadnya sudah membeku.
    Diriwayatkan dari Abdus-Salam, mantan budak Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata: “ Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, melihat ia menangis, istrinya dan semua anggota keluarganya pun ikut menangis, padahal mereka tidak tahu persis apa pasalnya mereka ikut-ikutan menangis”.
    Setelah suasana reda, Fathimah, istrinya bertanya: “Demi ayahku sebagai jaminan, wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat engkau menangis? “. Umar bin Abdul aziz menjawab, “ Wahai fathimah, aku ingat akan persimpangan jalan manusia takkala berada di hadapan Alloh, bagaimana sebagian diantara mereka berada di sorga dan sebagian lain berada di neraka
    ***
    Sumber: http://www.mediamuslim.info  
  • Hikayat Iblis : Dialog Iblis vs Rasulullah SAW 

    Allah SWT telah memerintahkan seorang Malaikat menemui Iblis supaya dia menghadap Rasulullah saw untuk memberitahu segala rahasianya, baik yang disukai maupun yang dibencinya. Hikmatnya ialah untuk meninggikan derajat Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai peringatan dan perisai kepada umat manusia.
    Maka Malaikat itu pun berjumpa Iblis dan berkata, “Hai Iblis! Bahwa Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memberi perintah untuk menghadap Rasullullah saw. Hendaklah engkau buka segala rahasiamu dan apapun yang ditanya Rasulullah hendaklah engkau jawab dengan sebenar-benarnya. Jikalau engkau berdusta walau satu perkataan pun, niscaya akan terputus semua anggota badanmu, uratmu, serta disiksa dengan azab yang amat keras.”
    Mendengar ucapan Malaikat yang dahsyat itu, Iblis sangat ketakutan. Maka segeralah dia menghadap Rasulullah SAW dengan menyamar sebagai seorang tua yang buta sebelah matanya dan berjanggut putih 10 helai, panjangnya seperti ekor lembu.
    Iblis pun memberi salam, sehingga 3 kali tidak juga dijawab oleh Rasulullah saw. Maka sambut Iblis (alaihi laknat),
    “Ya Rasulullah! Mengapa engkau tidak mejawab salamku? Bukankah salam itu sangat mulia di sisi Allah?” Maka jawab Nabi dengan marah, “Hai Aduwullah seteru Allah! Kepadaku engkau menunjukkan kebaikanmu? Janganlah mencoba menipuku sebagaimana kau tipu Nabi Adam a.s sehingga keluar dari syurga, Habil mati teraniaya dibunuh Qabil dengan sebab hasutanmu, Nabi Ayub engkau tiup dengan asap beracun ketika dia sedang sujud sembahyang hingga dia sengsara beberapa lama, kisah Nabi Daud dengan perempuan Urya, Nabi Sulaiman meninggalkan kerajaannya karena engkau menyamar sebagai isterinya dan begitu juga beberapa Anbiya dan pendeta yang telah menanggung sengsara akibat hasutanmu.
    Hai Iblis! Sebenarnya salam itu sangat mulia di sisi Allah azza wajalla, cuma salammu saja aku tidak hendak menjawabnya karena diharamkan Allah. Maka aku kenal baik-baik engkaulah Iblis, raja segala iblis, syaitan dan jin yang menyamar diri. Apa kehendakmu datang menemuiku?”
    Taklimat Iblis, “Ya Nabi Allah! Janganlah engkau marah. Karena engkau adalah Khatamul Anbiya maka dapat mengenaliku. Kedatanganku adalah diperintah Allah untuk memberitahu segala tipu dayaku terhadap umatmu dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ya Nabi Allah! Setiap apa yang engkau tanya, aku bersedia menerangkan satu persatu dengan sebenarnya, tiadalah aku berani menyembunyikannya.”
    Maka Iblis pun bersumpah menyebut nama Allah dan berkata, “Ya Rasulullah! Sekiranya aku berdusta barang sepatah pun niscaya hancur leburlah badanku menjadi abu.”
    Apabila mendengar sumpah Iblis itu, Nabi pun tersenyum dan berkata dalam hatinya, inilah satu peluangku untuk menyiasati segala perbuatannya agar didengar oleh sekalian sahabat yang ada di majlis ini dan menjadi perisai kepada seluruh umatku.
    Pertanyaan Nabi (1):
    “Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?”
    Jawab Iblis:
    “Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.”
    Maka Nabi pun memandang muka Iblis, dan Iblis pun menggeletar karena ketakutan. Sambung Iblis, “Ya Khatamul Anbiya! Ada pun aku dapat merubah diriku seperti sekalian manusia, binatang dan lain-lain hingga rupa dan suara pun tidak berbeda, kecuali dirimu saja yang tidak dapat aku tiru karena dicegah oleh Allah.
    Kiranya aku menyerupai dirimu, maka terbakarlah diriku menjadi abu. Aku cabut iktikad / niat anak Adam supaya menjadi kafir karena engkau berusaha memberi nasihat dan pengajaran supaya mereka kuat untuk memeluk agama Islam, begitu jugalah aku berusaha menarik mereka kepada kafir, murtad atau munafik. Aku akan menarik seluruh umat Islam dari jalan benar menuju jalan yang sesat supaya masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya bersamaku.”
    Pertanyaan Nabi (2):
    “Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?”
    Jawab Iblis:
    “Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.
    Demikian juga ketika pesta yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Disana aku lepaskan sebesar-besar godaan supaya hilang peraturan dan minum arak. Apabila terminum arak itu maka hilanglah akal, fikiran dan malunya. Lalu aku ulurkan tali cinta dan terbukalah beberapa pintu maksiat yang besar, datang perasaan hasad dengki hingga kepada pekerjaan zina. Apabila terjadi kasih antara mereka, terpaksalah mereka mencari uang hingga menjadi penipu, peminjam dan pencuri.
    Apabila mereka teringat akan salah mereka lalu hendak bertaubat atau berbuat amal ibadat, aku akan rayu mereka supaya mereka menangguhkannya. Bertambah keras aku goda supaya menambahkan maksiat dan mengambil isteri orang. Bila kena goda hatinya, datanglah rasa ria, takabur, megah, sombong dan melengahkan amalnya. Bila pada lidahnya, mereka akan gemar berdusta, mencela dan mengumpat. Demikianlah aku goda mereka setiap saat.”
    Pertanyaan Nabi (3):
    “Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”
    Jawab Iblis:
    “Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa Diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.
    Tiba-tiba datang firman Allah SWT hendak menjadikan seorang Khalifah di dunia ini, maka akupun membantah. Lalu Allah menciptakan lelaki (Nabi Adam) lalu dititahkan seluruh Malaikat memberi hormat kepada lelaki itu, kecuali aku yang ingkar. Oleh karena itu Allah murka kepadaku dan wajahku yang tampan rupawan dan bercahaya itu bertukar menjadi keji dan kelam. Aku merasa sakit hati. Kemudian Allah menjadikan Adam raja di syurga dan dikurniakan seorang permaisuri (Siti Hawa) yang memerintah seluruh bidadari. Aku bertambah dengki dan dendam kepada mereka.
    Akhirnya aku berhasil menipu mereka melalui Siti Hawa yang menyuruh Adam memakan buah Khuldi, lalu keduanya diusir dari syurga ke dunia. Keduanya berpisah beberapa tahun dan kemudian dipertemukan Allah (di Padang Arafah), hingga mereka mendapat beberapa orang anak. Kemudian kami hasut anak lelakinya Qabil supaya membunuh saudaranya Habil. Itu pun aku masih tidak puas hati dan berbagai tipu daya aku lakukan hingga Hari Kiamat.
    Sebelum Engkau lahir ke dunia, aku beserta bala tentaraku dengan mudah dapat naik ke langit untuk mencuri segala rahasia serta tulisan yang menyuruh manusia berbuat ibadat serta balasan pahala dan syurga mereka. Kemudian aku turun ke dunia, dan memberitahu manusia yang lain daripada apa yang sebenarnya aku dapatkan, dengan berbagai tipu daya hingga tersesat dengan berbagai kitab bid’ah dan carut-marut.
    Tetapi ketika engkau lahir ke dunia ini, maka aku tidak dibenarkan oleh Allah untuk naik ke langit serta mencuri rahasia, kerana banyak Malaikat yang menjaga di setiap lapisan pintu langit. Jika aku berkeras juga hendak naik, maka Malaikat akan melontarkan anak panah dari api yang menyala. Sudah banyak bala tenteraku yang terkena lontaran Malaikat itu dan semuanya terbakar menjadi abu. Maka besarlah kesusahanku dan bala tentaraku untuk menjalankan tugas menghasut.”
    Pertanyaan Nabi (4):
    “Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?”
    Jawab Iblis:
    “Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku”
    Pertanyaan Nabi (5):
    “Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
    Jawab Iblis:
    “Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.
    Setengah-setengahnya datang pada setiap anggota badannya supaya malas sholat, was-was, terlupa bilangan rakaatnya, bimbang pada pekerjaan dunia yang ditinggalkannya, sentiasa hendak cepat habis sholatnya, hilang khusyuknya – matanya sentiasa menjeling ke kiri kanan, telinganya senantiasa mendengar orang bercakap serta bunyi-bunyi yang lain. Setengah Iblis duduk di belakang badan orang yang sembahyang itu supaya dia tidak kuasa sujud berlama-lama, penat atau duduk tahiyat dan dalam hatinya senantiasa hendak cepat habis sholatnya, itu semua membawa kepada kurangnya pahala. Jika para Iblis itu tidak dapat menggoda manusia itu, maka aku sendiri akan menghukum mereka dengan seberat-berat hukuman.”
    Pertanyaan Nabi (6):
    “Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
    Jawab Iblis:
    “Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya.”
    Pertanyaan Nabi (7):
    “Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
    Jawab Iblis:
    “Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”
    Pertanyaan Nabi (8):
    “Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
    Jawab Iblis:
    “Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu syurga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam syurga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”
    Pertanyaan Nabi (9):
    “Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?”
    Jawab Iblis:
    “Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”
    Saidina Abu Bakar al-Siddiq sebelum bersamamu, aku tidak dapat mendekatinya, apalagi setelah berdampingan denganmu. Dia begitu percaya atas kebenaranmu hingga dia menjadi wazirul a’zam. Bahkan engkau sendiri telah mengatakan jika ditimbang seluruh isi dunia ini dengan amal kebajikan Abu Bakar, maka akan lebih berat amal kebajikan Abu Bakar. Tambahan pula dia telah menjadi mertuamu karena engkau menikah dengan anaknya, Saiyidatina Aisyah yang juga banyak menghafadz Hadits-haditsmu.
    Saidina Umar Al-Khattab pula tidaklah berani aku pandang wajahnya karena dia sangat keras menjalankan hukum syariat Islam dengan seksama. Jika aku pandang wajahnya, maka gemetarlah segala tulang sendiku karena sangat takut. Hal ini karena imannya sangat kuat apalagi engkau telah mengatakan, “Jikalau adanya Nabi sesudah aku maka Umar boleh menggantikan aku”, karena dia adalah orang harapanmu serta pandai membedakan antara kafir dan Islam hingga digelar ‘Al-Faruq’.
    Saidina Usman Al-Affan lagi, aku tidak bisa bertemu, karena lidahnya senantiasa bergerak membaca Al-Quran. Dia penghulu orang sabar, penghulu orang mati syahid dan menjadi menantumu sebanyak dua kali. Karena taatnya, banyak Malaikat datang melawat dan memberi hormat kepadanya karena Malaikat itu sangat malu kepadanya hingga engkau mengatakan, “Barang siapa menulis Bismillahir rahmanir rahim pada kitab atau kertas-kertas dengan dakwat merah, nescaya mendapat pahala seperti pahala Usman mati syahid.”
    Saidina Ali Abi Talib pun itu aku sangat takut karena hebatnya dan gagahnya dia di medan perang, tetapi sangat sopan santun, alim orangnya. Jika iblis, syaitan dan jin memandang beliau, maka terbakarlah kedua mata mereka karena dia sangat kuat beribadat serta beliau adalah golongan orang pertama memeluk agama Islam dan tidak pernah menundukkan kepalanya kepada sebarang berhala. Bergelar ‘Ali Karamullahu Wajhahu’ – dimuliakan Allah akan wajahnya dan juga ‘Harimau Allah’ dan engkau sendiri berkata, “Akulah negeri segala ilmu dan Ali itu pintunya.” Tambahan pula dia menjadi menantumu, semakin aku ngeri kepadanya.”
    Pertanyaan Nabi (10):
    “Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?”
    Jawab Iblis:
    “Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan laranganNya seperti kata Jibril a.s, “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersukacita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku hela ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada masa beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.
    Lalu aku goda agar minta kaya dulu, dan apabila diizinkan Allah dia menjadi kaya, maka dilupakan beramal, tidak berzakat seperti Qarun yang tenggelam dengan istana mahligainya. Bila umatmu terkena penyakit tidak sabar dan tamak, dia senantiasa bimbang akan hartanya dan setengahnya asyik hendak merebut dunia harta, bercakap besar sesama Islam, benci dan menghina kepada yang miskin, membelanjakan hartanya untuk jalan maksiat, tempat judi dan perempuan lacur.”
    Pertanyaan Nabi (11):
    “Siapa yang serupa dengan engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”
    Pertanyaan Nabi (12):
    “Siapa yang mencahayakan muka engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”
    Pertanyaan Nabi (13):
    “Apakah rahasia engkau kepada umatku?”
    Jawab Iblis:
    “Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”
    Pertanyaan Nabi (14):
    “Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”
    Pertanyaan Nabi (15):
    “Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”
    Pertanyaan Nabi (16):
    “Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?”
    Jawab Iblis:
    Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”
    Pertanyaan Nabi (17):
    “Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian jua pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”
    Pertanyaan Nabi (18):
    “Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”
    Pertanyaan Nabi (19):
    “Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”
    Pertanyaan Nabi (20):
    “Apa lagi yang memecahkan mata engkau?”
    Jawab Iblis:
    “Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda,’Syurga itu di bawah tapak kaki ibu’”
    ***
    Dari Sahabat
  • Mengenang Al Maliki 

    Oleh : Hasan Husen Assagaf.
    MENGENANG jasa merupakan ibadah. Orang yang tak mengenangnya bukan dikatagorikan orang baik. Karena ia tidak bisa berbalas budi orang. Bagaikan kisah diputar ulang, beberapa tahun yang lalu, tepatnya Jumat 15 Ramadhan 1425 H Makkah dan dunia Islam menangis karena tersiar berita bahwa Sayyid Mohammad Al-Maliki, wafat. Beliau meninggal sekitar pukul 6 pagi di salah satu rumah sakit di Makkah, setelah beberapa jam berjuang melawan penyakit yang dating secara mendadak.
    Jelasnya, jasa beliau yang besar terhadap Islam tidak bisa dilupakan. Tahun demi tahun berlalu, dan ingatan kita pasti menyertainya terutama di bulan yang penuh rahmah ini. Kita tidak bisa lupa kepada beliau. Ingatan kita kepada beliau sudah menjadi kebutuhan, ibarat kita butuh makan, butuh minum, butuh menghirup udara segar, butuh tidur, butuh istirahat, butuh senyum, butuh salam, butuh menyayangi dan disayangi.
    Sayid Muhammad Al-Maliki dikenal sebagi guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat muslim menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama.
    Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengan thariqahnya. Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar, menjawab dengan hikmah dan memikirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil dalil yang jitu bukan denganemosi dan pertikaian yang tidak bermutu.
    Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas Umul Qura dan halaqah ta’lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak bersependapat dan sealiran denganya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah.
    Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad Al-Maliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan marja’ dan reference di negara-negara mereka.
    Disamping tugas beliau sebagi da’i, pengajar, pembimbing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermangfaat bagi agama, beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya telah beredar di seluruh dunia. Dan tidak sedikit dari kibat beliau yang beredar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll.
    Da’wah semacam inilah yang telah diwasiatkan Rasulallah saw, lima belas abad silam, yang datang sebagi rahmat dan membawa perdamaian bagi alam dan seluruh umat manusia. Bukankah Rasulallah, setelah berhijrah ke Madinah, pertama-tama yang dilakukannya, setelah mepersaudarakan antara kaum Ansor dan Muhajirin, adalah membuat perdamaian dengan tiga kelompok Yahudi yang berada disana, bani Qainuqa’, Bani Nadzir dan bani Quraidzoh. Beliau telah membuat hubungan baik dan menggelar perjanjian untuk hidup damai dan saling menghormati. Akan tetapi orang-orang Yahudi sendirilah yang mengkhianati dan merusak perjanjian trb.
    Agama kita, Islam, adalah agama yang membawa rahmat dan mencintai damai. Islam diambil dari kata “salam” yang artinya damai. Damai di dunia dan damai di akhirat. Islam tidak menyuruh untuk berperilaku baik dan menghormati hanya kepada sesama muslim saja, akan tetapi Islam menganjurkan kita untuk berperilaku baik dan berbuat hormat kepada semua manusia.
    Contohnya, suatu saat Rasulallah sedang duduk di beranda rumahnya. Tiba-tiba ada orang-orang yang lewat mengusung keranda janazah. Beliau pun berdiri karena rasa hormat terhadap jenazah tersebut. Namun salah seorang sahabat memberi tahu Nabi, serta berkata ” Wahai Rasulallah, itu adalah jenazah orang Yahudi? ” Nabi menanggapi ” Bukankah ia juga jiwa manusia ” ( HR Imam Bukhari )
    Islam mengajarkan untuk berbuat baik dan damai bukan kepada manusia saja, akan tetapi Islam telah menganjurkan untuk berbuat baik sampai terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah dalam hadist Nabi telah diriwayatkan bahwa seorang wanita masuk neraka disebabkan karna menganiyaya seekor kucing? Begitu pula seorang pelacur masuk sorga karna telah memberi minum seekor anjing yang kehausan?
    Rahmat Islam rupanya benar-benar lil a’lamin (bagi semesta alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup, semua memperoleh rahmat Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan, ada seorang lelaki yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Rasulallah bersabda, “Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu.”
    Ibnu sirin juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah melihat seseorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih. Beliau marah dan menegur orang trb, ” Jangan lakukan itu! Giringlah hewan itu menuju kematiannya dengan baik.” (HR Imam Nasai )
    Itulah kebesaran agama Islam. Itulah kehebatan agama kita. Rasulallah tidak mengajarkan kita berda’wah dengan kekerasan, paksaan dan berutal. Akan tetapi beliau mengajarkan umatnya berda’wah dengan hikmah dan mauidzah hasanah, dengan akhlak dan suluk yang ramah. Ini konci kesuksesan da’wah ulama semacam Sayyid Muhammad Al-Maliki.
    Selamat tinggal ayah yang berhati baik. Selamat tinggal sosok tubuh yang pernah menanamkan hikmah, ilmu, teladan di hati hati kami. Selamat tinggal pemimpin umat yang tak bisa kami lupakan dalam pendiriannya dan keikhlasannya. Selamat tinggal pahlawan yang jujur, ikhlas dalam amal dan perbuatanya. Kemulyaan kamu telah meliputimu semasa hidupmu dan di saat wafatmu. Kamu telah hidupi hari hari mu dengan mulia, dan sekarang kamu telah terima imbalannya disaat wafatmu pula dengan mulia.
    ***
    Wallahu’alam
    Hasan Husen Assagaf.
     
  • erva kurniawan 1:24 am on 21 Oktober 2010 Permalink | Balas
    Tags: Musa dan Khidir   

    Musa dan Khidir 

    Oleh : Hasan Husen Assagaf
    MUSA adalah nabi yang paling banyak disebut nama dan kisahnya dalam al Qur’an. Lebih dari 125 nama Musa tercantum di dalamnya. Tentu kita bertanya kenapa Allah mengistimewakan Musa as dari nabi-nabi yang lain? Dan kenapa kisah nabi Musa merupakan kisah yang terbanyak disebut dalam al Quran?.
    Pertama, nabi Musa as merupakan lima dari para nabi yang memiliki sifat Ulil ‘Azmi yang menurut urutanya menduduki martabat kedua setelah nabi kita Muhammad saw.
    Kedua, sesungguhnya Allah telah memilih dan mengistimewakan Musa as lebih dari manusia yang lain di masanya atau di zamannya untuk membawa risalah Nya dan untuk berbicara langsung dengan Nya. Allah berfirman, “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu” QS. Thaha : 13
    Ketiga, Allah berfirman dalam al Quran ” Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” QS. An-Nisaa: 164. Ini merupakan keistimewaan dan kelebihan yang diberikan Allah kepada Nabi Musa as. Oleh karena itu ia telah diberi gelar “Kalimullah”, yang artinya bahwa Musa as telah mendapat wahyu langsung dari Allah tidak melalui perantaraan Jibril as, sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu melalui perantaraan Jibril. Adapun nabi kita Muhammad saw melebihi nabi Musa as dan nabi-nabi yang lainnya, karena disamping beliau telah mendapat wahyu melalui Jibril as, pula beliau telah bertemu muka dan berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu Mi’raj
    Keempat, Allah telah melimpahkan kasih sayang kepada nabi Musa as dari mulai lahirnya dan selalu mendapat pengawasan-Nya. Allah berfirman dalam QS. Thaha: 39 “Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu dan supaya kamu diasuh dibawah pengawasan Ku”
    Selain dari yang disebut di atas, Allah telah membeberkan kisah nabi Musa dan Khidhir dalam kitab suci al Qur’an. Dalam kisah Musa dan Khidhir, Allah hendak menunjukkan pada kita risalah pematangan rohani kekasih-Nya, Nabi Musa AS. Agar nabi yang diistimewakan dan cemerlang kecerdasan otaknya itu juga menjadi hamba yang cemerlang kecerdasan batinnya hingga ia pun (seperti halnya Nabi Khidir as) cekatan memahami suatu tindakan, peristiwa, dan segenap kenyataan hidup yang terbentang di depan mata. Juga, dilain fihak, Allah mengajarkan kepada Musa kenyataan rutin dalam hidup sehari-hari, dengan bahasa batin, bahasa hati, bahasa jiwa bukan dengan bahasa mulut atau bahasa lisan yang bisa memutar balikan kata kata. Nabi Khidir as di sini disuruh Allah memainkan peran sebagai guru tarekat, guru rohani, bagi Nabi Musa as untuk mengajarkan kepadanya hakikat hidup.
    Singkatnya, saya tidak akan bawakan kisah nabi Musa as dan Khidhir as secara rinci, karena kisah mereka sudah banyak diketahui dan sangat luas tidak cukup dibeberkan dalam beberapa lebar kertas. Akan tetapi disini, saya akan bawakan perjalanan terakhir nabi Musa as dan Khidhir as, disaat mereka berjalan dan tiba di satu kampung di mana penduduk kampung itu tidak ada yang ingin menjamu mereka
    Allah berfirman dalam kitab suci, “Maka keduanya berjalan hingga tetkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata : jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Khidir berkata : inilah perpisahan antara aku dengan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” surat al-Kahfi
    Ayat di atas, menurut kisahnya, nabi Musa as dan Khidhir as berjalan bersama-sama sehingga tiba ke suatu kampung dimana penduduknya pelit dan kikir. Semua tidak ada yang mau menjamu mereka, semua menutup pintu menolak menerima mereka sebagai tamu asing di kampung itu.
    Pelit dan kikir disini bukan hanya dalam harta dan benda. Akan tetapi pelit dan kikir sangat luas, bisa pula diartikan pelit dan kikir dalam bermu’amalat sesama manusia, pelit dan kikir dalam tindakan dan perilaku, pelit dan kikir dalam sapa dan nyapa. Karena agama diturunkan bukan hanya untuk solat dan puasa, bukan pula hanya untuk duduk di atas sejadah atau di dalam masjid, akan tetapi agama sangat luas dan lebar, salah satu diantaranya, agama juga diturunkan untuk bermu’amalat sesama manusia. “Addin Mu’amalah”, begitulah sabda nabi kita Muahammad saw.
    Nabi kita Muhammad bersabda “tidak berkumpul kekikiran dan keimanan di satu hati”
    Tatkala Allah menciptakan surga Firdaus yang mengalir di dalamnya sungai sungai, dan tertanam di dalamnya pepohonan yang indah, Dia pun berkata kepada surga Nya “Wahai surga berkatalah dengan seizin Ku”. Surgapun berkata “Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman”. Lalu Allah menegaskan kepada surga “Dengan kekuasaan dan kebesaran Ku, orang pelit dan kikir tidak bisa sama sekali mendampingimu”
    Cerita tetang pelit dan sombong, saya jadi teringat dengan kisah seorang kaya dari bani Israil yang sedang duduk makan siang bersama-sama istrinya. Di atas meja tersedia segala macam hidangan diantaranya ada ayam panggang. Tiba tiba seorang pengemis datang mengetuk pintu. Istrinya pun berkata kepada suaminya “Pak! Ada pengemis di depan rumah, kasihan pak. Apakah kita bersedekah kepadanya dengan sepotong ayam panggang? Sang suami tiba-tiba membentaknya “Jangan! usirlah pengemis itu dari depan rumah!.
    Dunia pun berputar, hari berganti hari, bulan berubah menajdi tahun. Si kaya yang digenangi dengan segala macam kenikmatan berobah menjadi miskin. Istri kesayanganya ditalaknya. Setelah ditalak sang istri kawin lagi dengan seorang laki laki kaya. Kemudian terulang lagi peristiwa sang istri makan siang bersama-sama suaminya yang baru. Tentu di atas meja terhidang segala macam makanan, dan tidak ketinggalan pula terdapat seporsi ayam panggang.
    Tiba tiba seorang pengemis datang mengetuk pintu meminta makanan. Sang suami berkata kepada istrinya dengan penuh rahmah: “Ambilah sepiring nasi dan sepotong ayam panggang sebagai lauknya, berikanlah kepada pengemis itu”. Setelah nasi dan ayam panggang diberikan kepada si pengemis, sang istri pun menangis.
    Suaminya sangat heran dan bertanya, “kenapa dik kamu menangis? Apakah kamu marah karena aku memberi pengemis itu nasi dan ayam panggang?”.
    Istrinya menjawab, ” tidak pak, tidak sama sekali, akan tetapi aku menangis karena ada sesuatu yang sangat ganjil dan ajaib”.
    Sang suami jadi penasaran ingin tahu apa yang ganjil dan ajaib itu. Ia pun bertanya, “Bu, apa gerangan yang ganjil dan ajaib itu? “.
    Istrinya menjawab, “Apakah kamu tahu siapa pengemis yang datang di depan pintu tadi? Sesungguhnya ia adalah suamiku yang pertama”.
    Mendengar ulasan sang istri, sang Suami segera berkata kepada istrinya “Apakan kamu tahu siapa aku sebenarnya? Sesungguhnya aku adalah pengemis pertama yang datang dulu ke rumahmu”.
    Subhanallah, Itulah dunia. Makanya janganlah sekali-kali menghina atau meremehkan seseorang, kemungkinan penghinaan itu bisa berbalik kepada diri penghina. Tuhan memberi rahmah kepada orang yang dihina dan sebaliknya diberikan kutukan dan musibah kepada penghina. Janganlah menghina orang miskin, orang bodoh, orang lemah siapa tahu Allah mengangkat derajatnya di kemudian hari, dan dijadikan penghina menjadi terhina dihadapanya. Dunia itu berputar, sesaat ia berada diatas dan sesaat lagi berada di bawah. Kalau ia sedang berada di atas jangalah sombong, angkuh dan bangga, sebaliknya kalau ia berada di bawah jangalah gelisah atau putus asa. Sesungguhnya di langit itu ada kerajaan yang Maha Besar, tertulis di depan pintun gerbangya: “Dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami” almu’minun 17
    “Katakanlah : Ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engaku cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatau. Engkau masukkan malam kedalam siang dan Engkau masukan siang kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa batas ” al-Quran
    Maka, “Cintailah yang dibumi agar yang di langit mencitaimu”
    Wallahu’alam
     
    • collectionmuslim 11:10 am on 22 Oktober 2010 Permalink

      Wah isi blog nya Bagus bagus izin sedot Bang
    • Fachrurozie 6:28 am on 24 Oktober 2010 Permalink

      terima kasih atas tulisan 2 nya yg memebri inspirasi dan pencerahan buat saya ………………syukron
  • erva kurniawan 1:52 am on 24 September 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Dajjal vs Isa Ibnu Maryam 

    Sebagaimana diketahui, bahwa beriman terhadap hari akhir merupakan salah satu rukun iman dalam aqidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Hari Akhir tiba dengan didahului tanda-tanda kecil dan besar. Adapun yang tergolong tanda-tanda besar adalah: Munculnya Dajjal Dan Turunnya Isa Ibnu Maryam.
    Ada sebagian orang-orang (ulama lokal) seperti. Prof. Hamka, Quray Shihab, Hj. Irene (mantan biarawati) yang tidak percaya akan turunnya Isa Ibnu Maryam dan munculnya Dajjal. (lihat buku: Jangan Tunggu Nabi Isa Turun) Hal ini dikarenakan, bahwa Hadits Abi Umamah al Rahili “sanadnya lemah”, juga (oleh Hj. Irene) dikatakan cerita “Dajjal dan turunnya Isa” hanya berasal dari Bibel.
    TETAPI seorang Mujaddid dan Ahli Hadits dunia, yaitu: Asy-Syaikh al-Allamah al-Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad Nasirudin Albani Rahimahullah, telah menyatakan, bahwa, Hadits-Hadits tentang munculnya Dajjal dan turunnya Isa Ibnu Maryam “setelah di takhrij dan tahqiq” adalah SHAHIH dan MUTAWATIR (banyak yang meriwayatkan). (lihat, Nabi Isa vs Dajjal. Hal.33)
    Kisah ini dikumpulkan hanya sebagian dari hadits-hadits dari sekian banyak hadits-hadits yang mengkisahkan tentang Dajjal vs Nabi Isa. Sumber: NABI ISA vs DAJJAL oleh: Ahli Hadits Syekh Albani, HURU-HARA HARI KIAMAT oleh: Ibnu Katsir
    (baca dengan sabar!)
    **
    Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Allah tidak pernah menurunkan ke bumi sejak penciptaan Adam hingga tejadi hari kiamat, sebuah fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajal. Saya telah mengatakan suatu perkataan yang belum pernah seorangpun mengatakannya (dari nabi) sebelumku.Dia (Dajjal) itu dari golongan manusia, dengan (ciri-ciri): rambut keriting, mata kiri buta, diatas mata kanannya ada alis yang tebal, dan ia mampu menyembuhkan kebutaan, dan penyakit belang-belang,
    Dajjal keluar pada saat agama mulai melemah dan ilmu pengetahuan tidak lagi di gubris. Ia akan tinggal dan berjalan dibumi selama 40 hari. Sehari bagaikan setahun, setahun bagaikan sebulan, dan sehari bagaikan satu jumat. Kemudian seluruh hari-harinya seperti harimu ini.
    Ia mengajak manusia untuk mengikuti lalu diikuti, dan mengajak orang-orang lalu ia membunuh mereka. Ia menampakkan dirinya pada mereka hal seperti itu terjadi hingga ia mendatangi Madinah.
    Maka nampaklah agama Allah dan diamalkan; agama Allah diikuti dan ia (Dajjal) suka akan hal itu. Kemudian ia berkata setelah itu, “sesungguhnya aku seorang nabi!” lalu bergetarlah semua yang berakal dan mereka pun pergi meninggalkannya. Lalu ia tinggal setelah itu dan berkata, “Aku adalah Allah!” maka matanya menjadi tertutup, telinganya terpotong dan tertulis diantara kedua matanya kafir, yang terbaca oleh segenap mukmin yang mampu menulis dan yang tidak mampu menulis.
    Dia membawa fitnah (cobaan bagi manusia) yang besar. Dia memerintahkan langit untuk menurunkan hujannya, maka turunlah hujan itu dan disaksikan oleh orang-orang.
    Ketika Dajjal muncul, seorang lelaki dari orang-orang yang beriman mencarinya, maka ia bertemu dengan sekelompok dajjal-dajjal (kecil), lalu mereka bertanya kepadanya, “Apa yang kamu cari?” Dia (lelaki itu) menjawab, “saya mencari orang yang keluar!” lalu mereka bertanya kepadanya (kembali), “Apakah kamu tidak mempercayai tuhan kami?” Dia menjawab: “Tuhan kami tidaklah samar.” Lalu mereka membawanya ke hadapan Dajjal (terbesar). Ketika orang beriman itu melihatnya, dia berkata, “Wahai sekalian mamusia, inilah dajjal yang telah disebutkan oleh Rasulullah s.a.w.
    Maka Dajjal segera menyuruh merebahkan tubuh orang beriman tersebut, dan memerintahkan untuk mengupas kulit dan memukuli punggung dan perutnya. Lalu Dajjal bertanya, “Apakah engkau masih tidak mempercayai kami?” Dia menjawab, “Engkau adalah Dajjal si pendusta. Kemudian diperintahkan supaya (mukmin tersebut) digergaji dari atas kepalanya hingga kakinya menjadi dua bagian, lalu Dajjal tersebut berjalan ditengah dua bagian badan yang telah tebelah dua.
    Kemudian Dajjal memerintahkan kepadanya, “Bangunlah!” maka bangunlah dan tegaklah dia. Kemudian Dajjal bertanya lagi, “Apakah kamu masih belum percaya kepadaku?” dia menjawab, “Tidak berkurang pengetahuanku tentang kamu, bahkan bertambah yakin.” Kemudian orang beriman tersebut berkata, “Wahai sekalian orang, dia (Dajjal) tidak dapat berbuat demikian lagi kepada seorangpun (membunuh kembali mukmin tersebut).
    Maka dia (Dajjal) berusaha untuk membunuh kembali orang beriman tersebut. Tetapi Allah telah meletakkan diantara lehernya dan bagian belakang orang itu sebuah tembaga, hingga tidak mampu disembelih. (karenanya) kemudian dipeganglah tangan dan kaki orang (mukmin) tersebut lalu dilemparkannya. Mereka menyangka ia dilemparkan ke dalam neraka, padahal ia dilemparkan ke surga. Itulah manusia yang paling besar kesaksiannya (mati syahid) di sisi Tuhan Rabbul ‘Alamin.
    Kemudian kaum muslimin lari kegunung Dukhan di Syam, lalu (Dajjal) datang kepada mereka dan mengepungnya. Kepungan itu sangat hebat dan sangat membuat mereka lelah.
    Isa turun!
    Ketika keadaan mereka seperti demikian keadaannya (genting), tiba-tiba terdengar suara panggilan dari sudut bukit, “Wahai sekalian manusia, aku mendatangkan untuk kalian pertolongan. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Sesungguhnya suara ini adalah suara laki-laki yang tidak pernah kelaparan.”
    Ibnu Maryam akan turun kepada umatnya (umat muhammad) diwaktu antara adzan dan iqomah. Ia turun di menara putih di timur Damaskus antara dua tempat. Ia menyandarkan kedua punggungnya pada sayap-sayap dua malaikat.
    Lalu turunlah (hadirlah) Isa ibnu Maryam ketika shalat shubuh, dan pemimpin (imam) mereka berkata kepadanya (Isa): “semoga Allah memberi ketenangan; silahkan (Nabi Isa) maju untuk memipin shalat!” Lalu dia (Nabi Isa) berkata: “Ummat ini adalah pemimpin (bagi) sebagian mereka kepada yang lainnya!” Lalu pemimpin (Imam) mereka maju dan memimpin shalat.
    Setalah menyelesaikan shalatnya, Isa mulai berperang, dan dia pergi kearah Dajjal. Ketika ia (Dajjal) melihatnya (melihat Isa), dia (Dajjal) merasa ketakutan (kemudian meleleh) sebagaimana timah meleleh, lalu dia (Isa) meletakkan antara dua dadanya (Dajjal), lalu membunuhnya, dan dia (Isa) juga memerangi para pengikut-pengikutnya. Pada saat itu tidak ada sesuatu yang dapat melindungi salah satu diantara mereka (pengikut Dajjal), sampai pohon akan berkata kepadanya: “Wahai orang beriman, ini orang kafir (bersembunyi)!” dan batu juga berkata: Wahai orang beriman, ini orang kafir!”
    Kemudian nabi Isa a.s. menetap di bumi selama 40 tahun sebagai pemimpin yang adil dan penengah yang jujur.
    Sabda Nabi s.a.w.: “Tidak ada antaraku dengannya (Isa) seorang nabi, dan sesungguhnya dia akan turun. Jika kalian melihatnya maka percayailah, seorang laki-laki yang kulitnya antara merah dan putih, pertengahan antara kedua warna tersebut, seakan-akan kepalanya basah sekalipun tidak dikenai air. Maka dia memerangi manusia demi islam, dia menghancurkan salib, menbunuh babi, membebaskan pajak, dan Allah menghancurkan pada zamannya itu semua agama kecuali Islam. Dia (Allah pada zaman itu) membinasakan si pembohong (Dajjal) (sehingga akhirnya penduduk di muka bumi ini merasa aman, sampai unta hitam bersusuhan dengan unta, singa dengan sapi, serigala dengan kambing, anak kecil bermain dengan ular tapi tidak membahayakannya.) Nabi Isa a.s. menetap di bumi selama 40 tahun sebagai pemimpin yang adil dan penengah yang jujur, kemudian dia wafat, maka orang-orang beriman menshalatkannya.
    ***
    Wallahualam bishowab
     
    • novia 12:13 am on 19 Maret 2011 Permalink

      apakah masih ada kehidupan setelah kiamat??
  • erva kurniawan 1:41 am on 23 September 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Tabiat si Yahudi 

    Wahb bin Munabah bercerita,
    Suatu ketika Isa as pergi mengembara diatas bumi ditemani oleh seorang Yahudi. Nabi Isa membawa bekal sepotong roti dan si Yahudi membawa dua potong roti. Maka Isa as berkata kepada si Yahudi, “Bolehkah aku ikut makan rotimu?” Si Yahudi menjawab, “Tentu.”. Tatkala si Yahudi mengetahui bahwa Isa as hanya membawa sepotong roti, ia menyesal telah mengiyakannya. Maka pada saat Isa as menunaikan shalat, ia pergi dan memakan sepotong roti miliknya. Selesai shalat, kedua orang itu mengeluarkan bekal makanannya. Nabi Isa as kemudian bertanya kepada temannya, “Dimana sepotong rotimu yang lain?” Si Yahudi menjawab, “Ternyata aku hanya membawa sepotong roti saja.” Maka kedua orang itu makan rotinya masing-masing.
    Kemudian kedua orang itu melanjutkan perjalanannya. Ketika mereka sampai didekat sebatang pohon, Nabi Isa as berkata kepada temannya, “Wahai kawanku, sebaiknya kita bermalam di bawah pohon ini sampai pagi menjelang.” Si Yahudi menjawab, “Baiklah.” Maka kedua orang itu bermalam dibawah pohon itu hingga pagi datang. Lalu merekapun melanjutkan perjalanan.
    Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang buta. Isa berkata kepadanya, “seandainya aku mengobatimu dan Allah mengembalikan penglihatanmu kembali, apakah engkau mau bersyukut kepada-Nya?” Orang buta itu menjawab, “Tentu.” Maka Isa as mengusap kedua matanya sambil membaca doa. Orang buta itupun dapat melihat kembali. Kemudian Isa as berkata kepada si Yahudi, “Demi Zat yang telah mengembalikan penglihatannya, dimanakah rotimu yang lain?” Si Yahudi menjawab, “Demi Allah, aku tidak membawa kecuali sepotong roti.” Nabi Isa as terdiam mendengar jawabannya.
    Kemudian keduanya melewati beberapa ekor kijang yang sedang merumput. Isa as menangkap seekor kijang dan menyembelihnya, “Hiduplah enkau dengan izin Allah.” Kijang itupun hidup kembali. Si Yahudi merasa takjub melihat kejadian itu dan berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah.” Lalu Isa as berkata kepadanya “Demi Zat yang telah memperlihatkan kebesaran-Nya ini, siapakah yang telah makan roti ketiga?”. Si Yahudi menjawab, “sungguh aku hanya membawa satu potong roti saja.”
    Kedua orang itu melanjutkan perjalanan hingga tiba disebuah sungai besar, lalu Isa as memegang tangan si Yahudi dan membawanya berjalan di atas air hingga keseberang sungai. Si Yahudi merasa takjub dan berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah!”. Nabi Isa bertanya kepadanya, “Demi Zat yang telah memperlihatkan tanda kebesaran-Nya ini, siapakah pemilik roti yang ketiga?” Si Yahudi menjawab, “Sungguh, Demi Allah aku hanya membawa sepotong roti saja.”
    Kemudian mereka melanjutkan perjalalan hingga disebuah kampung besar yang porak poranda. Tiba-tiba didekat mereka ada 3 bongkahan besar emas, lalu Isa as berkata kepada si Yahudi, “Satu bongkahan emas untukku, satu bongkahan emas untukmu, dan satu bongkahan emas lagi untuk pemilik roti yang ketiga.” Maka si Yahudi berkata, “Akulah pemilik roti yang ketiga. Aku telah memakannya saat engkau melaksanakan shalat.” Isa as berkata kepadanya, “Ambillah emas ini untukmu semua!” Lalu Isa as meninggalkannya seorang diri. Si Yahudi tidak mempunyai alat untuk membawa emas itu, sehingga ia hanya bisa menungguinya.
    Tak lama kemudian datang tiga orang jahat. Melihat si Yahudi menunggui emas, mereka lalu membunuh si Yahudi dan mengambil bongkahan emas tersebut. Dua orang dari mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah ke kampung dan bawalah makanan untuk kami.” Maka orang yang disuruh memberli makanan itu pergi sambil berkata dalam hati, “Aku akan menaruh racun pada makanan mereka sehingga mereka berdua mati dan aku bisa menikmati emas itu sendirian.” Maka orang itupun melaksanakan niat yang dibisikkan setan, kemudian datang menemui kedua orang temannya. Saat ia datang membawa makanan, ia dibunuh kedua orang temannya. Mereka menyantap makanan beracun itu tanpa curiga hingga akhirnya mereka berdua mati keracunan didekat bongkahan emas.
    Beberapa hari kemudian Isa as lewat ditempat itu. Tatkala ia melihat ke-4 orang itu mati tergeletak didekat bongkahan emas, ia berkata kepada pengikutnya (Hawariyyun), “Seperti inilah dunia memperlakukan penghuninya. Maka hati-hatilah terhadapnya.”
    ***
    Sumber : Kisah-kisah teladan untuk keluarga oleh Dr Mulyanto. Penerbit : Gema Insani.
     
  • erva kurniawan 7:30 am on 14 September 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , , , , ,   

    Malu Tak Seperti Kupu-Kupu 

    kupu-kupuRamadhan baru saja berlalu. Semua telah kembali seperti semula. Sisa-sisa keteduhan nuansa ramadhan hanya tinggal sekedarnya saja. Bahkan nyaris tak berbekas. Kue-kue lebaran masih banyak di meja, karena memang persiapan buat lebaran sangat mantap. Lengkap dengan berbagai jenis kue, cat rumah yang baru, interior serba baru dan yang tentu tidak ketinggalan pakaian baru yang serba bagus. Indah memang.
    Tapi sebenarnya bukan itu yang kita tuju. Bukankah hati ini gersang? Lisan kita tetap mengumpat, mata kita masih saja liar dan nafsu masih menjadi nomor wahid? Perilaku kita masih semrawut.
    Lalu indahkah kita? Bila lidah kita bisa merasakan lezatnya kue lebaran, tapi nikmatnya iman tak jua mampu kita cicipi? Bila rumah kita indah karna warna dan interior yang serba baru namun hati dan perilaku kita masih dengan warna dan interior yang dulu, kusam, lusuh dan tak terurus?
    Warna kusam yang semakin suram. Aurat kita terbungkus hijab serta baju baru sedang jiwa kita masih setia dg nafsu sebagai pakaiannya. Adilkah ini? Apakah kita rela? Fisik kita rapi dan cantik tapi “jeroan”nya pada sakit. Ternyata kita ini belum bisa bersikap dewasa. Hanya sekedar usia yang makin bertambah.
    Seorang kawan saya, pernah berkata; “Kupu-kupu itu mulanya adalah makhluk yang menjijikkan (siapa sih yang gak geli dan jijik ngeliat ulet?), tapi setelah ia berpuasa dan melewati masa kepompong makan ia berubah menjadi makhluk yang indah. Yang siapapun akan senang melihatnya. Apalagi dengan warna-warni yang Subhanalloh cantiknya.”
    Sedikit pesimis ia tanyakan atau tepatnya menyatakan isi hatinya; “Apakah manusia yang berpuasa akan mendapatkan keindahan layaknya kupu-kupu?” Tentu anda bisa menjawabnya. Betapa malunya kita yang tak bisa seindah kupu-kupu, walaupun telah berpuasa sebulan panjangnya.
    Semoga Alloh terus membimbing kita untuk mencapai maqamamahmudah nan indah. Amiiin.
    ***
    Sumber Email dari Sahabat.
     
  • erva kurniawan 1:36 am on 12 September 2010 Permalink | Balas  

    Kisah Rasulullah dan Seorang Badui 

    PADA suatu masa, ketika Nabi Muhammad SAW sedang tawaf di Kaabah, baginda mendengar seseorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir: “Ya Karim! Ya  Karim!”
    Rasulullah SAW meniru zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
    Orang itu berhenti di satu sudut Kaabah dan menyebutnya lagi “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah yang berada di belakangnya menyebutnya lagi “Ya Karim!   Ya Karim!”
    Orang itu berasa dirinya di perolok-olokkan, lalu menoleh ke belakang dan dilihatnya seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah yang belum pernah di lihatnya.
    Orang itu berkata, “Wahai orang tampan, apakah engkau sengaja mengejek-ngejekku, karena aku ini orang badui? Kalaulah bukan karena ketampanan dan kegagahanmu akan kulaporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
    Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”
    “Belum,” jawab orang itu.
    “Jadi bagaimana kamu beriman kepadanya?” tanya Rasulullah SAW.
    “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya walaupun saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab orang Arab badwi itu.
    Rasulullah SAW pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab, ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.”
    Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya lalu berkata, “Tuan ini Nabi Muhammad?” “Ya,” jawab Nabi SAW.
    Dengan segera orang itu tunduk dan mencium kedua-dua kaki Rasulullah SAW.
    Melihat hal itu Rasulullah SAW menarik tubuh orang Arab badwi itu seraya  berkata, “Wahai orang Arab, janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutus aku bukan untuk menjadi seorang yang takabur,  yang minta dihormati atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
    Ketika itulah turun Malaikat Jibril untuk membawa berita dari langit, dia berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Katakan kepada orang Arab itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di Hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar.”
    Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Orang Arab itu pula berkata, “Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan denganNya.”
    Orang Arab badwi berkata lagi, “Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran magfirahNya. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa luasnya pengampunanNya. Jika Dia memperhitungkan kebakhilan hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa dermawanNya.”
    Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah SAW pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu sehingga air mata meleleh membasahi janggutnya.
    Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Berhentilah engkau daripada menangis, sesungguhnya karena tangisanmu, penjaga Arasy  lupa bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang. Sekarang katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan menghitung kemaksiatannya. Allah sudah mengampunkan semua kesalahannya dan akan menjadi temanmu di syurga nanti.”
    Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita itu dan menangis karena tidak berdaya menahan rasa terharu.
    ***
    Dari Sahabat
     
  • erva kurniawan 1:31 am on 6 September 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Suara Emas dari Ethiopia 

    Bilal bin Rabah: Suara Emas dari Ethiopia Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
    “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal. “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
    Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
    Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. “Marhaban ya Rasulullah,” bisik salah seorang dari mereka.
    Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah.” Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
    Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. “Adzanlah wahai Bilal,” perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab perintah itu, “Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku.” “Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal,” kata Abu Bakar. “Maka biarkan aku memilih pilihanku,” pinta Bilal. “Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah,” lanjut Bilal. “Kalau demikian, terserah apa maumu,” jawab Abu Bakar.
    ***
    Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
    Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
    Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
    Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal disiksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
    Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
    Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walinya, itu lebih cukup dari segalanya.
    Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, “Ahad, ahad,” puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.
    Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membuktikan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
    Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah. “Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu.” Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. “Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat.”
    “Ya, dengan itu kamu mendahului aku,” kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
    Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya. Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
    “Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan, Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka, lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.
    Amin, ya Rabbal A’lamin.”
    ***
    Dari Sahabat
  • Sedekah 

    Diantara sunnah puasa adalah memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan dalam rangka membantu fakir miskin, anak-anak yatim, serta orang-orang yang memerlukannya.
    Rasulullah mengajarkan, bahwa sedekah yang paling utama, yaitu sedekah dibulan Ramadhan. Hal ini merujuk sebuah hadits, “Seutama-utama sedekah adalah sedekah dibulan Ramadhan.” (HR. Turmudzi)
    Berbicara masalah keutamaan sedekah, teringatlah kita pada wasiat Rasulullah kepada putra menantunya yang bernama Ali bin Abu Thalib, “Wahai Ali! Janganlah kamu abaikan sedekah, karena sedekah dapat menolak kejahatan dari dirimu. Segeralah bersedekah, karena bencana tidak dapat melangkah mendahului sedekah. Wahai Ali! Sedekah secara sembunyi-sembunyi dapat merekam murka Allah, serta dapat menarik keberkahan dan rezeki sebanyak mungkin”.
    Keutamaan sedekah memang sering diwasiatkan Rasul kepada ummatnya. Orang yang bersedekah dapat terhindar dari Mati Suul Katimah. “Sedekah itu dapat menolak mati dalam keadaan yang tidak baik”. (HR. Qudha-I)
    Dapat menghindarkan dari panas kubur. “Sedekah itu dapat menghindarkan seseorang dari panas kubur, dan seorang pada hari kiamat hanya bernaung dibawah naungan sedekahnya”. (HR. Thabrani)
    Juga sebagai pelepas dari siksa api neraka. “Bersedekahlah kamu, karena sedekah itu sebagai pelepasmu dari api neraka” (HR. Thabrani)
    “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun sedekah separuh dari biji kurma, maka jika tidak dapat, yaitu dengan sepatah kata yang baik” (HR Bukhari Muslim)
    **
    Dikisahkan oleh Aisyah, suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah s.a.w, seraya bercerita, “Ya rasul, kulihat dalam mimpiku, ibuku disiksa di dalam api neraka, sedang tangan kirinya tidak terlalap oleh si jago merah. Setelah kuteliti secara cermat, ternyata tangan kirinya memegang sehelai kain bekas”
    Kemudian aku bertanya, “wahai Ibu, mengapa hal ini terjadi, sedang ibu rajin shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya?”
    Sang Ibu menjawab, “Wahai anakku! Selama hidup didunia, aku termasuk wanita bakhil yang enggan bersedekah. Dan di neraka inilah memang tempat penyiksaan bagi orang2 yang bakhil”
    “Mengapa tangan Ibu yang memegang sehelai kain bekas tidak terlalap api?”
    “Ketahuilah, kain bekas ini adalah sesuatu yang pernah kusedekahkan selama hidup didunia. Ya, sesobek kain yang biasa kupakai untuk membersihkan perabot-perobot rumah tangga seperti piring, gelas, meja, kursi, sepatu, sandal dan lain-lain yang dapat menyelamatkan tangan kiriku dari bakaran siksa api neraka” jawab sang Ibu.
    ***
  • Kisah Si Belang, Si Botak, dan Si Buta yang Diuji Oleh Allah 

    Zaman dahulu kala, ada tiga orang Bani Israil. Orang yang pertama berkulit belang (sopak), yang kedua berkepala botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji ketiga orang tersebut. Maka Dia mengutus kepada mereka satu malaikat.
    Malaikat mendatangi orang yang berpenyakit sopak (Si Belang) dan bertanya kepadanya, “Sesuatu apakah yang engkau minta?”
    Si Belang menjawab, “Warna yang bagus dan kulit yang bagus serta hilangnya dari diri saya sesuatu yang membuat orang-orang jijik kepada saya.”
    Lalu malaikat itu mengusapnya dan seketika itu hilanglah penyakitnya yang menjijikkan itu. Kini ia memiliki warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
    Orang itu menjawab, “Onta.”
    Akhirnya orang itu diberikan seekor onta yang bunting seraya didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberi berkah untukmu dalam onta ini.”
    Kemudian malaikat mendatangi si Botak dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”
    Si Botak menjawab, “Rambut yang indah dan hilangnya dari diri saya penyakit yang karenanya aku dijauhi oleh manusia.”
    Malaikat lalu mengusapnya, hingga hilanglah penyakitnya dan dia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
    Orang itu menjawab, “Sapi.”
    Akhirnya si Botak diberikan seekor sapi yang bunting dan didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberkahinya untukmu.”
    Selanjutnya malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, “Apa yang paling engkau sukai?”
    Si Buta menjawab, “Allah mengembalikan kepada saya mata saya agar saya bisa melihat manusia.”
    Malaikat lalu mengusapnya hingga Allah mengembalikan padangannya. Si Buta bisa melihat lagi. Setelah itu malaikat bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
    Orang itu menjawab, “Kambing.”
    Akhirnya diberilah seekor kambing yang bunting kepadanya sambil malaikat mendoakannya.
    Singkat cerita, dari hewan yang dimiliki ketiga orang itu beranak dan berkembang biak. Yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
    Kemudian sang malaikat – dengan wujud berbeda dengan sebelumnya–mendatangi si Belang. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin telah terputus bagiku semua sebab dalam safarku, maka kini tidak ada bekal bagiku kecuali pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda demi (Allah) Yang telah memberi Anda warna yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, satu ekor onta saja yang bisa menghantarkan saya dalam safar saya ini.”
    Orang yang tadinya belang itu menanggapi, “Hak-hak orang masih banyak.”
    Lalu malaikat bertanya kepadanya, “Sepertinya saya mengenal Anda. Bukankah Anda dulu berkulit belang yang dijauhi oleh orang-orang dan juga faqir, kemudian Anda diberi oleh Allah?”
    Orang itu menjawab, “Sesungguhnya harta ini saya warisi dari orang-orang tuaku.”
    Maka malaikat berkata kepadanya, “Jika kamu dusta, maka Allah akan mengembalikanmu pada keadaan semula.”
    Lalu, dengan rupa dan penampilan sebagai orang miskin, malaikat mendatangi mantan si Botak. Malaikat berkata kepada orang ini seperti yang dia katakan kepada si Belang sebelumnya. Ternyata tanggapan si Botak sama persis dengan si Belang. Maka malaikat pun menanggapinya, “Jika kamu berdusta, Allah pasti mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
    Lalu malaikat – dengan rupa dan penampilan berbeda dengan sebelumnya-mendatangi si Buta. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin dan Ibn Sabil yang telah kehabisan bekal dan usaha dalam perjalanan, maka hari ini tidak ada lagi bekal yang menghantarkan aku ke tujuan kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda, demi Allah yang mengembalikan pandangan Anda, satu ekor kambing saja supaya saya bisa meneruskan perjalanan saya.”
    Maka si Buta menanggapinya, “Saya dulu buta lalu Allah mengembalikan pandangan saya. Maka ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkanlah apa yang kamu suka. Demi Allah aku tidak keberatan kepada kamu dengan apa yang kamu ambil karena Allah.”
    Lalu malaikat berkata kepadanya, “Jagalah harta kekayaanmu. Sebenarnya kamu (hanyalah) diuji. Dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua sahabatmu.”
    Demikianlah kisah ini, Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya. Dan kita pun senantiasa diuji oleh-Nya. Dalam kisah tadi, ada dua hal yang menjadi bahan ujian, yaitu kesehatan/penampilan fisik dan harta. Mudah-mudahan kita adalah yang orang yang lulus ujian sebagaimana si Buta. Jika kita ingin seperti si Buta, maka kita harus berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur dan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah (muroqobatullah).
    Semoga Allah senantiasa ridho kepada kita dan tidak murka kepada kita semua.. Aamiin.
    ***
    Maraji’: Hadits Riwayat Bukhari – Musli
    Sebuah Kisah Untuk Para Pelaku Pornografi dan Pornoaksi 
  • Apa jadinya bila seorang pemuda sholeh digoda oleh wanita cantik? Kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi, bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Kecantikan dan keindahan tubuh adalah ujian. Kisah ini pun bisa menjadi inspirasi bagi da’i dalam berdakwah. Bahwa berda’wah itu harus lemah lembut, bukan dengan kekerasan ataupun caci maki kepada pelakunya. Karena hati, hanya bisa disentuh oleh hati. Selamat membaca.
    Rabi’ bin Khaitsam adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau mendekati tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh tertunduk. Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui oleh banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan membaca surat Al Jatsiyah. Ketika sampai pada ayat keduapuluh satu, ia menangis. Ayat itu artinya, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan (dosa) itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu!”
    Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat itu. Kehidupan dan kematian orang berbuat maksiat dengan orang yang mengerjakan amal shaleh itu tidak sama! Rabi’ terus menangis sesenggukan dalam shalatnya. Ia mengulang-ngulang ayat itu sampai terbit fajar.
    Kesalehan Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan orang tua sering menjadikan Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus dicontoh oleh anak-anak mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah. Wajahnya tenang dan murah senyum kepada sesama.
    Namun tidak semua orang suka dengan Rabi’. Ada sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan kezuhudan Rabi’. Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka ingin mempermalukan Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh jalur kekerasan, tapi dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi sekelompok orang yang ingin menguji sampai sejauh mana ketangguhan iman Rabi’.
    Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa seorang wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar bisa jatuh dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa menaklukkan Rabi’, maka ia akan mendapatkan upah yang sangat tinggi, sampai seribu dirham. Wanita itu begitu bersemangat dan yakin akan bisa membuat Rabi’ takluk pada pesona kecantikannya.
    Tatkala malam datang, rencana jahat itu benar-benar dilaksanakan. Wanita itu berdandan sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat sedemikian lentiknya. Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang terindah dan memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia mendatangi rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu Rabi’ bin Khaitsam datang dari masjid.
    Suasana begitu sepi dan lenggang. Tak lama kemudian Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu dayanya. Mula-mula ia menutupi wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan kain hitam. Ia menyapa Rabi’, “Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
    “Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
    “Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
    Rabi’ agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan pintu lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan tubuhnya ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi tubuhnya. Ia lalu merayu Rabi’ dengan kecantikannya.
    Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu, “Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
    “Saudariku, seandainya saat ini Allah menurunkan penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh borok busuk. Kecantikanmu hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah kau juga masih berani bertingkah seperti ini ?!
    “Saudariku, seandainya saat ini malaikat maut datang menjemputmu, apakah kau sudah siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri menghadap Allah dengan keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada malakaikat munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa mempertanggungjawabkan apa yang kau lakukan saat ini pada Allah di padang mahsyar kelak?!”
    Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa yang penuh cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu. Mendengar perkataan Rabi’ mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya meleleh. Ia langsung memakai kembali kain hitam dan cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’ dipenuhi rasa takut kepada Allah swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di telinganya dan menggedor dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di tengah jalan. Sejak itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.
    Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan, “Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
    Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam hati wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus beribadah dan mengiba ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak memikirkan apa-apa kecuali nasibnya di akhirat. Ia terus shalat, bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya wanita itu wafat dalam keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang seperti batang korma terbakar di tengah padang pasir. [Sang Hikmah]
    ***
    Sumber: Buku “Di Atas Sajadah Cinta. Kisah-Kisah Teladan Islami Peneguh Iman dan Penenteram Jiwa”

  • Lebih Besar Dari Dosa Zina 

    Suatu Senja, seorang wanita melangkahkan kaki mendekati kediaman Nabi Musa. Setelah mengucapkan salam, dia masuk sambil terus menunduk. Air matanya berderai tatkala berkata,  “Wahai Nabi Allah, tolonglah saya. Doakan agar Allah mengampuni dosa keji saya.”
    “Apakah dosamu wahai wanita..?” Tanya Nabi Musa. “Saya takut mengatakannya,”  jawab wanita itu. “Katakanlah, jangan ragu-ragu..!” desak Nabi Musa.
    Maka perempuan itu pun dengan takut bercerita, “Saya telah berzina.”Kepala nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. “Dari perzinaan itu saya Hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya cekik lehernya sampai mati,” lanjut perempuan itu seraya menangis.
    Mata Nabi Musa berapi-api. Dengan muka yang berang dia menghardik “Perempuan celaka, pergi dari sini. Agar Siksa Allah tak jatuh ke dalam rumahku. Pergi!!!” teriak nabi Musa sambil berpaling karena jijik.
    Hati perempuan itu bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh. Dia menangis tersedu-sedu dan keluar dari Rumah Nabi Musa. Ia Tak tahu harus kemana lagi mengadu. Bahkan dia tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana manusia lain bakal menerimanya?
    Sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak BERTAUBAT dari dosanya..? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar dari itu..?“
    Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu..? Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang hina itu..? “Tanyanya.
    “Ada..!!” jawab Jibril dengan tegas. “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar daripada SERIBU kali Berzina.”
    Mendengar penjelasan ini Nabi Musa memanggil wanita tadi, lalu berdoa memohon ampunan kepada Allah. Nabi Musa menyadari, Orang yang meninggalkan Shalat dengan sengaja tanpa penyesalan seakan menganggap remeh perintah Allah. Sedangkan BERTAUBAT dan menyesali Dosa dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai IMAN di dadanya dan Yakin Allah itu ada.
    ***
    Dari Sahabat
    Keutamaan Sholat 2 Rakaat 
  • Allah S.W.T selesai menciptakan Jibril as dengan bentuk yang cantik, dan Allah menciptakan pula baginya 600 sayap yang panjang, sayap itu panjangnya antara timur dan barat (ada pendapat lain menyatakan 124.000 sayap). Setelah itu Jibril as memandang dirinya sendiri dan berkata, “Wahai Tuhanku, adakah engkau menciptakan makhluk yang lebih baik daripada aku?.”
    Lalu Allah S.W.T berfirman “Tidak”
    Kemudian Jibril as berdiri untuk sholat dua rakaat karena syukur kepada Allah S.W.T dan tiap-tiap rakaat itu lamanya 20.000 tahun.
    Setelah selesai Jibril as sholat, maka Allah S.W.T berfirman yang bermaksud. “Wahai Jibril, kamu telah menyembah aku dengan ibadah yang bersungguh-sungguh, dan tidak ada seorang pun yang menyembah kepadaku seperti ibadah kamu, akan tetapi di akhir zaman nanti akan datang seorang nabi yang mulia yang paling aku cintai, namanya Muhammad.’ Dia mempunyai umat yang lemah dan sentiasa berdosa, sekiranya mereka itu mengerjakan sholat dua rakaat yang hanya sebentar sahaja, dan mereka dalam keadaan lupa serta serba kurang, fikiran mereka melayang bermacam-macam dan dosa mereka pun besar juga. Maka demi kemuliaannKu dan ketinggianKu, sesungguhnya sholat mereka itu aku lebih sukai dari sholatmu itu. Karena mereka mengerjakan sholat atas perintahKu, sedangkan kamu mengerjakan sholat bukan atas perintahKu.”
    Kemudian Jibril as berkata: “Ya Tuhanku, apakah yang Engkau hadiahkan kepada mereka sebagai imbalan ibadah mereka?”
    Lalu Allah berfirman, “Ya Jibril, akan Aku berikan syurga Ma’waa sebagai tempat tinggal..”
    Kemudian Jibril as meminta izin kepada Allah untuk melihat syura Ma’waa.
    Setelah Jibril as mendapat izin dari Allah S.W.T maka pergilah Jibril as dengan mengembangkan sayapnya dan terbang, setiap dia mengembangkan dua sayapnya dia menempuh jarak perjalanan 3000 tahun, terbanglah malaikat Jibril as selama 300 tahun sehingga ia merasa letih dan lemah dan akhirnya dia turun berteduh di bawah bayangan sebuah pohon dan dia sujud kepada Allah S.W.T lalu ia berkata dalam sujud, “Ya Tuhanku apakah sudah aku menempuh jarak perjalanan setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya?”
    Kemudian Allah S.W.T berfirman, “Wahai Jibril, kalau kamu dapat terbang selama 3000 tahun dan meskipun aku memberikan kekuatan kepadamu seperti kekuatan yang engkau miliki, lalu kamu terbang seperti yang telah kamu lakukan, niscaya kamu tidak akan sampai kepada sepersepuluh dari beberapa perpuluhan yang telah kuberikan kepada umat Muhammad terhadap imbalan sholat dua rakaat yang mereka kerjakan…..”
    Marilah sama-sama kita renungkan dan berusaha lakukan. Sesungguhnya Allah S.W.T telah menyembunyikan enam perkara yaitu :
    1. Allah S.W.T telah menyembunyikan ridha-Nya dalam taat.
    2. Allah S.W.T telah menyembunyikan murka-Nya di dalam maksiat.
    3. Allah S.W.T telah menyembunyikan nama-Nya yang Maha Agung di dalam Al-Quran.
    4. Allah S.W.T telah menyembunyikan Lailatul Qadar di dalam bulan Ramadhan.
    5. Allah S.W.T telah menyembunyikan sholat yang paling utama di dalam sholat (yang lima waktu).
    6. Allah S.W.T telah menyembunyikan (tarikh terjadinya) hari kiamat di dalam semua hari.
    ***
    Dari Sahabat

  • Menjemput Maut 

    Alkisah menurut shirah, pernah Nabi Ibrahim as berdialog dengan Malaikat Maut soal sakratulmaut. Sahabat Allah itu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?”
    Malaikat menjawab pendek: “Engkau tak akan sanggup.”
    “Aku pasti sanggup,” tegas beliau.
    “Baiklah, berpalinglah dariku,” pinta si Malaikat.
    Saat Nabi Ibrahim as berpaling kembali, di hadapannya telah berdiri sesosok makhluk berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk, dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim as jatuh pingsan!
    Ketika tersadar kembali, beliau pun berkata kepada Malaikat Maut, “Wahai Malaikat Maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya.”
    Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas ini, menceritakan Nabi Ibrahim as meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim as, Malaikat Maut pun mengubah wujudnya. Maka di hadapan Nabi yang telah membalikkan badannya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah dan menyebar aroma wewangian yang sangat harum.
    “Seandainya orang beriman melihat rupamu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan amal baiknya,” kata Nabi Ibrahim as.
    ***
    Disampaikan oleh: Agussyafii
     
    • kolomkiri 1:42 am on 13 Juni 2010 Permalink

      waktunya bertaubat…
    • anissa 2:30 pm on 14 Juni 2010 Permalink

      Subhanallah… aku berlindung kepada Allah dari suul khotimah, aamiinn…ya.. ghofar yaa rahiim..
  • erva kurniawan 1:03 am on 4 Juni 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Aku dan Rabbku 

    al-quran1eramuslim – “Basahilah lidahmu dengan dzikir” duh.. sudah berapa kali saya dengar hadist ini tapi …waktu yang digunakan untuk berdzikir masih sedikit, padahal Allah berfirman “AKu bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku”. Allahu Akbar. Luar biasa, mencoba untuk melakukan variasi dalam berdzikir kenapa tidak ? La illahaillallah adalah sebaik2 dzikir …wueshh pikiranpun mulai menerawang balasan apa yang akan Allah kasih jika saya mengucapkan Laillahailallah 1x apakah senilai uang 1 juta,10 juta atau 100 juta, lebih, pasti lebih dari itu di hadapan Rabbul Izzati. Subahannallah. Rugiii…..berapa sudah waktu yag hilang, uang yang hilang, istana yang tertunda di surga nanti – InnaLillahiwainaillaihi’irojiun. Ga papa kan berdagang dengan Allah.
    Imam Al Ghazali dalam risalahnya Al Asma Al Husna menuliskan kecintaan kepada Allah bisa ditingkatkan dengan tiga cara ; (i) mengingatnya (ii) mempercayainya (iii) mempertahankannya. Begitu pula Pak Ary Ginanjar dalam bukunya “Rahasia membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual” beliau menulis bahwa seorang hamba bisa menjadi manusia yang luar biasa jika mau meneladani sifat-sifat Allah dengan cara mengingat-ingatnya dan meneladani sifat-sifat-Nya.
    Sesungguhnya antara hamba dengan Rabbnya ada 2 panghalang ; (i) ilmu dan (ii) ego (Aku). Perasaan jenuh, bosen, mandek atau tidak ada peningkatan terkadang datang pula, tapi ingat pesan “yang mencari akan menemukan” ada secercah harapan untuk mencari lagi, baik itu dari buku, artikel baik itu di majalah atau di internet, seminar , maupun taklim – apa saja. Alhamdulillah masih ada rasa haus yang belum terpuaskan dengan minuman yang standard.
    Mencoba untuk flash back ke zaman para sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang mempesona dan berdecak kagum setiap kali membaca kisahnya, sudah tentu pengetahuan mereka tentang surga, neraka, negri akhirat dan segala sesuatu yang terjadi didalamnya berbeda dengan pengetahuan saya dan itu mungkin yang membuat tingkat keimanan saya seolah tak bergerak. Ego, Aku “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal dirinya maka tidak ada waktu untuk mencari kesalahan orang lain”.
    Ada perasaan aneh menghampiri ketika mencoba berlama-lama bercermin. sudah berapa jauh saya mengenal diri saya dengan baik dan sudah berapa lama saya menyadari begitu sangat rentannya melakukan kesalahan setiap detik.
    Menjadi milik-Nya bukan sebaliknya menjadikan Allah sebagai milik saya dan mengikuti semua keinginaan saya – Naudzubillahiminzalik, kebodohan apalagi yang saya lakukan berlarut-larut. STOP. “Ya Rabb biarkan aku menjadi milik-Mu selamanya…menyatu bersama-Mu, biarkan jiwa ini terbakar oleh cahaya-Mu..cinta-Mu”.
    Teringat kembali firman Allah SWT “Sesungguhnya Aku mengikuti perasaan hamba-Ku terhadap-Ku” kenapa tidak saya coba untuk mengatakan ke diri saya sendiri dengan menggunakan 3 metode dari imam Al Ghazali diatas : “saya selalu bersamaMu ya Allah” ( bukannya saya ingin bersamaMu), “saya selalu mencintaiMu ya Rabb” (bukannya saya ingin mencintai-Mu), “saya selalu merindukan-Mu ya Tuhanku”. Ada perasaan puas yang mengalir, seolah-olah sesuatu yang sudah tercapai dan tinggal menikmati saja perjalanan hidup bersama Al Malik, Al Aziz. Perasaan tenang, aman, damai, bahagia yang selama ini dicaripun mulai rajin menjenguk orang pesakitan seperti saya.
    WaLlahua’lam bi shawab.
    ***
    Sumber: Eramuslim.com
     
  • erva kurniawan 1:33 am on 25 Mei 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , , ,   

    Kejatuhan Iblis 

    Sejarah Pertarungan antara Kebaikan dan Keburukan
    Dimulai ketika Allah berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan di atas bumi seorang wakil-Ku (Khalifah).”
    Kemudian para malaikat bertanya, “Apakah Engkau akan menjadikan sesuatu yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau.”
    Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
    Kemudian Allah mengajarkan Adam nama-nama segala sesuatu. Kemudian ditanyakan kepada para malaikat, “Sebutkanlah kepada Ku nama-nama benda ini jika kamu benar!”
    Para malaikat menjawab, “Maha suci Engkau! Tak ada pengetahuan kami, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
    Kemudian Allah berkata, “Hai Adam, sebutkanlah kepada mereka nama-nama itu!”. Lalu Adam menerangkan kepada mereka nama-nama benda itu semuanya.
    Kemudian Allah berkata lagi, “Bukankah telah Aku katakan kepada kalian, Aku mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi, dan Aku mengetahui juga apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan (dalam hati).”
    Kemudian Allah memerintahkan kepada para malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam! Lalu mereka sujud. Kecuali Iblis. Ia enggan dan membesarkan diri. Dan jadilah ia golongan yang Ingkar (Kafir).” (QS Al A’raaf : 12 – 18)
    Allah berkata, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam ketika Aku memerintahkanmu?”
    Iblis menjawab, “Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah.”
    Allah berfirman, “Turunlah kamu darinya , karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Maka keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk yang hina.”
    Iblis berkata, “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.”
    Berfirman Allah, “Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh.”
    Iblis bersumpah, “Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, saya SUNGGUH-SUNGGUH akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus (shirootokal mustaqiim). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur.”
    Allah berfirman, “Keluarlah kamu darinya sebagai yang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar aku akan mengisi neraka jahanam dengan kalian semuanya.”
    **
    Kisah kejatuhan Iblis ini merupakan salah satu bagian dari Aqidah Islam. Dari kisah itu, sejarah manusia di dunia ini bermula. Dan tak habis-habisnya pertempuran antara yang haq dan yang bathil, antara yang Benar dan yang Salah. Dari perspektif inilah kita harus memandang setiap kejadian yang dialami umat manusia.
    Diawali dengan dialog antara Allah dengan para malaikat ketika Allah memberi pengumuman bahwa Ia akan menjadikan di muka bumi ini wakil-Nya (Khaliifah). Malaikat memprotes tapi berakhir dengan ketundukan pada Allah hanya dengan kalimat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan para malaikat tidak membantah lagi walaupun jika kita perhatikan, seakan-akan argumen para malaikat itu ada benarnya.
    Dilanjutkan dengan demonstrasi keunggulan Adam di hadapan makhluk Allah yang lainnya, setelah Allah mengajari Adam nama-nama benda-benda semuanya. Sehingga Adam pantas untuk menduduki posisi sebagai khaliifah di muka bumi. Hal ini menunjukkan keunggulan makhluk yang bernama Adam ini (manusia) karena Adam mampu “memberi nama”. Mampu mendefinisikan apa yang dia lihat, dia dengar, dia cium, dia rasa dan dia raba dengan suatu “kata yang definitif”. Dalam peristiwa ini pula berarti Allah mengajarkan bahasa kepada Adam. Dengan kemampuan Adam untuk membuat definisi, maka berkembanglah ilmu pengetahuan. Adam dan keturunannya dapat memanfaatkan bumi untuk kepentingannya. Jika kita lihat bangunan-bangunan yang tinggi, yang tingginya ratusan kali tinggi manusia, jika kita melihat pesawat jet, yang kecepatannya jutaan kali kecepatan manusia, maka kita berkata: Maha Suci Engkau ya Allah dan Maha Besar Engkau. Kiranya benar perkataan Mu kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dapatkah kita bayangkan hasilnya jika yang menjadi khaliifah di muka bumi ini adalah makhluk halus seperti malaikat atau jin (asal Iblis)? Dan Allah mengatakan kepada mereka semua sekali lagi: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
    Setelah para malaikat menyerah kepada tantangan Allah dan setelah Adam mendemonstrasikan keunggulannya, maka Allah memerintahkan kepada mereka semua untuk sujud kepada Adam. Para ‘ulama Islam sepakat bahwa sujud di sini dalam arti hormat dan mengakui kemuliaan Adam, bukan menyembah. Karena semua mengerti hanya Allah sajalah yang patut untuk disembah.
    Maka membangkanglah Iblis! Dan apa alasannya? Aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan Adam dari tanah. Demikianlah LOGIKA IBLIS. Dia mengira bahwa kemuliaan akan tersangkut pada hal-hal yang bersifat fisik. Api dapat membakar tanah. Padahal Allah telah berucap dua kali : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Namun Iblis masih juga membangkang. Dia seakan masih menyangkal pernyataan Allah itu : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dia enggan (untuk patuh kepada perintah Allah dan bersikukuh pada logikanya) dan membesarkan diri (di hadapan Adam dan merasa lebih mulia dari Adam).
    Kita manusia hendaknya berhati-hati dengan penyakit Iblis ini yang berdiri di atas LOGIKA IBLIS. Anaa khoirum minhu! Kholaqtanii min naar wa kholaqtahuu min thiin! TIDAK! Tidak mungkin! Saya lebih baik dari dia! Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah (di sini Iblis masih mengakui bahwa Allah yang menciptakan dia). Kitapun dapat terjangkiti penyakit dan logika Iblis. Jika (walau dalam hati) kita mengatakan: Saya lebih mulia dari kamu, karena:
    • saya kaya kamu miskin
    • saya kuat kamu lemah
    • saya tinggi kamu pendek
    • saya cantik kamu jelek
    • saya tampan kamu jelek
    • saya pintar kamu bodoh
    • saya sarjana kamu lulusan SMA
    • saya penguasa kamu rakyat
    • saya keturunan orang bebas kamu keturunan budak
    • saya majikan kamu pembantu
    • dst.
    Akibat dari terjangkitinya penyakit dan logika Iblis ini kepada manusia, manusia akan bersikap APRIORI. Belum apa-apa sudah menolak kebenaran. Dia menolak kebenaran karena melihat siapa yang membawanya. Bagaimana Bibit-Bobot-Bebet nya. Inilah yang di dalam pelajaran akhlaq Islam yang disebut Kibir atau Sombong.
    Dalam suatu hadits diceritakan, ada seorang sahabat nabi yang bertanya, “Wahai Rasul Allah, aku ini suka sekali mengenakan pakaian yang bagus-bagus dan aku tidak suka melihat orang lain lebih bagus pakaiannya daripada aku, walaupun hanya sandalnya. Apakah aku termasuk sombong/kibir?” Jawab nabi Muhammad, “Tidak, itu bukan kesombongan. Tuhan itu indah dan suka pada keindahan. Yang dimaksud dengan SOMBONG (KIBIR) ialah : menolak kebenaran dan (karena) menghinakan manusia. Al Kibru : bathorul haq wa ghomthun naas.” Dan nabi Muhammad memperingatkan, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada penyakit Sombong (Kibir), walaupun sebesar dzarrah (debu).”
    Ditutup dengan sumpah Iblis : Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, saya SUNGGUH-SUNGGUH akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus (shirootokal mustaqiim). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur. Ya.. Iblis akan berusaha sekuat tenaganya, dalam masa penangguhannya, untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah sejauh-jauhnya. Menjadikan Adam dan keturunannya menjadi tidak bersyukur. Ya.. tidak bersyukur betapa Allah telah menyuruh kepada semua makhluq ciptaan Nya untuk sujud memuliakannya. Betapa dia telah dimuliakan oleh Allah atas segala alam. Tidak bersyukur karena dia melanggar petunjuk-petunjuk Nya yang menyebabkan dia terpedaya oleh syaithan dan menjadi terhina bersama syaithan. Bahkan sungguh-sungguh tidak bersyukur karena dia mengadakan sekutu bagi Allah yang telah memuliakan dirinya sedemikian rupa.
    Maka Iblis bersumpah: Awass kamu Adam! Kamu telah membuat aku celaka! Aku tidak akan berdiam diri selama-lamanya! Awass kau! Aku akan membuat engkau mempersekutukan Allah! Aku akan membuat engkau dan keturunanmu menolak segala perintah-perintah Nya! Aku akan membuat engkau menyombongkan diri di hadapan Nya! Aku akan membuat keturunanmu mengaku: Ana Robbukumul A’laa, Aku Tuhanmu yang Maha Tinggi! Aku akan membuat keturunanmu berbuat segala macam pelanggaran! Aku akan mengajarkan keturunanmu untuk membuat berbagai macam agama dan isme! Pokoknya aku akan membuat anak keturunanmu tersesat dan dimurkai oleh Allah dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya dan dengan kemurkaan yang sebesar-besarnya! AWASS KAU ADAM!!!
    Demikianlah.. mulai saat itu dimulailah pertarungan antara Adam dan keturunannya melawan Iblis dan keturunannya. Pertarungan antara yang haq dan yang bathil.
    Namun Allah memberikan kepada Adam suatu janji. Karena Adam tidak meminta penangguhan sebagaimana Iblis meminta penangguhan hingga hari kiamat.
    “Turunlah kamu berdua dari jannah, kemudian jika datang petunjuk Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqoroh : 38 – 39)
    Allah menjanjikan kepada nabi Adam bahwa di antara keturunan-keturunannya banyak yang akan dijadikan nabi. Untuk membawa petunjuk-petunjuk Nya dalam menghadapi tipu daya Syaithan (Iblis dan keturunannya). Untuk memenangkan pertarungan. Untuk mengingatkan akan hari yang bersejarah itu. Untuk mengingatkan permusuhan bapak mereka dengan nenek moyang syeithan, Iblis. Untuk mengingatkan: Innahu lakum ‘aduwwum mubiin (Sesungguhnya syaithan itu musuh besar yang nyata bagimu). Untuk memenangkan agama Nya atas semua agama-agama yang lain, dan cukuplah Allah menjadi saksi. Dan dimulailah sejarah kenabian hingga nabi yang terakhir, yang turun di Arab dari benih nabi Ismail: nabi Muhammad.
    Maka kita berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang dirajam.
    Maha benar Allah dengan segala firman-firman Nya.
    Mohon maaf atas kekhilafannya. Yang benar dari Allah, yang salah dari saya.
    ***
    Dari Sahabat
     
  • erva kurniawan 8:26 pm on 20 April 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Kesombongan Dikalahkan Oleh Pribadi Bertauhid 

    Raja Persia, Kusro yang selalu menganggap enteng terhadap bangsa gurun pasir, tertegun dan tidak percaya atas kenyataan bahwa bangsa Arab yang primitif ini berani menantang mereka, yang kemudian merobek-robek surat Rasulullah yang mengundangnya untuk menerima ajaran Islam. Raja yang sombong ini merasa terhina karena surat yang datang dari seorang “Bekas Gembala” itu dianggapnya lancang sekali telah berani mengajarinya tentang kebenaran, padahal ia seorang penakluk dunia. Maka raja ini tidak sudi mengakui perbatasan antara negerinya dengan jazirah Arab, yang ketika itu sudah menjadi Islam sebelum wafatnya Rasulullah. Oleh karena itu perbatasan ini selalu mereka ganggu.
    Maka atas usul Khalid bin Walid, khalifah Abu Bakar mengirim bantuan laskar ke perbatasan, hingga mencapai 10.000 orang. Panglima Hurmuzan dari Persia lengkap dengan barisan bergajah mereka dengan pongahnya mencoba menghadang pasukan Khalid bin Walid, dengan tentara lebih dari 100.000 orang tentara bergajah.
    Khalid memulai serangannya dengan mengirimkan surat terlebih dahulu. Dalam surat itu Khalid menawarkan 3 pilihan :
    1. Damai, dengan syarat masing2 menghormati perbatasan negara yang ada
    2. Menerima Ajaran Islam, yang akan menjalin ukhuwah Islamiyah antara kedua rakyat yang ada. Maka tidak akan ada soal perbatasan lagi
    3. Jika kedua pilihan itu tidak bisa diterima, maka bersiaplah kalian menghadapi kami yang datang dengan laskar yang berani hidup, namun ingin mati (syahid) karena kerinduan kami pada Allah.
    Hurmuzan mengalami goncangan jiwa yang dahsyat, karena bagi mereka tidak pernah ada istilah “ingin mati”. Namun karena kesombongan bangsa ini terhadap bangsa Arab yang mereka anggap masih terbelakang itu, mereka memilih tawaran perang, apalagi mereka melihat perlengkapan barisan Muslim ketika itu paling tinggi hanyalah panah dan kuda. Kuda itupun terbatas bagi perwira menengah ke atas, sedangkan lasykar yang lainnya hanya berjalan kaki atau berkendara unta. “Apakah kuda sanggup berhadapan dengan gajah yang kuat ini?” demikian pikir panglima Persia yang sombong itu.
    Khalid mengerahkan barisan Muslimin maju menyerbu di bawah pimpinannya sendiri yang berpacu di depan, dengan mengendarai kudanya yang berlari cepat Khalid menerobos barisan musuh yang paling tebal sambil mengayunkan pedangnya, sehingga terbentuk jalur mayat manusia yang bergelimpangan. Hingga jalur mayat ini menuju ke tempat panglima Hurmuzan, maka paniklah seluruh serdadu Persia. Mereka porak poranda kehilangan kepercayaan diri dan menyerahkan diri pada Khalid.
    Tentara Persia yang menyerah diperlakukan Khalid dengan wajar dan baik sebagaimana Rasulullah mengajarkan. Harta benda mereka tidak diambil dan dirusak, bahkan tentara yang tadinya buruh tani yang tidak pernah punya tanah itu diberi hak untuk mempunyai tanah seseuai dengan kemampuan mereka menggarapnya. Maka merekapun berbondong-bondong masuk Islam.
    Ketika itu salah seorang sahabat Khalid mengingatkan bahwa esok akan masuk bulan Zulhijjah, maka Khalid merasakan kerinduan dalam hatinya akan baituLlah. Yang kemudian memutuskan untuk naik haji. Lalu dengan diiringi beberapa sahabatnya khalid segera berderap pulang ke Mekkah untuk mengejar waktu demi melakukan haji dan meninggalkan kerajaan Persia yang baru saja ditaklukannya.
    Ketika Khalifah Abu Bakar mendapat laporan akan kemenangan Khalid yang gemilang ditambah pula oleh kecerobohan Khalid meninggalkan medan sebelum sempat mengadan pengamanan seperlunya, maka Khalifah menulis, “Disamping rasa syukurku kepada Allah SWT dan tanpa mengurangi rasa hormatku atas keteguhan iman dan kecintaanmu kepada Allah, aku wajib memperingatkan engkau, bahwa meninggalkan medan sebelum mengadakan pengamanan seperlunya bukanlah tindakan seorang panglima yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, kami perintahkan agar engkau pulang ke posmu secepatnya”.
    Sadar akan kesalahannya ini, Khalid segera melaksanakan perintah Khalifah itu sesudah menyelesaikan ibadah hajinya dan melakukan tawaf wada.
    Ketika pasukan Islam di front Romawi Timur membutuhkan tambahan bantuan menghadapi tentara Romawi yang sangat canggih persenjataannya, maka khalifah Abu Bakar memanggil Khalid agar pulang meninggalkan Persia dan pergi memperkuat fornt menghadapi Romawi. Khalid kemudian mengambil kebijakan sesudah disetujui Abu Bakar langsung menuju ke Jerusalam tanpa pulang dulu ke Madinah. Yang kemudian Khalid harus menaklukan negeri-negeri yang terletak antara Persia dan Romawi Timur itu.
    Negeri-negeri itu dapat ditaklukan oleh Khalid satu persatu dalam waktu relatif singkat. Maka nama Khalid bin Walid sebagai penakluk yang gagah perkasa dan pahlawan yang tak terkalahkan menjadi tersiar kemana-mana.
    Anak muda di Madinah pun mulai menyanyikan syair-syair yang memuji-muji kepahlawanan panglima Khalid. Dan sementara itu khalifah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khatab.
    Sesampainya Khalid di front Romawi, lalu langsung mengadakan rapat untuk mengatur strategi menaklukkan tentara Romawi yang canggih itu. Ketika Khalid sedang memimpin rapat strategi, maka tibalah utusan dari Madinah yang membawa surat dari Khalifah Umar, yang ditujukan kepada panglima Khalid. Yang kemudian Khalid membaca surat tersebut, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam saku dan meneruskan rapat penting itu. Dan ternyata surat itu berisi pemberhentian Khalid sebagai panglima dan perintah agar menyerahkan pimpinan kepada bawahannya.
    Esoknya Khalid masih memimpin penyerangan perdana terhadap front Romawi ini. Ketika dilihatnya panglima di bawahnya sudah mampu melanjutkan perjuagan dengan strategi yang dibuat, maka pimpinan diserahkannya dan Khalidpun langsung pulang ke Madinah menemui Khalifah Umar.
    Sesampainya di Madinah, maka ia langsung menemui Khalifah Umar dan menanyakan apa gerangan alasan maka ia diberhentikan tiba-tiba. Apakah karena kekurangan fahamannya tentang urusan keuangan? “Aku harus mengakui kekuranganku dalam mengurus buku keuangan ini, namun aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa aku tak pernah mengambil satu sen pun dari dana yang disediakan oleh negara, bahkan uang pribadiku banyak yang kusumbangkan untuk perjuangan ini.” Kata Khalid kepada Umar.
    “Aku sungguh yakin akan kejujuranmu dan keikhlasanmu, wahai saudaraku, sehingga aku tidak pernah merasa curiga akan manajemen dana perjuangan ini, walaupun aku yakin, bahwa sebagai panglima engkau tetap merupakan penanggung jawab terakhir terhadap manajemen ini” Ucap Khalifah Umar kepada Panglima Khalid
    “Lantas, mengapa sampai aku dipecat tanpa alasan yang tepat?” tukas Khalid dengan suara yang agak tajam
    Umar menatap wajah Khalid dan berkata “Aku sekedar melakukan tugasku menyelamatkan tauhidnya umat. Engkau adalah panglima yang gagah perkasa, dan Rasulullah saw. Sendiri yang telah mengangkatmu memegang jabatanmu itu. Sejak itu engkau belum pernah terkalahkan di setiap medan pertempuran, sehingga rakyat sudah mulai menyanyikan lagu yang memuji dan memuja namamu di samping memuji Allah SWT. Aku takut akan hal ini dan berkembang menjadi kenyataan seolah engkaulan satu-satunya yang sanggup memenangkan seluruh perjuangan ini dengan atau tanpa syafa’at Allah SWT. Bukankah dengan demikian mereka menjadi musyrikin? Maka aku ingin buktikan kepada mereka, bahwa Umar, hamba Allah yang lemah dan hina ini, telah sanggup menjatuhkan engkau panglima yang gagah perkasa. Dengan demikian kuharap mereka kembali memuji dan memuja hanya kepada Allah SWT.”
    Mendengar keterangan Umar yang tegas menegakkan tauhid itu Khalid menerima kebijakan Khalifah yang arif itu dengan ikhlash. Maka besoknya Khalid kembali ke medan perang membantu rekan2nya yang sedang berjuang di front Romawi Timur. Khalid maju di bawah pimpinan bekas bawahannya sebagai prajuri biasa.
    Ketika ditanyakan orang kepadanya mengapa ia terus juga berjuang sesudah dipecat oleh Umar sebagai panglima, maka Khalid menjawab tegas, “Aku berjuang bukan karena Umar, aku berjuang semata karena Allah SWT.”
    **
    Masih adakah pribadi-pribadi tauhid yang tulen seperti abu bakar, umar bin khattab dan khalid bin walid saat ini?
    Ya Rabb, dimana Kau sembunyikan pribadi seperti para sahabat
    Ya Rabb, tampakanlah pribadi seperti para sahabat ini kepermukaan
    Dan jadikanlah pribadi yang taat dan patuh hanya kepadaMu menjadi pemimpin kami
    Hingga kami turut akan semua perintah dari amanah yang diembannya.
    ***
    Sumber: Email dari Sahabat
     
  • erva kurniawan 4:52 am on 17 April 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Pengantin Bidadari 

    Raudhah Al Muhibbin wa Al Musytaqin (Taman Orang-orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu)
    Sebagai seorang pengantin, wanita lebih cantik dibanding seorang gadis. Sebagai seorang ibu, wanita lebih cantik dibanding seorang pengantin. Sebagai istri dan ibu, ia adalah kata-kata terindah di semua musim dan dia tumbuh menjadi lebih cantik bertahun-tahun kemudian.
    ***
    Syahdan, di Madinah, tinggallah seorang pemuda bernama Zulebid. Dikenal sebagai pemuda yang baik di kalangan para sahabat. Juga dalam hal ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat. Dari sudut ekonomi dan finansial, ia pun tergolong berkecukupan. Sebagai seorang yang telah dianggap mampu, ia hendak melaksanakan sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis di kota itu, namun selalu ditolak oleh pihak orang tua ataupun sang gadis dengan berbagai alasan.
    Akhirnya pada suatu pagi, ia menumpahkan kegalauan tersebut kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah.
    “Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau mendapatkan jalan keluar yang terbaik bagimu”, nasihat mereka.
    Zulebid kemudian mengutarakan isi hatinya kepada Baginda Nabi. Sambil tersenyum beliau berkata, “Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?”
    “Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya Rasulullah, putri si Fulan itu terkenal akan kecantikan dan kesholihannya, dan hingga kini ayahnya selalu menolak lamaran dari siapapun.
    “Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi.
    “Baiklah ya Rasul”, dan Zulebid segera bergegas bersiap dan pergi ke rumah si Fulan.
    Sesampai di rumah Fulan, Zulebid disambut sendiri oleh Fulan, “Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah saya?” Tanya Fulan.
    “Rasulullah saw yang mengutus saya ke sini, saya hendak meminang putrimu si A.” Jawab Zulebid sedikit gugup.
    “Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan dulu kepada putriku.” Fulan menemui putrinya dan bertanya, “bagaimana pendapatmu wahai putriku?”
    Jawab putrinya, “Ayah, jika memang ia datang karena diutus oleh Rasulullah saw, maka terimalah lamarannya, dan aku akan ikhlas menjadi istrinya.”
    Akhirnya pagi itu juga, pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Zulebid kemudian memboyong istrinya ke rumahnya.
    Sambil memandangi wajah istrinya, ia berkata,” duhai Anda yang di wajahnya terlukiskan kecantikan bidadari, apakah ini yang engkau idamkan selama ini? Bahagiakah engkau dengan memilihku menjadi suamimu?”
    Jawab istrinya, ” Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang meminangku. Tentu Allah telah menakdirkan yang terbaik darimu untukku. Tak ada kebahagiaan selain menanti tibanya malam yang dinantikan para pengantin.”
    Zulebid tersenyum. Dipandanginya wajah indah itu ketika kemudian terdengar pintu rumah diketuk. Segera ia bangkit dan membuka pintu. Seorang laki-laki mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di masjid, panggilan berjihad dalam perang. Zulebid masuk kembali ke rumah dan menemui istrinya.
    “Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini.”
    Istrinya menyahut, “Pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu”
    ***
    Zulebid lalu bersiap dan bergabung bersama tentara muslim menuju ke medan perang. Gagah berani ia mengayunkan pedangnya, berkelebat dan berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas ditangannya. Ia bertarung merangsek terus maju sambil senantiasa mengumandangkan kalimat Tauhid, ketika sebuah anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap tepat di dadanya.
    Zulebid terjatuh, berusaha menghindari anak panah lainnya yang berseliweran di udara. Ia merasa dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun mulai terkulai terlepas dari tangannya. Sambil bersandar di antara tumpukan korban, ia merasa panggilan Allah sudah begitu dekat.
    Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu dikasihinya. Teringat akan masa kecilnya bersama-sama saudaranya. Berlari-larian bersama teman sepermainannya. Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu dihormati, dijunjung dan dikaguminya. Hingga akhirnya bayangan rupawan istrinya. Istrinya yang baru dinikahinya pagi tadi. Senyum yang begitu manis menyertainya tatkala ia berpamitan. Wajah cantik itu demikian sejuk memandangnya sambil mendoakannya. Detik demi detik, syahadat pun terucapkan dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum menghiasinya, Zulebid pergi menghadap Ilahi, gugur sebagai syuhada.
    ***
    Senja datang Angin mendesau, sepi. Pasir-pasir beterbangan. Berputar-putar.
    Rasulullah dan para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur dalam perang. Di antara para mujahid tersebut terdapatlah tubuh Zulebid yang tengah bersandar di tumpukan mayat musuh. Akhirnya dikuburkanlah jenazah zulebid di suatu tempat. Berdampingan dengan para syuhada lain.
    Tanpa dimandikan…
    Tanpa dikafankan…
    Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam Zulebid. Rasulullah terpekur di samping pusara tersebut. Para sahabat terdiam membisu. Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air mata berlinang di dari pelupuk mata beliau. Lalu beberapa waktu kemudian beliau seolah-olah menengadah ke atas sambil tersenyum. Wajah beliau berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan shahabat, tiba-tiba Rasulullah menolehkan pandangannya ke samping seraya menutupkan tangan menghalangi arah pandangan mata beliau.
    Akhirnya keadaan kembali seperti semula. Para shahabat lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Rasulullah. “Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau menangis?”
    Jawab Rasul, “Aku menangis karena mengingat Zulebid. Oo..Zulebid, pagi tadi engaku datang kepadaku minta restuku untuk menikah dan engkau pun menikah hari ini juga. Ini hari bahagia. Seharusnya saat ini Engkau sedang menantikan malam Zafaf, malam yang ditunggu oleh para pengantin.”
    “Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi.
    “Aku menengadah karena kulihat beberapa bidadari turun dari langit dan udara menjadi wangi semerbak dan aku tersenyum karena mereka datang hendak menjemput Zulebid,” Jawab Rasulullah.
    “Dan lalu mengapa kemudian Engkau memalingkan pandangannya dan menoleh ke samping?” Tanya mereka lagi.
    “Aku mengalihkan pandangan menghindar karena sebelumnya kulihat, saking banyaknya bidadari yang menjemput Zulebid, beberapa diantaranya berebut memegangi tangan dan kaki Zulebid. Hingga dari salah satu gaun dari bidadari tersebut ada yang sedikit tersingkap betisnya….”
    ***
    Di rumah, istri Zulebid menanti sang suami yang tak kunjung kembali. Ketika terdengar kabar suaminya telah menghadap sang ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha Karya.
    Malam menjelang. Terlelap ia, sejenak berada dalam keadaan setengah mimpi dan dan nyata. Lamat-lamat ia seperti melihat Zulebid datang dari kejauhan. Tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kesedihan pula.
    Terdengar Zulebid berkata, “Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini apabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu.”
    Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.
    Istri Zulebid, terdiam. Matanya basah. Ada sesuatu yang menggenang disana. Seperti tak lepas ia mengingat acara pernikahan tadi pagi. Dan bayangan suaminya yang baru saja hadir. Ia menggerakkan bibirnya.
    “Suamiku, aku mencintaimu. Dan dengan semua ketentuan Allah ini bagi kita. Aku ikhlas.”
    ***
    Somewhere over the rainbow, way up high
    There’s a land that I heard of once on a lullaby
    Somewhere over the rainbow, skied are blue
    And the dreams that you dare to dream
    really do come true..
    Dan, akan kemanakah kumbang terbang
    Pada siapa rindu mendendam
    Kekasih yang terkasih
    Pencinta dan yang dicinta
    Semua berurai air mata
    Sedih, ataukah bahagia…..?
    ***
    Untuk para pengantin bidadari
     
    • husnul khatimah 4:10 pm on 21 April 2010 Permalink

      subhanallah indah nian cerita’a ..
    • umi 1:41 pm on 22 April 2010 Permalink

      Subhanallah…
      Boleh kah sy meng-copy cerita ini?
    • salwa 8:53 am on 24 Maret 2011 Permalink

      Ass …
      cerita mas erva emnk keren,,, salud pokok ny !!!!!!!!

  • Utusan Malaikat Maut 

    Dikisahkan bahwa malaikat maut bersahabat dengan Nabi Ya’qub As. Suatu ketika Nabi Ya’qub berkata kepada Malaikat maut, ” Aku menginginkan sesuatu yang harus kau penuhi sebagai tanda persaudaraankita”.
    “Apakah itu?” Tanya Malaikat maut.
    “Jika ajalku telah dekat, beritahulah aku!” pinta Ya’qub As.
    Malaikat maut berkata, “Baik, aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirimkan satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku”.
    Dan setelah mereka bersepakat, kemudian mereka berpisah. Setelah beberapa lama malaikat maut kembali menemui nabi Ya’qub. Kemudian nabi Ya’qub bertanya, “Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawaku?”
    “Aku datang untuk mencabut nyawamu” Jawab malaikat maut.
    “Lalu dimana ketiga utusanmu?” tanya Nabi Ya’qub As.
    “Sudah kukirim” jawab malaikat maut, “Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bongkoknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’qub, itulah utusanku untuk setiap Bani adam.”
    Wassalam
    ***
     
    • akhil muslim 8:20 pm on 15 Mei 2010 Permalink

      setiap makhluk hidup pasti akan mati……..maka kita harus selalu siap dengan makhluk yang satu ini, yakni kematian
  • erva kurniawan 6:47 am on 8 April 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Wanita Yang Teguh Menggenggam Tauhid 

    “Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.” “
    Alkisah di negeri Mesir, Fir’aun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah kematian sang isteri, Fir’aun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Asiah sampai ke telinganya. Fir’aun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Asiah.
    Orangtua Asiah bertanya kepada Siti Asiah, “Sudikah anakda menikahi Fir’aun ?”
    “Bagaimana saya sudi menikahi Fir’aun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah ?”
    Haman kembali pada Fir’aun. Alangkah marahnya Fir’aun mendengar kabar penolakan Siti Asiah.
    “Haman, berani betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya !”
    Fir’aun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Asiah. Setelah disiksa begitu keji, keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Asiah digiring ke Istana. Fir’aun kemudian membawa Siti Asiah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian, dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Fir’aun berkata, “He, Asiah. Jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh karena itu, engkau boleh memilih satu diantara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini. Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku, maka aku akan memerintahkan para algojo agar membakar hidup-hidup kedua orangtuamu itu, tepat dihadapanmu.”
    Karena ancaman itu, Siti Asiah terpaksa menerima pinangan Fir’aun. Dengan mengajukan beberapa syarat, yaitu Fir’aun harus membebaskan orangtuanya, Fir’aun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap perabotannya dan Fir’aun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya.
    Siti Aisyah bersedia menjadi isteri Fir’aun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur bersama Fir’aun. Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Asiah rela mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya.
    Akhirnya Fir’aun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Asiah. Fir’aun lalu memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Asiah dibuka. Singkat cerita, Siti Asiah tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Fir’aun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
    Pada malam hari Siti Asiah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri, Fir’aun.
    Untuk menjaga kehormatan Siti Asiah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru sebagai Siti Asiah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Fir’aun.
    Fir’aun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan Fir’aun yang kafir.
    Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil, disaat Fir’aun menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa a.s. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut. Mendengar penentangan Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Fir’aun jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya Hazaqil. Fir’aun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar.
    Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.
    Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Asiah. Diakhir pembicaraan mereka, Siti Asiah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan ketaatannya dari Fir’aun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa a.s.
    Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Fir’aun, tanpa sengaja sisirnya terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata, “Dengan nama Allah binasalah Fir’aun.”
    Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Fir’aun merasa tersinggung lalu mengancam akan melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Fir’aun.
    Saat Masyitoh menghadap Fir’aun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah, “Apa betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku. Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?”
    “Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai segala alam dan isinya.”jawab Masyitoh dengan berani.
    Mendengar jawaban Masyitoh, Fir’aun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada Masyitah. Sekali lagi Masyitoh dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih, jika ingin selamat bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitoh harus mengaku bahwa Fir’aun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.
    Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitoh kemudian membawa kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.”
    Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis, tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu.
    Siti Asiah yang menyaksikan kejadian itu, melaknat Fir’aun dengan kata-kata yang pedas. Iapun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh Fir’aun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.
    Mendengar ucapan Isterinya, Fir’aun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Asiah telah gila. Fir’aun kemudian menyiksa Siti Asiah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti Asiah meninggal dunia.
    Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Asiah sempat berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi_mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11)
    Demikian kisah Siti Asiah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”
    ***
    Oleh : Rasyan Ridha. Penulis adalah peminat sejarah. Tinggal di Bandung.
     
  • erva kurniawan 6:29 am on 7 April 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , hakekat menikah, , , , ,   

    Carilah Iman Yang Separuh Lagi 

    Bismillaahir-rahmaanir-rahiim
    Sahabat,
    Ketika salah seorang sahabat bernama Ukaf bin Wida’ah al-Hilali menemui Rasulullah saw dan mengatakan bahwa ia belum menikah, beliau bertanya, “Apakah engkau sehat dan mampu?” Ukaf menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan. Atau engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani dan engkau bagian dari mereka. Atau (bila) engkau termasuk bagian dari kami, maka lakukanlah seperti yang kami lakukan, dan termasuk sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk diantara kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang.” Kemudian Rasulullah saw menikahkannya dengan Kultsum al-Khumairi. (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah)
    Anas bin Malik ra berkata, telah bersabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim)
    Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi saw tentang peribadatan beliau. Setelah mendapat penjelasan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata, “Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Yang lain berkata, “Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya.” Ketika hal itu didengar oleh Nabi saw, beliau keluar seraya bersabda, “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
    Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah swt sebagai seorang bujangan.” (Ihya Ulumuddin hal. 20)
    Dalam suatu kesempatan Imam Malik pernah berkata, “Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan istri saya sudah meninggal, saya akan segera menikah.” Demikian rasa takut pengarang kitab al-Muwatha’ ini kepada Allah kalau ia meninggal dalam keadaan membujang. (30 Pertunjuk Pernikahan dalam Islam, Drs. M. Thalib)
    Lalu kenapa kita masih menahan diri untuk menikah? Pengalaman mengajarkan bahwa ternyata kita dapat menjadi semacam tempat penyalur rejeki (dari Allah) bagi orang-orang yang lemah diantara kita (istri dan anak-anak, bahkan orangtua dan mertua sekaligus). Itu dapat terjadi manakala kita telah buat keputusan untuk mengambil tanggung jawab atas mereka. Seakan-akan Allah mengatakan bahwa Dia akan membantu kita untuk mewujudkan setiap niat baik dan tangung jawab kita.
    Allah swt menyukai orang-orang yang dapat ‘mewakili’-Nya dalam hal pembagian rejeki. Salah satu kesukaan-Nya adalah bahwa Dia akan berikan lebih banyak lagi rejeki kepada wakil-wakil-Nya agar hal itu dapat bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang ada dibawah tanggung-jawab mereka. Dan Allah (yang menyenangi orang-orang yang berbuat baik) menyukai mereka yang mengambil tanggung-jawab atas urusan-urusan yang disukai-Nya.
    Percayalah bahwa ketika kita buat keputusan untuk menikah, itu berarti bahwa kita sedang menyenangkan Allah. Pada saat yang sama, kita menjadikan setan stress dan ‘uring-uringan’. Pada gilirannya nanti, Allah akan memperlihatkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk bergantung dan mendapatkan rejekinya. Sementara itu, setan bekerja lebih keras lagi untuk menanamkan rasa takut terhadap segala resiko (yang mungkin timbul) dari pernikahan, sekaligus dia menampakkan ‘kebaikan-kebaikan’ hidup sendiri (membujang).
    Bila kita menikah, padahal saat ini kita (misalnya) seperti ‘tulang punggung’ bagi keluarga orangtua, maka Allah yang maha pengasih dan maha penyayang tidak akan menambah berat beban yang harus kita pikul, bahkan Dia akan meringankannya melalui pernikahan. Nampaknya hal ini tidak bisa masuk akal, akan tetapi demikianlah ketetapan Allah dalam memelihara ciptaan-Nya. Akal kita memang sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memahami ciptaan-Nya saja hamper-hampir kita tidak mampu.
    Bila kita menikah, sedangkan kita tidak sedikitpun punya niatan untuk meninggalkan bakti kepada orangtua dan hubungan baik dengan sanak-saudara, niscaya Allah akan memberi jalan keluar bagi masalah-masalah yang mungkin timbul terhadap mereka. Segala sesuatu datang dari Allah dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Keadaan seberat apapun, pasti tidak akan menyusahkan-Nya sedikitpun dalam menyelesaikan masalah-masalah keseharian kita.
    Bila kita menikah, maka kita akan (segera) masuk ke dalam orang-orang yang beruntung yang akan diakui sebagai ummat Rasulullah saw. Begitu besarnya perhatian Rasulullah saw akan hal nikah sehingga seseorang seperti Julabib, (maaf) yang punya wajah jelek, hitam, miskin dan tidak punya keberanian untuk nikah (karena keadaannya) pun ‘digesa’ dan didorong untuk menikah. Seakan Rasulullah marah kepada mereka yang sudah masuk dalam kategori layak nikah namun dia mengabaikannya.
    Untuk itu, hendaknya tidak seorangpun merasa kecil hati dengan keadaannya saat ini. Banyak keadaan dimana orang-orang memandang bahwa keadaan kita jauh lebih baik daripada mereka. Barangkali orang-orang di luar kita tidak sepenuhnya memahami keadaan kita, akan tetapi pada kenyataannya memang selalu ada orang-orang yang posisinya jauh dibawah kita dan selalu ada orang-orang yang keadaannya lebih buruk daripada kita.
    Lalu dari mana kita mulai? Orang-orang tua yang arif-bijaksana selalu mengingatkan agar kita selalu memperbaharui niat kita, menguatkannya hingga kita berazam untuk mewujudkan sesuatu yang kita hajatkan. Dengan ijin Allah, niat yang kuat (azam) akan dapat mengaktifkan fikir, menggerakkan anggota badan dan melibatkan segala sesuatu di sekitar kita untuk merealisasikan apa yang kita niatkan. Untuk perkara yang tidak baik saja Allah memberinya ijin, lalu bagaimana pula bila niat itu sesuatu yang Allah sukai?
    Langkah selanjutnya adalah doa. Dengan menguatkan niat, doa kita akan terasa lebih berkesan. Ada masa-masa tertentu setiap hari ketika Allah merespon doa secara ‘cash’ (tunai). Tidak seorangpun tahu rahasia ini, sehingga orang yang bersungguh-sungguh (dengan urusan doa yang diijabah ini) tidak akan menyiakan masanya, sehingga tidak ada masa kecuali selalu dalam berhubungan dengan Sang pengijabah doa.
    Langkah berikutnya, yakni seiring dengan doa yang sedang kita panjatkan, adalah ikhtiar. Kita boleh menyukai siapa saja, yang agama kita membenarkannya untuk kita menikahinya. Akan tetapi ketetapan pasangan kita adalah hak Allah. Kita boleh memilih dan memilah, tapi yakin kita adalah bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik buat kita. Allah mengetahui sedangkan kita tidak tahu kecuali sebatas pada apa yang diberitahukan-Nya kepada kita.
    Bila kita menyukai seseorang untuk menjadi pasangan (suami atau istri) kita lalu hal itu sesuai dengan keinginan dan ilmu kita, akan tetapi Allah (dengan keluasan ilmu-Nya) tidak menghendakinya terjadi, maka pernikahan itu tidak akan dapat diwujudkan meski seluruh jin dan manusia membantu kita. Bila kita menyukai seseorang dan Dia sendiri telah menetapkannya untuk kita, maka pernikahan akan terwujud meskipun seluruh jin dan manusia menghalanginya.
    Bila kita tidak suka kepada seseorang sedangkan Allah suka agar kita menyenangi dan menikahinya, ini adalah suatu pertanda bahwa Allah menyimpan banyak kebaikan yang (sebagian besarnya) dirahasiakan-Nya agar menjadi  ‘surprise’ bagi kita pada saat yang ditentukan-Nya sendiri kelak, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan kesukaan Allah yang lain adalah bahwa Dia mecurahkan kebaikan yang semakin bertambah dan berlipat kepada hamba-hamba yang diridhoi-Nya.
    Dari banyak pengalaman, saat menjelang pernikahan (setelah kita buat keputusan untuk itu) adalah masa-masa yang sering dipenuhi dengan kecamuk ‘perang bathin’. Seolah ini adalah perang antara kebaikan dan keburukan. Bila kita terus maju dengan segala resikonya, kita akan menang lalu sampailah kita ke gerbang pernikahan. Sebaliknya, bila kita ragu dan menjadi terhalang dengan ‘hal-hal kecil’, kita akan kalah dan kita tidak akan sampai ke gerbang itu. Maka bila kita sudah buat keputusan, kita mesti buang jauh segala bentuk keraguan dan kita mesti belajar untuk menjadi tidak peduli dengan segala rintangan. Subhanallah.
    Oleh: Subhan ibn Abdullah
     
    • wajar 8:35 am on 8 April 2010 Permalink

      subhanallah.. bagus artikelnya
      saya ijin copas boleh atau tidak??
    • rahmadani 3:33 pm on 12 April 2010 Permalink

      saya izin copas yah,..
    • dini 10:05 am on 17 April 2010 Permalink

      Subhanallah…………tambah terbuka pintu hati untuk segera menunaikan kewajiban carilah iman yang separuh lagi, terimakasih buat mas erva artikelnya bagus banget………
    • murray 5:18 pm on 16 Mei 2010 Permalink

      saya tersadar setelah baca artikel ini… terimakasih
  • erva kurniawan 2:46 am on 3 April 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Permohonan Si Miskin Dan Si Kaya 

    Sebuah cerita teladan diambil dari buku “1001 Kisah Teladan”
    Nabi Musa AS memiliki ummat yang jumlahnya sangat banyak dan umur mereka panjang-panjang. Mereka ada yang kaya dan juga ada yang miskin.
    Suatu hari ada seorang yang miskin datang menghadap Nabi Musa AS. Ia begitu miskinnya pakaiannya compang-camping dan sangat lusuh berdebu. Si Miskin itu kemudian berkata kepada Baginda Musa AS, “Ya Nabiullah, Kalamullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar Allah SWT menjadikan aku orang yang kaya.
    Nabi Musa AS tersenyum dan berkata kepada orang itu, “Saudaraku, banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah SWT. Si Miskin itu agak terkejut dan kesal, lalu ia berkata, Bagaimana aku mau banyak bersyukur, aku makan pun jarang, dan pakaian yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini saja”!.
    Akhirnya Si Miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
    Beberapa waktu kemudian seorang kaya datang menghadap Nabi Musa AS. Orang tersebut bersih badannya juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada Nabi Musa AS, “Wahai Nabiullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar dijadikannya aku ini seorang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu.
    Nabi Musa AS pun tersenyum, lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, janganlah kamu bersyukur kepada Allah SWT.”
    “Ya Nabiullah, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Alah SWT?. Allah SWT telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. Telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah SWT telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya”, jawab Si Kaya itu. Akhirnya Si Kaya itu pun pulang ke rumahnya.
    Kemudian terjadi adalah Si Kaya itu semakin Allah SWT tambah kekayaannya karena ia selalu bersyukur. Dan Si Miskin menjadi bertambah miskin. Allah SWT mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga Si Miskin itu tidak memiliki selembar pakaianpun yang melekat di tubuhnya. Ini semua karena ia tidak mau bersyukur kepada Allah SWT.
    Semoga bermanfaat
    ***
     
    • rizky TheFallen 2:16 pm on 3 April 2010 Permalink

      subhanallah.. apa di zaman sekarang masih banyak orang kaya yang kayak gitu?
    • Hendra 9:03 pm on 6 April 2010 Permalink

      MasyaAllah… Smoga allah menjadi kan kita orang2 yg bersyukur. Amin
    • annisa 10:45 am on 12 April 2010 Permalink

      Subhanallah.. sbnarnya.. dari cerita itu bisa terlihat bahwa semua saling membutuhkan.., si miskin butuh harta, si kaya ingin mengurangi hartanya, dan Allah sudah memberi solusi dgn ZAKAT,
      jika si kaya berzakat, sedeqah atw peduli dgn yg kekurangan di sekelilingnya..maka dia akan kaya hati dan hati menjadi senang, dan artinya si Kaya tlah menjadi Tangan2 Allah u/ menolong si Miskin..,
      Semoga kita selalu dapat memberikan kelebihan harta / uang kita walaupun sedikit kepda yg lebih membutuhkan..
      aamiinn..
    • Irfan 9:44 am on 22 April 2010 Permalink

      minta izin copas ya……..
    • akhil muslim 7:59 pm on 15 Mei 2010 Permalink

      kita harus semakin bersyukur atas kenikmatan-kenikmatan yang allah anugrahkan kepada kita…………agar kita semakin kaya dalam kehidupan dunia terlebih akhirat…bukan hanya sekedar kaya harta tapi juga hati……….dan kaya ilmu dan kaya amal……..
    • Sri Mulyati 9:11 pm on 19 September 2010 Permalink

      izin share ya….syukron
  • erva kurniawan 6:52 pm on 29 Maret 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Fatimah Binti Muhammad SAW 

    Fatimah adalah “ibu dari ayahnya.” Dia adalah puteri yang mulia dari dua pihak, yaitu puteri pemimpin para makhluq Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab,hasab dan nasab.
    Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi’ danRuqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kul-tsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda, “Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” [Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"] Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil’aalamiin, dan ibu dari Al-Hasan dan Al-Husein.
    Az-Zubair bin Bukar berkata, “Keturunan Zainab telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fatimah dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya ber-kata, “Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” ["SiyarA'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]
    Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Datang Fatimah kepada Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ucapkanlah, “Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau-lah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiadasesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan.” (HR. Tirmidzi)
    Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin.
    Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW, Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanya dengan air, sehingga darah semakin banyak yang keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar.” (HR. Syaikha dan Tirmidzi)
    Dalam kancah pertarungan yang dialami itu, tampaklah peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi Muslim masa kini. Pemimpin wanita penghuni Syurga Fatimah Az-Zahra’, puteri Nabi SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untukmenyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit.
    Inilah gambaran lain dari sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepada para pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak dapat dipenuhi. Ali r.a. berkata, “Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu.”
    Ketika Rasulullah SAW menikahkannya (Fatimah), mengirimkannya (unta itu) bersama satu lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum,sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah dia, Az-Zahra’, ibu kedua cucu Rasulullah SAW Al-Hasan dan Al-Husein.
    Fatimah selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, “ibu ayahnya, Muhammad”, Al-Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra’ (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah, dia selalu berdzikir.
    Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keutamaan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah’ r.a. dia berkata, “Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu datang Fatimah r.a. sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya berkata, “Selamat datang, puteriku.” Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum. Setelah itu aku berkata kepada Fatimah, “Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!” Ketika Nabi SAW pergi, aku bertanya kepadanya, “Apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu?” Fatimah menjawab, “Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul Allah SAW.” Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya, “Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu?” Fatimah pun menjawab, “Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Qur’an sekali dalam setahun, dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu.” Fatimah berkata, “Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata, “Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mu’min atau ummat ini?” Fatimah berkata, “Maka akupun tertawa seperti yang engkau lihat.”
    Inilah dia, Fatimah Az-Zahra’. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingga berdebu bajunya.
    Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia ber-kata kepada ibunya, Fatimah binti Asad bin Hasyim, “Bantulah pekerjaan puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan mencukupimu bekerja di dalam rumah yaitu membuat adonan tepung, membuat roti dan menggiling gandum.”
    Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fatimah, “Alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya.” KemudianFatimah datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya, “Apasebabnya engkau datang, wahai anakku?” Fatimah menjawab, “Aku datang untuk memberi salam kepadamu.” Fatimah merasa malu untuk meminta kepadanya, lalu pulang.
    Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya, “Apakah keperluanmu?” Fatimah diam. Ali r.a. lalu berkata, “Aku akan menceritakannya kepada Anda, wahai Rasululllah.
    Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku me-nyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa membantunya guna meringankan bebannya.”
    Kemudian Nabi SAW bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka.” Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada mereka ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala, tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menutupi kaki, tampak kepala-kepala mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda, “Tetaplah di tempat tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripadaapa yang kalian minta dariku ?”
    Keduanya menjawab, “Iya.” Nabi SAW bersabda, “Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucap-kan,  Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali.”
    Dalam mendidik kedua anaknya, Fatimah memberi contoh,  Adalah Fatimah menimang-nimang anaknya, Al-Husein seraya melagukan, “Anakku ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali.” Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata, “Aduh, susahnya Ayah !” Nabi SAW menjawab, “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata, “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga Firdaus tempat tinggalnya.
    Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya.” Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmi-dzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnul Jauzi berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah.”
    Fatimah pernah mengeluh kepada Asma’ binti Umais tentang tubuh yang kurus. Dia berkata, “Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu?”Asma’ menjawab, “Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan.”
    Maka Fatimah menyuruh membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda itu, maka dia berkata, “Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi aurat kalian.” [Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam "Siyar A'laaminNubala'. Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said dari Ummi Ja'far]
    Ibnu Abdil Barr berkata, “Fatimah adalah orang pertama yang dimasukkan ke keranda pada masa Islam.” Dia dimandikan oleh Ali dan Asma’, sedang Asma’ tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a.berdiri di kuburnya dan berkata, “Setiap dua teman bertemu tentu akan berpisah dan semua yang di luar kematian adalah sedikit kehilangan satu demi satu adalah bukti bahwa teman itu tidak kekal Semoga Allah SWT meridhoinya.”
    Dia telah memenuhi pendengaran, mata dan hati. Dia adalah ‘ibu dari ayahnya’, orang yang paling erat hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya.
    Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fatimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang.
    Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra’,puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu’minin r.a. dan mengangkut air dalam sebuah qirbah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi makan kaum Mu’minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.
    Semoga kita semua, kaum Muslimah, bisa meneladani para wanita mulia tersebut. Amiin yaa Robbal’aalamiin.
    Wallahu a’lam bishowab.
    ***
    Sumber,  ”Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW” (terjemahan dari buku “An-Nisaa’ Haula Ar-Rasuul”) yang disusun oleh Muhammad Ibrahim Salim. Disalin oleh,  Hanies Ambarsari.
     
  • erva kurniawan 4:53 pm on 26 Maret 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Salah Satu Ujian Berat Rosululloh SAW 

    Sudah hampir 9 tahun Nabi Muhammad SAW menyiarkan Agama Islam tapi orang-orang hanya sedikit sekali yang mau mendengarkan syi’ar Islam Rosululloh SAW, apalagi mau masuk Islam.
    Umat Islam waktu itu bisa dihitung dengan jari dan merupakan Umat yang paling lemah sehingga kaum Kafir sangatlah leluasa menyakiti dan menganiaya orang-orang yang telah masuk Islam.
    Apalagi setelah Abu Tholib Paman Rosululloh SAW wafat di tahun kesepuluh ke-Nabian Beliau, Kaum Kafir menjadi merasa sangat bebas menyakiti Umat Islam.
    Saat Abu Tholib masih ada Kaum Kafir merasa Takut jika mau menyakiti Umat Islam apalagi menyakiti Rosululloh SAW Keponakannya, karena Abu Tholib adalah salah satu pembesar kaum kafir yang amat di segani dan sangat Membela Rosululloh walaupun dia sendiri sampai wafat tidak masuk Islam.
    Begitu hebatnya kekejian yang dilakukan kaum kafir terhadap Umat Islam setelah meninggalnya Abu Tholib, maka Rosululloh mengajak Umat Islam yang amat sedikit itu Hijrah ke Thaif.
    Harapan Rosululloh SAW jika Kabilah Tsaqif yang merupakan mayoritas di Thaif nanti mau mendengarkan Syi’ar Islam dan akhirnya mau masuk Islam, maka hal ini akan bisa melepaskan Umat Islam dari perbuatan jahat dan keji kaum Kafir.
    Sesampainya di Thaif, Rosululloh SAW langsung menemui 3 tokoh masyarakat setempat dengan harapan ke-tiga tokoh tersebut mau mendengarkan Syi’ar Islam Rosululloh  dan SAW akhirnya mau masuk Islam, sehingga akan mempermudah mengadakan Syi’ar Islam dan mengajak Masyarakat Thaif untuk masuk Islam.
    Ternyata Harapan Rosululloh SAW jauh dari Kenyataan, Para Tokoh Masyarakat itu bukannya menerima atau menolak dengan halus ajakan Rosululloh tapi malah sebaliknya.
    Ketiga Tokoh masyarakat itu mengejek, mencaci  dan menghina Rosululloh dan umat Islam yang menyertai Beliau dengan kata-kata Kasar dan menyakitkan.
    “Ooh kamukah yang telah di pilih oleh Allah sebagai nabinya?”, kata salah satu tokoh masyarakat Thaif itu. Tokoh yang lain menimpali, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas dipilih oleh Allah menjadi Nabi daripada Kamu?”. Dan sebagainya.
    Setelah Rosululloh merasa bahwa kenyataannya sulit sekali mengajak para tokoh tersebut mendengarkan Syi’ar Islam dan masuk Islam, maka Beliaupun mengajak Umat Islam yang bersama Beliau segera beranjak pergi dari Thaif.
    Tapi ternyata ketiga Tokoh Masyarakat tersebut telah menyuruh semua pemuda di Thaif untuk mengikuti dan mengganggu Rosululloh dan Umat Islam yang menyertai Beliau dengan caci maki serta sambil melempari batu.
    Rosululloh dan Umat islam yang mengikuti Beliau terpaksa berjalan cepat dan akhirnya lari untuk menghindari lemparan batu dari para pemuda Thaif yang makin banyak sehingga menyebabkan Rosululloh dan umat Islam yang mengikuti Beliau terluka. Bahkan darah mengucur sampai kaki Rosululloh dan kaki Rosulullohpun berdarah-darah.
    Setelah sampai di tempat yang di rasa aman, Rosululloh mengajak Umat Islam yang mengikuti Beliau berhenti dan istirahat.
    Rosululloh berdo’a pada Allah SWT
    “…Ya Allah aku mengadukan pada-Mu akan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia…”
    “…Wahai Yang Maha Rahim dari sekalian rahimin, Engkau Tuhan-nya manusia yang merasa lemah dan Engkau-lah Tuhanku…”
    “…Kepada siapakah Engkau akan aku serahkan diriku ?? kepada musuh yang akan menghinaku ataukah pada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku..”
    “..tidak ada keberatan bagiku asal saja aku tetap dlm ridho-Mu ya Allah ya Tuhan-ku.”
    Begitu sedihnya do’a yang di panjatkan oleh Rosululloh sehingga Allah SWT mengutus Malaikat Jibril AS untk menemui Rosululloh.
    Setelah memberikan salam Malaikat Jibril berkata..” Wahai Rosululloh, Allah swt telah mengutus Malaikat yang mengurusi gunung-gunung, Engkau di izinkan oleh Allah swt memerintahkan malaikat tersebut melakukan apa saja yang kamu akan perintahkan.”
    Kata Malaikat yang mengurusi gunung setelah memberikan salam, ” Wahai Rosululloh, jika engkau izinkan, aku akan mengangkat gunung-gunung di sebelah sana untuk aku timpakan pada penduduk Thaif yang telah menghina dan menganiayamu.”
    Jawab Rosululloh yang mempunyai rasa kasih sayang yang amat tinggi, “Jangan, biarkanlah mereka , saya hanya mohon kepada Allah SWT, jika saat ini penduduk Thaif tidak mau mendengarkan Syi’ar Islam dan tidak mau masuk Islam biarkanlah, semoga Allah SWT menjadikan anak keturunan mereka akan menjadi Muslim semua kelak, menjadi Muslim yang taat pada Allah SWT.”
    Dan ternyata Do’a Rosululloh SAW dikabulkan oleh Allah swt , anak cucu penduduk Thaif beberapa tahun kemudian menjadi Muslim yang taat pada Allah SWT semua.
    ***
    Sumber: Email dari Sahabat
     
  • erva kurniawan 5:27 am on 15 Maret 2010 Permalink | Balas
    Tags: , , , , ,   

    Arti Sebuah Obrolan 

    Oleh : Ust. Musyaffa AbdurRahim, Lc.
    **
    Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya obrolan masyarakatnya.
    Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid.
    Dalam obrolan mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut, “Berapa rumah yang sudah engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada di rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis? Dan semacamnya.”
    Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya, lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya.
    Dalam obrolan mereka, terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut, “Hari ini engkau sudah membaca Al Qur’an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa pada bulan ini? Dan semacamnya.”
    Mungkin diantara kita ada yang mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah?
    Dari aspek hukum syar’i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias tidak ada larangan dalam syari’at.
    Akan tetapi, bila hal itu kita tinjau dari sisi lain, misalnya dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal itu menujukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa juga kita katakan, telah terjadi obsesi pada ummat.
    Pada masa Sahabat (Ridhwanullah ‘alaihim), obsesi orang (dengan segala tuntutannya, baik yang berupa feeling ataupun ‘azam, bahkan amal) selalu terfokus pada bagaimana menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi itu telah berubah.
    Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya semangat jihad, semangat da’wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
    Al Hamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali “gaya” dan “pola” obrolan masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup masyarakat.
    Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin).
    Tujuan dia memasuki wilayah Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin mengobrol, ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat itu.
    Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan informasi tentang gaya kaum muslimin, tertumbuklah pandangannya kepada seorang bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan seekor burung.
    Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fisabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka masih terobsesi untuk berjihad fisabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah itu tadi.
    Antara obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi.
    Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak terlupakan, ia datangi pula masjid.
    Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan, “Budak perempuan saya yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya bagus, desainnya canggih, luas dan sangat menyenangkan”, dan semacamnya.
    Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu, sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim.
    Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah, betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita sekarang ini?
    Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita?
    Sadarkah kita bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah kita persiapkan sedemikian rupa?
    Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang baru saja turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhudan salafush-Shalih dan pengaruhnya dalam efektifitas da’wah”.
    Sehabis shalat Jum’at, anda mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda dan mereka memperbincangkan. Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya.
    Cobalah anda menerka, pengaruh apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang anda sampaikan lewat obrolan?
    Sekali lagi, memang obrolan semacam itu bukanlah masuk kategori “terlarang” secara syar’i, akan tetapi, saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da’wah ilallah.
    Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah… Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya obrolan kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang terjadi saat kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi antar sesama aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita.
    Saat itu, obrolan kita tidak pernah keluar dari da’wah, da’wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang?
    Silahkan masing-masing kita menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita da’wah dan tarbiyah saat itu dengan seringnya kita mendengar adanya dha’fun tarbawi di sana sini.
    ***
    Sumber: Email dari Sabahat

  • Dimana Tsa’labah Sekarang? 

    Seorang sahabat Nabi yang amat miskin datang pada Nabi sambil mengadukan tekanan ekonomi yg dialaminya. Tsa’labah, nama sahabat tersebut, memohon Nabi untuk berdo’a supaya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadanya.
    Semula Nabi menolak permintaan tersebut sambil menasehati Tsa’labah agar meniru kehidupan Nabi saja. Namun Tsa’labah terus mendesak. Kali ini dia mengemukakan argumen yang sampai kini masih sering kita dengar, “Ya Rasul, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat memberikan kepada setiap orang haknya.
    Nabi kemudian mendo’akan Tsa’labah. Tsa’labah mulai membeli ternak. Ternaknya berkembang pesat sehingga ia harus membangun pertenakakan agak jauh dari Madinah. Seperti bisa diduga, setiap hari ia sibuk mengurus ternaknya. Ia tidak dapat lagi menghadiri shalat jama’ah bersama Rasul di siang hari.
    Hari-hari selanjutnya, ternaknya semakin banyak; sehingga semakin sibuk pula Tsa’labah mengurusnya. Kini, ia tidak dapat lagi berjama’ah bersama Rasul. Bahkan menghadiri shalat jum’at dan shalat jenazah pun tak bisa dilakukan lagi.
    Ketika turun perintah zakat, Nabi menugaskan dua orang sahabat untuk menarik zakat dari Tsa’labah. Sayang, Tsa’labah menolak mentah-mentah utusan Nabi itu. Ketika utusan Nabi datang hendak melaporkan kasus Tsa’labah ini, Nabi menyambut utusan itu dengan ucapan beliau, “Celakalah Tsa’labah!”
    Nabi murka, dan Allah pun murka!
    Saat itu turunlah Qs at-Taubah: 75-78
    “Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui yang ghaib?”
    Tsa’labah mendengar ada ayat turun mengecam dirinya, ia mulai ketakutan. Segera ia temui Nabi sambil menyerahkan zakatnya. Akan tetapi Nabi menolaknya, “Allah melarang aku menerimanya.” Tsa’labah menangis tersedu-sedu.
    Setelah Nabi wafat, Tsa’labah menyerahkan zakatnya kepada Abu Bakar, kemudian Umar, tetapi kedua Khalifah itu menolaknya. Tsa’labah meninggal pada masa Utsman.
    Dimanakah Ts’alabah sekarang? Jangan-jangan kitalah Tsa’labah-Tsa’labah baru yang dengan linangan air mata memohon agar rezeki Allah turun kepada kita, dan ketika rezeki itu turun, dengan sombongnya kita lupakan ayat-ayat Allah.
    Bukankah kita dengan alasan sibuk berbisnis tak lagi sempat sholat lima waktu. Bukankah dengan alasan ada “meeting penting” kita lupakan perintah untuk sholat Jum’at. Bukankah ketika ada yang meminta sedekah dan zakat kita ceramahi mereka dengan cerita bahwa harta yang kita miliki ini hasil kerja keras, siang-malam membanting tulang; bukan turun begitu saja dari langit, lalu mengapa kok orang-orang mau enaknya saja minta sedekah tanpa harus kerja keras.
    Kitalah Tsa’labah….Tsa’labah ternyata masih hidup dan “mazhab”-nya masih kita ikuti…
    Konon, ada riwayat yang memuat saran Nabi Muhammad SAW (dan belakangan digubah menjadi puisi oleh Taufik ismail), “Bersedekahlah, dan jangan tunggu satu hari nanti di saat engkau ingin bersedekah tetapi orang miskin menolaknya dan mengatakan, “kami tak butuh uangmu, yang kami butuhkan adalah darahmu!”
    Dahulu Tsa’labah menangis di depan Nabi yang tak mau menerima zakatnya. Sekarang ditengah kesenjangan sosial di negeri kita, jangan-jangan kita bukan hanya akan menangis namun berlumuran darah ketika orang miskin menolak sedekah dan zakat kita!
    Na’udzubillah…
    ***
    Oleh: Andri P. Nugroho
     
    • akhil muslim 8:05 pm on 15 Mei 2010 Permalink

      Ya Allah jauhkanlah kami dari sifat kikir……………amiin
      dan jadikan harta2 kami dibawah telapak kaki kami…agar tidak melalaikan kami dalam beribadah kepada engkau……amiin

  • Ibroh 

    Sa’at itu Abu Bakar Asyidiq menjabat sebagai Kholifah (Presiden). Waktu itu beliau pergi kepasar mau berdagang, di tengah jalan bertemu dng Umar Bin Khotob, Umar pun bertanya, “Wahai Abu Bakar, engkau sebagai Kholifah (Presiden) tapi masih juga menyibukkan diri ke pasar berdagang, apakah tidak mengganggu tugasmu sebagai Kholifah (Presiden) yang berkewajiban untuk melayani rakyat (umat)?”
    Jawab Abu Bakar, “Wahai Umar, aku berdagang ke pasar mencari nafkah untuk keluargaku?”. Lalu Umar mendatangi Abu Ubaidah sebagai pemegang amanah baitul mal (Bendahara negara) untuk mengusulkan agar Abu Bakar di beri gaji yang di ambil dari Kas Negara, agar tidak harus berdagang ke pasar yang bisa mengganggu tugas Abu Bakar sebagai Kepala Negara.
    Di kemudian hari istri Abu Bakar berkata pada Beliau “Aku ingin membuat dan makan manisan, jika Engkau mengizinkan, maka aku akan menyisihkan uang belanja dari Engkau untuk keperluan itu”. Abu Bakarpun mengizinkan.
    Setelah uang terkumpul maka Istri Abu Bakar berkata lagi, “Ini uang hasil aku menyisihkan sebagian uang belanja. Belikan aku keperluan untuk membuat manisan di Pasar”.
    Jawab Abu Bakar pada istrinya, “Kalau begitu berarti gajiku sebagai Presiden (kholifah) terlalu besar, sehingga engkau masih bisa menyisihkan sebagian uang untuk keinginanmu ini”.
    Abu Bakar akhirnya memohon agar gajinya sebagai Presiden (kholifah) di potong sebesar uang yang telah bisa disisihkan oleh istri Beliau.
    ***
    Sumber: Email dari Sahabat

  • Gaji Khalifah (Presiden) Umar Bin Khatab RA 

    Suatu hari Ali Bin Abu Tholib, Talhah dan salah satu Sahabat lain-nya mendatangi Hafsah r.a, putri Umar Bin Khotob yang juga salah satu Istri Rosululloh…..
    Maksud kedatangan ke tiga sahabat Rosululloh itu adalah untuk mengusulkan agar gaji Umar sebagai Kholifah (Presiden) di naikkan, karena gaji yang sekarang di terima oleh Umar di pandang terlalu kecil, untuk menyampaikan langsung pada Umar ke tiga sahabat ini merasa takut jika Umar nanti malah marah, maka ketiga sahabat Rosululloh tersebut menemui Hafsah dan meminta tolong agar Hafsah-lah yang menyampaikan usulan tersebut kepada Umar Sang Kholifah (Presiden) waktu itu.
    Benar saja, ketika Hafsah menyampaikan usul ketiga shabat Rosululloh tersebut, Wajah Umar Bin Khotob langsung merah padam menahan marah, Umarpun berkata ” Siapa ya Hafsah yang berani-beraninya mengusulkan gaji-ku sebagai Kholifah (Presiden) supaya di tambah, biar orang itu aku tempeleng?” tanya Umar dengan nada keras.
    Hafsah-pun menjawab ” aku akan mengatakan-nya siapa orang itu, tapi aku ingin tahu lebih dulu bagaimana pendapat engkau sebenarnya dengan usulan itu “, jawab Hafsah dengan tenang.
    Wahai Hafsah, engkau sebagai istri Rosululloh ceritakan padaku, bagaimana Rosululloh dulu sewaktu masih hidup dan menjabat sebagai Kholifah “, kata Umar selanjutnya.
    Hafsah-pun menerangkan dengan senang hati, ” Selama aku mendampingi Rosululloh sebagai salah satu istri Beliau sebagai seorang Kholifah (Presiden), Rosululloh hanya mempunyai dua stel baju, berwarna biru dan merah, Rosululloh-pun hanya mempunyai selembar kain kasar ( terpal ) sebagai alas tidur, Beliau akan melipat kain itu menjadi empat lipatan sebagai bantal tidur jika musim panas tiba dan Beliau akan menggelar kain tersebut serta di sisakan sedikit buat bantal untuk tidur jika musim dingin tiba, aku pernah mengganti alas tidur Rosululloh dengan kain yang halus untuk tidur, esok harinya aku di tegur Beliau ” wahai Hafsah Istriku, janganlah kau lakukan lagi mengganti alas tidurku seperti kemarin, hal itu hanya akan melalaikan orang untuk bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat malam bermunajat pada ALLAH SWT”, aku-pun tidak berani lagi melakukan hal itu lagi sampai Beliau wafat”.
    ” Teruskan ceritamu ya Hafsah ” pinta Umar dengan penuh perhatian.
    ” Rosululloh setiap hari hanya makan roti dari tepung yang amat kasar di campur dengan garam jika pas ada dan di celupkan minyak, Padahal Beliau punya hak dari baitul Mall, tapi Beliau tidak pernah mengambilnya dan mempergunakan-nya, semuanya di bagikan pada fakir miskin ” tutur Hafsah selanjutnya” aku pernah pagi-pagi menyapu remukan roti di kamar, Oleh Rosululloh remukan roti tersebut di kumpulkan dan di makan dengan lahap-nya, bahkan Beliau berniat untuk mebagikan pada orang lain” begitu tutur Hafsah menutup ceritanya.
    Kata Umar ” Wahai Hafsah sekarang dengarlah olehmu, jika ada tiga sahabat yang akan mengadakan suatu perjalanan dengan tujuan yang sama dan jalan yang harus di tempuh itu harus sama, mana mungkin jika ada salah satu sahabat itu menempuh jalan yang lain akan bisa bertemu pada satu tujuan, Rosululloh telah sampai pada tujuan itu, Abu Bakar Insya Allah juga telah sampai pada tujuan itu dan sekarang telah berkumpul kembali dengan Rosululloh karena Abu Bakar menempuh jalan yang sama dengan yang dulu di tempuh oleh Rosululloh. Sekarang diriku masih dalam perjalanan belum sampai tujuan, apakah mungkin aku akan menempuh jalur lain sehingga mengakibatkan aku tidak akan sampai tujuan dan berkumpul dengan Rosululloh dan Abu Bakar? Tidak, aku sekali-kali TIDAK akan menerima tawaran itu, karena hal itu tidak pernah di lakukan oleh Rosululloh dan Abu Bakar, dan akupun tidak akan menggunakan hak-ku dari baitul mall untuk kepentingan diriku, semuanya telah aku serahkan untuk kepentingan fakir miskin.
    **
    Kapankah kita mempunyai Pemimpin (Presiden) seperti kisah di atas ?
    Umar bin khotob sangat marah saat ada yang mengusulkan gajinya agar di tambah. Tapi lihat, Anggota DPR kita ngotot minta tambahan gaji amat besar padahal kinerjanya masih jauh dari membela rakyat.
    Apakah para Pemimpin (Anggota DPR kita dan Presiden) dan calon Pemimpin ada yang tahu dengan kisah di atas dan punya Keimanan serta ketakutan pada ALLAH SWT sehingga dengan ikhlas akan melaksanakan seperti dengan kisah di atas ?
    ***
    Sumber: Email dari Sahabat

  • Menikmati Kesederhanaan 

    Republika : Rabu, 27 Juli 2005
    Oleh : Syarif Hade Masyah
    Suatu kali Umar bin Khathab RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW. Kala itu Umar mendapati Nabi sedang berbaring di tikar yang sangat kasar. Saking kasarnya alas tidur Nabi itu, anyaman tikarnya membekas di pipi beliau. Tidak semua tubuh beliau beralas tikar. Sebagian tubuhnya beralas tanah. Bantal yang beliau gunakan pun pelepah kurma yang keras.
    Melihat pemandangan itu Umar langsung menangis. “Mengapa Anda menangis?” tanya Rasulullah. “Bagaimana saya tidak menangis? Alas tidur itu telah menorehkan bekas di pipi Anda. Anda ini Nabi sekaligus kekasih Allah. Mengapa kekayaan Anda hanya seperti yang saya lihat sekarang ini? Apa Anda tidak melihat bagaimana Kisra (Raja Persia) dan Kaisar (Raja Romawi) duduk di atas singgasana emas dan berbantalkan sutra terindah?” jawab Umar yang sekaligus balik bertanya.
    Apa jawab Nabi? “Mereka ingin menghabiskan kenikmatan dan kesenangan sekarang ini. Padahal, kenikmatan dan kesenangan itu cepat berakhir. Berbeda dengan kita. Kita lebih senang mendapat kenikmatan dan kesenangan itu untuk hari nanti.”
    Nabi telah memberi contoh dan teladan mulia dalam sikap sederhana. Catatan sejarah menunjukkan beliau tidak memiliki perabot rumah tangga biasa, apalagi yang mewah. Makanan favorit beliau hanya roti kering, segelas air putih, dan satu-dua butir kurma. Itu pun sudah beliau anggap sebagai kemewahan.
    Menyerukan sikap sederhana tidak akan berhasil bila tidak diiringi keteladanan. Belakangan kita banyak melihat orang yang menggembar-gemborkan hidup hemat, meski sikap hidupnya tidak menunjukkan apa yang diserukannya.
    Mobilnya lebih dari satu, rumahnya ada di mana-mana, perlengkapan rumahnya serba mewah, watt untuk perabotan elektroniknya luar biasa, dan pakaiannya impor semua.
    Menurut seorang tabi’in, seseorang dikategorikan boros jika dalam hal makanan dan berpakaian dia selalu menuruti keinginannya.
    Rasulullah SAW juga bersabda, “Dunia itu diperuntukkan bagi pecintanya. Siapa yang mengambil dunia lebih dari batas kecukupannya, maka tanpa terasa dia telah merenggut ajal kematiannya.” (HR Al-Bazzar).
    Sekarang kita sedang merasakan ‘ajal kematian’ akibat sikap konsumtif dan boros pada listrik dan BBM. Sikap seperti itu biasanya dilatari oleh keinginan terlihat mewah yang sering kali membuat seseorang lupa diri. Sebagian kita bahkan tak segan meraih keinginan itu dengan cara yang tidak dibenarkan. Godaan untuk sikap hidup seperti itu tak ada habisnya.
    Allah SWT berfirman, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu! Kelak kalian akan mengetahui akibat perbuatan kalian itu. Janganlah begitu! Kelak kalian akan mengetahuinya.” (QS 102: 1-4).
    Kita tidak hanya hidup untuk hari ini. Semua yang kita miliki jangan dihabiskan sesuka hati. Kita masih mempunyai anak-cucu yang juga ingin mewarisi apa yang sudah kita raih. Sederhana itu pilihan untuk menjalani hidup yang terfokus pada hal yang benar-benar berarti dan membebaskan diri dari segala belenggu. Ini yang membedakannya dari miskin.
    ***

    Cinta Sejati Kepada Allah 

    Usai peperangan, tatkala Rasulullah Saw. Beristirahat tertidur di bawah sebuah pohon rindang, sementara pedangnya disangkutkan di sebatang pohon tersebut, tiba-tiba menghampirlah seorang musuh! Dan tatkala sang musuh menyadari bahwa Nabi sedang lengah terlelap ketiduran, diambilnya pedang Nabi serta Nabi pun dibangunkannya secara serentak! Sambil mengacungkan pedang, menggertaklah si musyrikin yang merasa posisinya di atas angin: ” Siapakah gerangan kini yang mampu merintangiku memotong lehermu, ya Muhammad?
    Di tempat yang cukup sunyi yang terpencil dari lasykarnya; menghadapi gertakan semacam itu, lantas Nabi menjawab dengan hati tenang dan lantang: “Allah! Ucapan Allah tersebut benar-benar melontar dari hati nurani yang bersih penuh keyakinan dan kecintaan sejati terhadap Dzat Yang Maha Transenden. Bervibrasi dari getar lidahnya yang fasih, lantas beresonansi di segenap ufuk, disegenap tafril, di segenap bukit berbatuan yang menjulang gersang, di segenap helai-helai daun, bahkan di segenap kalbu makhluk, termasuk kalbu sang musuh yang tengah mengacungkan pedang kepada Nabi. Dengan usapan “Allah” ke lubuk jiwa yang paling dalam, telah berhasil melepaskan pedang mengancam dari jari-jemari musyrikin yang tiba-tiba gemetar kehilangan daya.
    Maka, dihadapan musuh yang tengah dalam keadaan mati-kutu itu, dengan tenang Nabi memungut pedangnya sendiri, seraya balik mengacungkannya sambil bertanya dengan penuh wibawa: “Kini siapakah gerangan yang mampu merintangiku andai ku penggal batang lehermu di tempat ini?” Tentu saja sang musuh yang masih kafir tersebut cuma bisa menjawab: ” Ti-ti tidak seorangpun jua pun!” Jawaban kosong penuh kegugupan dari seorang yang tidak memiliki pelindung Dzat Yang Maha Transeden, yaitu Allah `Azza wajalla! Sebaliknya Nabi yang maksum, begitu mudah memaafkan manusia yang pernah berniat membunuh dirinya, merendahkan dirinya, mengkhianati dirinya, semata-mata karena mengikuti jejak Gusti-nya, ialah Gusti Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengampun!.
    ***
    Disadur dari: Buku Sang Kreator Agung
      
  • Khusyuknya Para Sahabat Nabi dan Pura-puranya Kita 

    Rasulullah usai dari pertempuran melawan salah satu kabilah yang menentang daulah Islamiyah yang tengah berdiri di Madinah. Pertempuran itu dimenangkan oleh kaum muslimin dengan menghalau mereka ke kampong halamannya.
    Salah seorang dari kabilah itu pulang ke kampung halamannya dan tidak mendapati istrinya di sana. Ia mengira bahwa istrinya ditawan oleh kaum muslimin. Ia bersumpah untuk tidak kembali ke rumah hingga istrinya kembali. Akhirnya ia mengintip pasukan kaum muslimin.
    Rasulullah memerintahkan pasukan berhenti ketika malam menjelang untuk menginap hingga pagi. Beliau meminta kepada para sahabat untuk bertugas hirosah (ronda). Amar bin Yasir dan Ubad bin Bisyr sanggup memikul tugas itu.
    Ketika mereka keluar dari mulut gang, si anshor berkata kepada si muhajir, yakni Ubad kepada Amar. “Malam yang mana yang kamu sukai, awal atau akhirnya?” “Biarkan untukku awalnya.”
    Maka si muhajir, Amar, mulai membaringkan tubuhnya lantas tidur. Sedang Anshar, Ubad, beranjak mengerjakan sholat.
    Kemudian datanglah orang itu. Ketika melihat sesosok manusia, ia yakin bahwa orang itu (Ubad) adalah penjaga kaum muslimin, maka ia bidikkan anak panah ke arahnya,ia lepaskan dan mengenainya, namun sahabat itu tetap dalam keadaan berdiri.
    Kemudian dilepaskan anak panah yang lainnya dan mengenainya, kemudian disusul dengan yang ketiga juga mengenainya hingga sahabat itu meneruskan rukuk dan sujudnya. Setelah itu ia membangunkan sahabatnya dari tidur.
    Amar berkata, “Duduklah dengan tenang, aku telah bangun”
    Orang itu melompat demi dilihatnya kedua sahabat itu hendak membalasnya, lalu kaburlah ia.
    Ketika dilihatnya tubuh sahabat Anshar mencucurkan darah, Amar berkata, “Subhanallah, mengapa kau tidak membangunkan aku saat pertama ia memanahmu?”
    “Saat itu aku sedang serius membaca satu surat, aku tidak ingin memutuskannya hingga tuntas. Maka panah demi panah mengenaiku, akupun rukuk lantas membangunkanmu. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir aku mengabaikan amanah (tugas) yang Rasulullah perintahkan aku untuk menjaganya, aku biarkan ia membunuhku hingga aku selesaikan bacaanku atau merealisasikan surat itu.”
    Demikianlah kekhusyukkan mereka, bahkan sebagian meriwayatkan bahwa kakinya sampai terputus dalam keadaan sholat tanpa ia rasakan. Kehebatan macam apa ini? Kekhusyukkan macam apa jika diantara mereka merasakan istirahatnya dalam sholat?
    Oleh sebab itu jika Rasulullah dikerumuni banyak problema atau malapetaka, beliau memanggil Bilal, agar Bilal segera adzan.
    “Istirahatkan kita dengan sholat, hai Bilal”
    Beliau menganggapnya sebagai refreshing atas segala beban yang dirasakannya dari pendustaan kaumnya dan perbuatan mereka dari jalan allah serta rongrongan dari para pembesar Quraisy.
    Adapun kita, tubuh-tubuh kita berdiri di masjid namun pikiran dan perasaan kita melanglang buana ke luar masjid, baik seluk beluk urusan bisnis, nasib dan keadaan anak-anak di rumah serta binatang piaraan kita, dan rencana-rencana masa depan.
    Melambung pula kecantikkan istri dan tunangan. Pikiran kita dikerumuni oleh problematika rumah tangga, anak-anak dan tetangga,urusan sawah, mobil dan semua yang berkaitan dengan jual beli, service, karier, kenaikan pangkat persaingan hingga semua pengembaraan jauh keluar masjid.
    Sampai akhirnya kita mendengar ucapan imam “Assalamu’alaykum”, dan kita terkejut. Seakan seseorang membangunkan kita dari dengkur yang pulas, agar kembali menyadari bahwa kita sedang berada di masjid, diantara jamaah sholat.
    Barangkali ini adalah salah satu sebab yang kita saksikan, bahwa diantara manusia yang dalam senantiasa menjaga sholatnya, mereka tetap melaksanakan banyak kemaksiatan dan kedholiman. Membuat mereka tidak khusyuk dalam sholat. Tidak menyadari bahwa Allah ada di depan mereka, tidak mentadaburi apa yang mereka baca.
    Sholatnya tidak dapat mencegah kemungkaran, seperti firman Allah: “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al Ankabut 45)
    Ayat ini tidak diragukan lagi kebenarannya jika kita realisasikan kekhusukkan dan kita tinggalkan kepura-puraan.
    ***
    Dikutip dari buku: Rambu-Rambu Tarbiyah
    Penulis: Abdul Hamid Jazim Al Bilaly
  • Anugrah Terindah dari Sebuah Kesabaran 

    parentseramuslim – Pagi ini kubaca email pertama dengan penuh gembira dan haru sekaligus. Subhanallah! Allahu Akbar! Janji Allah itu memang nyata bagi orang-orang yang senantiasa sabar dan bertakwa. Email itu berjudul: The twins are coming !!!! Sebuah berita kelahiran, yang mungkin akan jadi biasa-biasa saja bila itu tidak ditunggu setelah 13 tahun menanti datangnya sang buah hati tercinta.
    Secara pribadi saya tidak cukup kenal dengan Ustadz Joban, Imam Masjid Olympia, Seattle, USA, ayahanda dua bayi kembar seorang calon mujahid dan mujahidah. Meski untuk beberapa kesempatan yang lalu sehubungan dengan amanahku di koordinator Imsa-sister beberapa kali sempat bersilaturahmi kepada beliau.
    Seorang ustad asal Indonesia yang dikenal di Amerika dan Canada sini sebagai salah seorang ustadz yang sepak terjang aktivitasnya salah satunya sebagai pembimbing kerohanian di penjara-penjara US Negara bagian Washington.
    Namun cerita beliau yang belum dikaruniai buah hati setelah 13 tahun pernikahannya, cukup sering kudengar dari teman-teman disini. Sehingga nampak begitu menakjubkan bagiku karunia yang Ustadz Joban dan istri terima dari Allah, setelah sekian lama masa penantian. Pada akhirnya Allah memberikan anugrahnya kepada hambanya yang sholeh dan sholihat itu dengan kedatangan sang twins,putra dan putri, setelah 13 tahun pernikahan.
    Subhanallah. Allah tidak hanya memberikan satu, tetapi dua, dan sepasang pula, sempurna!
    Begitulah bila Allah berkehendak, sebuah kesabaran dan ketakwaan dari hamba-hambaNya itu berbuah balasan Allah dengan sebuah balasan yang sungguh tak terhingga, pun ketika masih di dunia.
    Apalah lagi nanti di akherat, janji Allah itu pasti akan terbalas dengan yang lebih berlipat-lipat juga kepada para hambaNya yang juga senantiasa teguh dalam kesabaran dan ketakwaannya..
    Membaca dan kemudian merenungi anugrah itu ,tiba-tiba seperti terbayang di depanku gambaran “cerita” Allah tentang Nabiyullah Zakariya dalam Kitabullah Al-Qur’an. Yang Allah uji dengan ketidak adaan buah hati hingga masa udzurnya, dan istrinya yang dinyatakan mandul. Namun berkat kegigihan beliau bermunajat kepada Allah dengan penuh roja’ (harap) dan khouf (takut),dan senantiasa menyegerakan perbuatan baik, Allah menganugrahi pula buah hati yang tiada dinyana-nyana akan kehadirannya, Nabiyullah Yahya.
    Sebuah pelajaran yang berharga tentunya buat para saudara-saudariku yang telah lama mendambakan kehadiran buah hati, bahwa tiada pernah ada kata menyerah! Kalaulah Allah berkehendak, semuanya mungkin terjadi. Allah Maha Mengetahui kesiapan hamba-hambaNya. Tetaplah berbaik sangka kepada Allah, bahwa apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi.
    Teruslah bermunajat dalam roja’ (harap) dan khouf (takut) kepada Allah sebagaimana Nabiyullah Zakariya, insya Allah buah hati yang didamba akan melengkapi kebahagiaan keluarga.
    Dan senantiasalah bersabar dalam ketakwaan, usaha diiringi do’a. Sang Robbul Izzati insya Allah akan menerima.
    *teruntuk sahabat-sahabatku yang sedang menantikan kehadiran buah hati: Don’t ever give up!
    ***
    Sumber: Email dari Sahabat

  • Walisongo: Sunan Muria 

    Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
    Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
    Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
    Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
    ***
    Sumber : Pesantren 
  • Walisongo: Sunan Gunung Jati 

    Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
    Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
    Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
    Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
    Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
    Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
    Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
    ***
    Sumber : Pesantren
     
    • nama kakekku : Tjakraharja dr Cirebon. aq belum paham apakah ada hubungannya dengan Sunan Gunung Jati atau Pangeran Tjakrabuana.
      menurut sumber dari kakakku, dosen Gunadarma (salah satu pangeran Kesultanan Cirebon), saudara dan beberapa hikayat, memang ada hubungannya.
      tapi aq belum jelas, belum ada waktu meneliti silsilah :(
      Semoga Cirebon menjadi Propinsi sendiri yg menjadi gerbang lalulintas Pulau Jawa, amien…
  • Walisongo Sunan Kalijaga 

    Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
    Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
    Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
    Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
    Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
    Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
    Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
    Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu sebelah selatan Kabupaten Demak.
    ***
    Sumber : Pesantren
     

    Walisongo Sunan Bonang 

    Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
    Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
    Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
    Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
    Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
    Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
    Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
    Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
    Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
    ***
    Sumber : Pesantren
  • Walisongo: Sunan Giri 

    Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
    Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
    Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
    Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
    Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
    Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
    Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
    Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
    ***
    Sumber : Pesantren
     

  • Walisongo: Sunan Ampel 

    Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
    Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
    Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
    Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
    Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
    Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
    ***
    Sumber: Pesantren
     
  • Walisongo: Maulana Malik Ibrahim 

    “Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
    Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
    Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
    Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah creator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
    Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
    Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
    Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
    **
    Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419)
    Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
    Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
    Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
    Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
    Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
    Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
    ***
    Sumber : Pesantren

  • Riwayat Hidup Imam An-Nawawi 

    quran34Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam bukunya Tadzkiratul Huffadz (juz.4, hal. 1472) dan Ibnu Qadhi Syuhbah dalam Thabaqotus Syafi’iyyah (juz. 2, hal. 194) di dalam bab biografi Imam Nawawi berkata :
    Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidz Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarf bin Muri bin Al-Hizami Al-Haurani As-Syafi’i, penulis banyak kitab, lahir pada bulan Muharram 631 H di kota Nawa (oleh sebab itu beliau dikenal dengan An-Nawawi). Beliau menginjakkan kakinya di kota Baghdad pada tahun 649 H dan tinggal di sekolah Ar-Ruhiyyah. Setiap harinya beliau hanya makan sedikit roti yang dibagikan di sekolah tersebut.
    Beliau pernah berkata, “Kurang lebih dua tahun saya tinggal di sekolah Ar-Ruhiyyah dan selama itu pula saya tidak pernah tidur berbaring.” Dalam waktu empat setengah bulan beliau berhasil menghafalkan kitab At-Tanbih dan dalam waktu tujuh setengah bulan beliau berhasil menghafalkan kitab seperempat kitab Al-Muhadzdzab. Beliau sempat mengoreksi hafalan beliau tersebut di depan gurunya As-Syeikh Kamal Ishaq bin Ahmad.
    Salah seorang murid beliau As-Syeikh Abu Hasan bin Al-Atthar pernah mendengar dari beliau bahwa beliau Imam Nawawi setiap harinya membaca 12 materi pelajaran dengan men-syarah dan men-tashih di hadapan guru-gurunya yaitu 2 materi dari kitab Al-Wasith (Figih), 1 materi dari kitab Al-Muhadzdzab (Figih), 1 materi dari kitab Al-Jam’u baina Sahihain (Metodologi Hadits), 1 materi dari kitab Shahih Muslim (Hadits), 1 materi dari kitab Al-Luma’ karya Ibnu Jinni (Nahwu), 1 materi tentang Ishlahul Mantiq (Etimologi), 1 materi di bidang Shorof, 1 materi di bidang Ushul Figih (terkadang membaca kitab Al-Luma’ karya Abu Ishaq atau terkadang membaca kitab Al-Muntakhab karya Fakhruddin Ar-Razy), 1 materi di bidang Asma’ul Rijal (kitab yang menerangkan tentang perawi hadits), 1 materi di bidang Teologi, dan 1 materi lagi di bidang Nahwu.
    Kemudian beliau Imam Nawawi menambahkan, “Semua buku yang saya baca tadi, saya komentari, terkadang men-syarah kalimat-kalimat yang sulit, menjelaskan beberapa makna, atau mengkoreksi susunan bahasanya. Semoga Alloh selalu memberkahi waktuku.”
    Abu Al-Atthar menyebutkan gurunya Imam Nawawi pernah bercerita kepadanya bahwa beliau tidak pernah mensia-siakan waktunya sekejap pun. Waktu beliau selalu habis untuk menuntut ilmu, bahkan di jalan pun beliau selalu membaca dan hal itu berlangsung selama 6 tahun.
    Beliau juga mengarang, mengajar dan memberikan nasehat-nasehat dalam hal kebaikan. Sehari semalam beliau hanya makan sekali pada akhir Isya’ (menjelang waktu sahur), begitu juga dengan minum.
    Beliau selalu sibuk mengarang, menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, berpuasa dan sabar akan kehidupannya yang serba pas-pasan, baik dalam hal sandang maupun pangan. Pakaian beliau pun terbuat dari kulit.
    Beliau berpulang ke rahmatullah pada tahun 676 H pada usia yang relatif muda 45 tahun. Sampai akhir hayatnya, beliau meninggalkan banyak karangan besar. Betapa berkahnya umur beliau.
    ***
    [Disarikan dari Nilai Waktu Menurut Ulama, Abdul Fattah Abu Ghuddah, cetakan I, 1996, penerbit Pustaka Amani, Jakarta]
     
    • farisi h


  • Kisah Abu Hurairah R.A. Mengawal Gudang Zakat 

    al-quran-yang-muliaDikatakan pada satu ketika Abu Hurairah r.a. telah diamanahkan oleh Rasulullah S.A.W. untuk menjaga gudang hasil zakat. Pada suatu malam Abu Hurairah r.a. melihat seseorang mengendap-gendap hendak mencuri, lalu ditangkapnya.
    Orang itu pun hendak dibawanya bertemu Rasulullah S.A.W. tetapi pencuri itu merayu minta dikasihani seraya menyatakan bahwa dia mencuri untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan.
    Abu Hurairah r.a. merasa kasihan lalu melepaskan pencuri itu dengan berpesan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
    Keesokkan harinya perkara tersebut dilaporkan kepada Rasulullah S.A.W. Rasulullah S.A.W. tersenyum lalu bersabda bahwa pencuri itu pasti akan kembali.
    Ternyata keesokkan malamnya pencuri itu datang lagi. Sekali lagi Abu Hurairah r.a. menangkap pencuri itu lalu hendak dibawanya bertemu dengan Rasulullah S.A.W. Sekali lagi, pencuri itu merayu sehinggakan Abu Hurairah r.a. merasa kasihan lalu melepaskannya sekali lagi. Keesokkan harinya, dia melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah S.A.W. yang mengulangi sabdanya bahwa pencuri itu pasti akan kembali.
    Malam berikutnya pencuri itu ditangkap sekali lagi oleh Abu Hurairah r.a. dan mengancam akan membawanya bertemu Rasulullah S.A.W. Pencuri itu merayu meminta dibebaskan sekali lagi. Tetapi Abu Hurairah r.a. enggan melepaskannya, pencuri itu menyatakan dia akan mengajar sesuatu yang baik sekiranya ia di bebaskan. Pencuri itu menyatakan bahwa sekiranya seseorang itu membaca ayat Kursi sebelum tidur shaitan tidak akan menggangguinya.
    Abu Hurairah r.a. merasa tersentuh mendengarkan ajaran pencuri itu lalu melepaskannya pergi. Keesokkan harinya dia melaporkan peristiwa tersebut kepada Rasulullah S.A.W. yang bersabda, pencuri yang ditemuinya itu adalah pembohong besar, tetapi apa yang diajarkan kepada Abu Hurairah r.a. itu adalah perkara yang benar. Sebenarnya pencuri itu adalah shaitan yang dilaknat.
    Walaupun Abu Hurairah r.a. merupakan seorang yang papa pada mulanya, dia telah dipinang oleh salah seorang majikannya yang kaya raya untuk putrinya, Bisrah binti Gazwan. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengubah pandangan seseorang dari membedakan kelas kepada menyanjung keimanan. Abu Hurairah r.a. dipandang mulia karena kealiman dan kesalihannya. Perilaku islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.
    Sejak menikah, Abu Hurairah r.a. membagi malamnya kepada tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Dia dan keluarganya tetap hidup sederhana walaupun setelah menjadi orang berada .
    Abu Hurairah r.a. suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberi sedekah rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.
    Rasulullah S.A.W. pernah mengutuskan Abu Hurairah r.a. berdakwah ke Bahrain bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami r.a. Dia juga pernah diutus bersama Quddamah r.a. untuk mengutip jizyah di Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.
    Mungkin disebabkan oleh itu, Abu Hurairah r.a. diangkat menjadi gubernur Bahrain ketika Umar r.a. menjadi Amirul Mukminin. Tapi pada 23 Hijrah, Umar r.a. memecatnya karena Abu Hurairah r.a. dituduh menyimpan wang yang banyak sehingga 10,000 dinar. Ketika pembicaraan, Abu Hurairah r.a. berhasil membuktikan bahwa harta itu diperolehinya dari berternak kuda dan pemberian orang. Khalifah Umar r.a. menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu dia diminta menerima jabatan gubernur kembali, tapi Abu Hurairah r.a. menolak.
    Penolakan itu diiringi lima alasan. “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (agama); aku tidak mau didebat; aku tak mau harta benda hasil pencarianku disita; dan aku takut nama baikku tercemar,” katanya. Dia memilih untuk tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.
    Khalifah Umar ibn Khattab r.a. pula pernah melarang Abu Hurairah r.a. menyampaikan hadis dan hanya membolehkan menyampaikan ayat Al-Quran. Ini disebabkan tersebar khabar angin bahwa Abu Hurairah r.a. banyak memetik hadis palsu. Larangan khalifah baru dibatalkan setelah Abu Hurairah r.a. mengutarakan hadis mengenai bahaya hadis palsu.
    Hadis itu bermakna,
    “Barangsiapa yang berdusta padaku (Nabi S.A.W.) secara sengaja, hendaklah mempersiapkan diri duduk dalam api neraka.”
    Hadis ini diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad ibn Hanbal.
    **
    Suatu ketika kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan r.a. dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (fitnah/bencana besar), Abu Hurairah r.a. bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam keadaan siap untuk bertempur, Khalifah Ustman ibn Affan r.a. melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak.
    Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. , Abu Hurairah r.a. menolak tawaran menjadi gubernur Madinah. Ketika terjadi pertemuan antara Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia bersikap berkecuali dan menghindari fitnah. Setelah Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah r.a. dilantik menjadi gubernur Madinah setelah diusulkan oleh Marwan ibn Hakam. Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini pula ia mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun. Abu Hurairah r.a. meninggalkan sebanyak 5,374 hadis.
    Hadis Abu Hurairah r.a. yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 hadis, oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadis, dan oleh Muslim sendiri 189 hadis. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. juga terdapat dalam kitab-kitab hadis lainnya.
    Terdapat pula golongan yang mempertikaikan tentang kesahihan hadis-hadis yang di sampaikan oleh Abu Hurairah r.a. seperti dari golongan orientalis barat, Ignaz Goldizihar yang telah membuat kritikan terhadap hadis dan para perawinya termasuk Abu Hurairah. Tuduhan beliau telah mempengaruhi beberapa penulis Islam seperti Ahmad Amin dan Mahmud Abu Rayyuh untuk mengkritik kedudukan Abu Hurairah sebagai perawi hadis.
    Tuduhan-tuduhan ini telah disanggah oleh Mustafa al Sibai dalam al Sunnah wa Makanatuha halaman 273-283.
    Selain daripada golongan ini terdapat juga kritikan kuat daripada golongan Syiah. Ini mungkin disebabkan Abu Hurairah r.a. merupakan penyokong Ustman ibn Affan r.a. dan juga pernah menjadi pegawai dinasti Umayah. Penolakannya menyandang jawatan gubernur ketika ditawarkan oleh Ali r.a. dan ketiadaan hadis yang berisi pujian atau pengistimewaan kepada Ali dan keluarganya mungkin merupakan sebab-sebab lain Abu Hurairah dikritik oleh kaum Syiah.
    ***
    Sumber : Al-Sofwah
     

    Riwayat Hidup Imam Malik 

    anggrek digbyanaImam Malik dilahirkan di sebuah perkampungan kecil yang bernama Ashbah, yang terletak di dekat Kota Himyar jajahan Yaman. Nama aslinya ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashabally. Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir di Madinah serta mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap dunia Islam.
    Ketika Imam Malik berusia 54 tahun, pemerintahan berada di tangan baginda Al-Mansur yang berpusat di Bagdad. Ketika itu di Madinah dipimpin oleh seorang Gubernur bernama Jaafar bin Sulaiman Al-Hasymi. Sementara itu Imam Malik juga menjabat sebagai mufti di Madinah. Di saat timbulnya masalah penceraian atau talak, maka Imam Malik telah menyampaikan fatwanya, bahwa talak yang dipaksakan tidak sah, artinya talak suami terhadap isteri tidak jatuh. Fatwa ini sungguh berlawanan dengan kehendak Gubernur, karena ia tidak mau hadith yang disampaikan oleh Imam Malik tersebut diketahui oleh masyarakat, sehingga akhirnya Imam Malik dipanggil untuk mengadap kepada Gubernur.
    Kemudian Gubernur meminta agar fatwa tersebut dicabut kembali, dan jangan sampai orang ramai mengetahui akan hal itu. Walaupun demikian Imam Malik tidak mau mencabutnya. Fatwa tersebut tetap disiarkan kepada orang ramai. Talak yang dipaksanya tidak sah. Bahkan Imam Malik sengaja menyiarkan fatwanya itu ketika beliau mengadakan ceramah-ceramah agama, karena fatwa tersebut berdasarkan hadith Rasulullah SAW yang harus diketahui oleh umat manusia.
    Akhirnya Imam Malik ditangkap oleh pihak kerajaan, namun ia masih tetap dengan pendiriannya. Gubernur memberi peringatan keras supaya fatwa tersebut dicabut dengan segera. Kemudian Imam Malik dihukum dengan dera dan diikat dengan tali dan dinaikkan ke atas punggung unta, lalu diarak keliling Kota Madinah. Kemudian Imam Malik dipaksa supaya menarik kembali fatwanya itu.
    Mereka mengarak Imam Malik supaya Imam merasa malu dan hilang pendiriannya. Tetapi Imam Malik masih tetap dengan pendiriannya itu. Karena ketegasannya itu, dia dihukum dengan sebat sebanyak 70 kali, yang menyebabkan tulang belakangnya hampir patah. Kemudian ia berkata kepada sahabat-sahabatnya:
    “Aku dihukum dera begitu berat lantaran fatwa ku. Demikian Said Al-Musayyid, Muhamad Al-Munkadir dan Rabiah telah dijatuhi hukuman demikian lantaran fatwanya juga.”
    Bagi Imam Malik hukuman semacam itu, bukanlah mengurangi pendiriannya, bahkan semakin bertambah teguh jiwanya. Ia tidak pernah takut menerima hukuman asalkan ia berada pada jalan kebenaran. Karena memang setiap perjuangan itu memerlukan pengorbanan. Imam Al-Laits, seorang alim menjadi mufti Mesir ketika itu, saat mendengar bahwa Imam Malik dihukum lantaran fatwanya ia berkata: “Aku mengharap semoga Allah mengangkat darjat Imam Malik atas setiap pukulan yang dijatuhkan kepadanya, menjadikan satu tingkat baginya masuk ke syurga.” Insya Allah.
    ***
    Walluhu a’lam bish-shawab
    Dipetik Dari Buku : 1001 Duka Himpunan Kisah-kisah Menyayat Hati Oleh Muhammad Isa Selamat, Darul Numan  
  • Riwayat Hidup Abu Hurairoh R.A. 

    alquranAbu Hurairah r.a. dilahirkan 19 tahun sebelum Hijrah. Nama sebenar beliau sebelum memeluk ugama Islam tidaklah diketahui dengan jelas, tetapi pendapat yang mashyur adalah Abd Syams. Nama Islamnya adalah Abd al-Rahman. Beliau berasal daripada qabilah al-Dusi di Yaman.
    Abu Hurairah r.a. memeluk Islam pada tahun 7 Hijrah ketika Rasulullah S.A.W. berangkat menuju ke Khaibar. Ketika itu ibunya masih belum menerima Islam malah menghina Nabi. Abu Hurairah r.a. lalu bertemu Rasulullah S.A.W. dan meminta baginda berdoa agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah r.a. menemui ibunya kembali, mengajaknya masuk Islam. Ternyata ibunya telah berubah, bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat.
    Apabila pulang dari Perang Khaibar, Rasulullah S.A.W. memperluaskan Masjid Nabawi ke arah barat dengan menambah ruang sebanyak tiga tiang lagi. Abu Hurairah r.a. turut terlibat dalam pengubahsuaian ini. Ketika dilihatnya Rasulullah S.A.W. turut mengangkat batu, ia meminta agar beliau menyerahkan batu itu kepadanya. Rasulullah S.A.W. menolak seraya bersabda, “Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan kehidupan akhirat.”
    Abu Hurairah r.a. pernah bersalah menimbang makanan yang lezat sehinggakan dia dikenakan hukuman dipukul oleh Rasulullah S.A.W. Bagaimanapun Abu Hurairah r.a. gembira “Karena Nabi menjanjikan akan memberi syafaat kepada orang yang pernah merasa disakitinya secara sengaja atau tidak,” katanya.
    Begitu cintanya kepada Rasulullah S.A.W. sehingga siapa pun yang dicintai,ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena melihat Rasulullah S.A.W.mencium kedua cucunya itu.
    Gelaran Abu Hurairah r.a. adalah karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu masa ketika Abu Hurairah r.a. bertemu Rasullullah S.A.W. dia ditanyai apa yang ada dalam lengan bajunya. Lalu dia menunjukkan anak kucing yang ada dalam lengan bajunya lantas dia digelar Abu Hurairah r.a. oleh Rasullullah S.A.W. Semenjak itu dia lebih suka dikenali dengan gelaran Abu Hurairah r.a.
    Abu Hurairah r.a. berpindah ke Madinah untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja menjadi buruh kasar bagi siapa yang memerlukannya. Sering kali dia mengikatkan batu ke perutnya, karena menahan lapar yang amat sangat. Malah diceritakan bahwa dia pernah berbaring disamping mimbar masjid sehingga orang menyangka dia kurang waras. Lalu Rasullullah S.A.W. mendengarkan berita tersebut, baginda menemui Abu Hurairah r.a. yang menjelaskan bahwa dia berbuat sedemikian karena lapar, lalu Rasullullah S.A.W. pun segera memberinya makanan.
    Abu Hurairah r.a. adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi S.A.W. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang miskin atau sedang menuntut ilmu dan tinggal di halaman masjid. Beliau begitu rapat dengan Nabi S.A.W., sehingga baginda selalu menyuruh Abu Hurairah r.a. untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.
    Pernah pula pada suatu masa, dia duduk di pinggir jalan tempat orang biasanya berlalu lalang sambil mengikatkan batu ke perutnya. Dilihatnya Abu Bakar r.a melintas. Lalu dia minta dibacakan satu ayat Al-Quran. “Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku ikut, memberiku pekerjaan,” tutur Abu Hurairah r.a.. Tapi Abu Bakar r.a. cuma membacakan ayat, lantas berlalu.
    Dilihatnya Umar ibn Khattab r.a.. “Tolong ajari aku ayat Al-Quran,” kata Abu Hurairah r.a.. Ternyata dia kecewa sekali lagi karena Umar r.a.melakukan hal yang sama.
    Tak lama kemudian Rasullullah S.A.W. pula yang berlalu. Nabi tersenyum. “Beliau tahu apa isi hati saya. Beliau boleh membaca raut muka saya dengan tepat,” tutur Abu Hurairah r.a..
    “Ya Aba Hurairah!” panggil Nabi.
    “Labbaik, ya Rasulullah!”
    “Ikutlah aku!”
    Beliau mengajak Abu Hurairah r.a. ke rumahnya. Di dalam rumah didapati semangkok susu. “Dari mana datangnya susu ini?” tanya Rasulullah S.A.W.. Beliau diberitahu bahwa seseorang telah memberikan susu itu.
    “Ya Aba Hurairah!”
    “Labbaik, Ya Rasulullah!”
    “Tolong panggilkan ahli shuffah,” kata Rasullullah S.A.W. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah, termasuk Abu Hurairah r.a.. Sejak itulah, Abu Hurairah r.a. mengabdi kepada Rasullullah S.A.W. , bergabung dengan ahli shuffah di pondok masjid.
    Abu Hurairah r.a. berhasil meriwayatkan banyak hadis disebabkan beliau sentiasa berdamping dengan Rasulullah selama 3 tahun, selepas memeluk Islam. Ini sebagaimana yang di riwayatkan olehnya :-
    Terjemahannya :-
    … sesungguhnya saudara kami daripada golongan Muhajirin sibuk dengan urusan mereka di pasar dan orang-orang Ansar pula sibuk bekerja di ladang mereka sementara aku seorang yang miskin sentiasa bersama Rasulullah S.A.W. ‘Ala Mil’i Batni. Aku hadir di majlis yang mereka tidak hadir dan aku hafaz pada masa mereka lupa. (Al-Bukhari)
    Pada mulanya Abu Hurairah r.a. mempunyai ingatan yang lemah lalu beliau mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah lalu mendoakan agar Abu Hurairah r.a. diberkati dengan daya ingatan yang kuat lalu semenjak hari itu Abu Hurairah dikurniai dengan daya ingatan kuat yang membuat beliau meriwayatkan jumlah hadis terbanyak di kalangan para sahabat.
    ***
    Sumber : Al-Sofwah

  • Ali Bin Abi Talib 

    water_lily_sc146Khalifah keempat (terakhir) dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak; sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muttalib.
    Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali. Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi SAW, sebagaimana Nabi SAW pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW.
    Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah SAW menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah SAW, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.
    Sewaktu Nabi SAW hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah SAW dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi SAW masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Kuraisy merencanakan untuk membunuh Nabi SAW. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu Rasulullah SAW dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Kuraisy.
    Setelah mendengar Rasulullah SAW dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, yang ketika itu (2 H) berusia 15 tahun. Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
    Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman.
    Laila binti Mas’ud at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
    Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Yahya dan Muhammad.
    As-Sahba binti Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah;
    Umamah binti Abi Ass bin ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah SAW, yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad.
    Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah).
    Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah. Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
    Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkanj uga kepada putra-putrinya.
    Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama “Zul Faqar”. Ia turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
    Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi SAW, “Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya.” Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.
    Ketika Rasulullah SAW wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
    Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
    Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Usman.
    Kritik Ali terhadap Usman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.
    Usman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Usman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.
    Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.”
    Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya. Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu:
    Memecat para pejabat yang diangkat Usman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya.
    Mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.
    Pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu’awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut “Khawarij” (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah amirulmukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah Id hukma ilia bi Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.
    Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu’awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asy’ari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.
    Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu’awiyah untuk merebut Mesir.
    Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.
    Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu’awiyah, dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah selama lebih-kurang 4 tahun.
    ***
    Sumber : ukhuwah, disampaikan oleh : Retno Wahyudiaty
     
  • Utsman Bin Affan 

    Water Lily XMenjelang wafat, Umar bin Khattab berpesan. Selama tiga hari, imam masjid hendaknya diserahkan  pada Suhaib Al-Rumi. Namun pada hari keempat hendaknya telah dipilih seorang pemimpin penggantinya. Umar memberikan enam nama. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auff dan Thalhahanak Ubaidillah.
    Keenam orang itu berkumpul. Abdurrahman bin Auff memulai pembicaraan dengan mengatakan siapa dia antara mereka yang bersedia mengundurkan diri. Ia lalu menyatakan dirinya mundurdari pencalonan. Tiga orang lainnya menyusul. Tinggallah Utsman dan Ali. Abdurrahman ditunjuk menjadi penentu. Ia lalu menemui banyak orang meminta pendapat mereka. Namun pendapat masyarakat pun terbelah.
    Imar anak Yasir mengusulkan Ali. Begitu pula Mikdad. Sedangkan Abdullah anak Abu Sarah berkampanye keras buat Utsman. Abdullah dulu masuk Islam, lalu balik menjadi kafir kembali sehingga dijatuhi hukuman mati oleh Rasul. Atas jaminan Utsman hukuman tersebut tidak dilaksanakan. Abdullah dan Utsman adalah “saudara susu”.
    Konon, sebagian besar warga memang cenderung memilih Utsman. Saat itu, kehidupan ekonomi Madinah sangat baik. Perilaku masyarakat pun bergeser. Mereka mulai enggan pada tokoh yang Abdurrahman -yang juga sangat kaya– pun memutuskan Ustman sebagai khalifah. Ali sempat protes. Abdurrahman adalah ipar Ustman.
    Mereka sama-sama keluarga Umayah. Sedangkan Ali, sebagaimana Muhammad, adalah keluarga Hasyim. Sejak lama kedua keluarga itu bersaing. Namun Abdurrahman meyakinkan Ali bahwa keputusannya adalah murni dari nurani. Ali kemudian menerima keputusan itu.
    Maka jadilah Ustman khalifah tertua. Pada saat diangkat, ia telah berusia 70 tahun. Ia lahir di Thalif pada 576 Masehi atau enam tahun lebih muda ketimbang Muhammad. Atas ajakanAbu Bakar, Ustman masuk Islam. Rasulullah sangat menyayangi Ustman sehingga ia dinikahkan dengan Ruqaya, putri Muhammad. Setelah Ruqayah meninggal, Muhammad menikahkan kembali Ustmandengan putri lainnya, Ummu Khulthum.
    Masyarakat mengenal Ustman sebagai dermawan. Dalam ekspedisi Tabuk yang dipimpin oleh Rasul, Ustman menyerahkan 950 ekor unta, 50 kuda dan uang tunai 1000 dinar. Artinya, sepertiga dari biaya ekspedisi itu ia tanggung seorang diri. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Ustman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering itu.
    Di masanya, kekuatan Islam melebarkan ekspansi. Untuk pertama kalinya, Islam mempunyai armadalaut yang tangguh. Muawiyah bin Abu Sofyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan ibanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakainya untuk mengembangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopel pun sempat dikepung.
    Namun, Ustman mempunyai kekurangan yang serius. Ia terlalu banyak mengangkat keluarganya menjadi pejabat pemerintah. Posisi-posisi penting diserahkannya pada keluarga Umayah. Yangpaling kontroversial adalah pengangkatan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara. Banyak yang curiga, Marwan-lah yang sebenarnya memegang kendali kekuasaan di masa Ustman.
    Di masa itu, posisi Muawiyah anak Abu Sofyan mulai menjulang menyingkirkan nama besar seperti Khalid bin Walid. Amr bin Ash yang sukses menjadi Gubernur Mesir, diberhentikan diganti dengan Abdullah bin Abu Sarah -keluarga yang paling aktif berkampanye untuk Ustman dulu. Usman minta bantuan Amr kembali begitu Abdullah menghadapi kesulitan. Setelah itu, ia mencopot lagi Amr dan memberikan kembali kursi pada Abdullah.
    Sebagai Gubernur Irak, Azerbaijan dan Armenia, Ustman mengangkat saudaranya seibu, Walid bin Ukbah menggantikan tokoh besar Saad bin Abi Waqas. Namun Walid tak mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Ketidakpuasan menjalar ke seluruh masyarakat. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Abdullah bin Sabak. Dulu ia seorang Yahudi, dan kini menjadi seorang muslim yang santun dan saleh. Ia memperoleh simpati dari banyak orang.
    Abdullah berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi pengganti Muhammd adalah Ali. Ia juga menyebut bakal adanya Imam Mahdi yang akan muncul menyelamatkan umat di masa mendatang -sebuah konsep mirip kebangkitan Nabi Isa yang dianut orang-orang Nasrani. Segera konsep itu diterima masyarakat di wilayah bekas kekuasaan Persia, di Iran dan Irak. Pengaruh Abdullah bin Sabak meluas. Ustman gagal mengatasi masalah ini secara bijak. Abdullah bin Sabak diusir ke Mesir. Abu Dzar Al-Ghiffari, tokoh yang sangat saleh dan dekat dengan Abdullah, diasingkan di luar kota Madinah sampai meninggal.
    Beberapa tokoh mendesak Ustman untuk mundur. Namun Ustman menolak. Ali mengingatkan Ustman untuk kembali ke garis Abu Bakar dan Umar. Ustman merasa tidak ada yang kelirudalam langkahnya. Malah Marwan berdiri dan berseru siap mempertahankan kekhalifahan itu dengan pedang. Situasai tambah panas. Pada bulan Zulkaedah 35 Hijriah atau 656 Masehi, 500 pasukan dari Mesir, 500 pasukan dari Basrah dan 500 pasukan dari Kufah bergerak. Mereka berdalih hendak menunaikan ibadah haji, namun ternyata mengepung Madinah.
    Ketiganya bersatu mendesak Ustman yang ketika itu telah berusia 82 tahun untuk mundur.Dari Mesir mencalonkan Ali, dari Basrah mendukung Thalhah dan dari Kufah memilih Zubairuntuk menjadi khalifah pengganti. Ketiganya menolak, dan malah melindungi Ustman dan membujuk para prajurit tersebut untuk pulang. Namun mereka menolak dan malah mengepung Madinah selama 40 hari. Suatu malam mereka malah masuk untuk menguasai Madinah. Ustman yang berkhutbah mengecam tindakan mereka, dilempari hingga pingsan.
    Ustman membujuk Ali agar meyakinkan para pemberontak. Ali melakukannya asal Ustman tak lagi menuruti kata-kata Marwan. Ustman bersedia. Atas saran Ali, para pemberontak itu pulang. Namun tiba-tiba Ustman, atas saran Marwan, menjabut janjinya itu. Massa marah.Pemberontak balik ke Madinah. M Muhammad anak Abu Bakar siap mengayunkan pedang. Namun tak jadimelakukannya setelah ditegur Ustman.
    Al Ghafiki menghantamkan besi ke kepala Ustman, sebelum Sudan anak Hamran menusukkan pedang. Pada tanggal 8 Zulhijah 35 Hijriah, Ustman menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk Quran yang dibacanya. Sejak itu, kekuasaan Islam semakin sering diwarnai oleh tetesan darah.
    Ustman juga membuat langkah penting bagi umat. Ia memperlebar bangunan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Haram di Mekah. Ia juga menyelesaikan pengumpulan naskah Quran yang telah dirintis oleh kedua pendahulunya. Ia menunjuk empat pencatat Quran, Zaid bin Tsabit,Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk memimpin sekelompok juru tulis. Kertas didatangkan dari Mesir dan Syria. Tujuh Quran ditulisnya, Masing-masing dikirim ke Mekah, Damaskus, San’a, Bahrain, Basrah, Kufah dan Madinah.
    Di masa Ustman, ekspedisi damai ke Tiongkok dilakukan. Saad bin Abi Waqqas bertemu dengan Kaisar Chiu Tang Su dan sempat bermukim di Kanton.
    ***
    Sumber : ukhuwah

  • Umar Bin Khaththab 

    pink_water_lily_flowerPada hari-hari terakhir hidupnya, Khalifah Abu Bakar sibuk bertanya pada banyak orang.”Bagaimana pendapatmu tentang Umar?” Hampir semua orang menyebut Umar adalah seorang yang keras, namun jiwanya sangat baik. Setelah itu, Abu Bakar minta Usman bin Affan untuk menuliskan wasiat bahwa penggantinya kelak adalah Umar.
    Tampaknya Abu Bakar khawatir jika umat Islam akan berselisih pendapat bila ia tak menuliskan wasiat itu.
    Pada tahun 13 Hijriah atau 634 Masehi, Abu Bakar wafat dan Umar menjadi khalifah. Jika orang-orang menyebut Abu Bakar sebagai “Khalifatur- Rasul”, kini mereka memanggil Umar “Amirul Mukminin” (Pemimpin orang mukmin). Umar masuk Islam sekitar tahun 6 Hijriah. Saat itu, ia berniat membunuh Muhammad namun tersentuh hati ketika mendengar adiknya,Fatimah, melantunkan ayat Quran.
    Selama di Madinah, Umarlah –bersama Hamzah-yang paling ditakuti orang-orang Quraisy.Keduanya selalu siap berkelahi jika Rasul dihina. Saat hijrah, ia juga satu-satunya sahabat Rasul yang pergi secara terang-terangan. Ia menantang siapapun agar menyusulnya bila ingin “ibunya meratapi, istrinya jadi janda, dan anaknya menangis kehilangan.”
    Kini ia harus tampil menjadi pemimpin semua. Saat itu, pasukan Islam tengah bertempur sengit di Yarmuk -wilayah perbatasan dengan Syria. Umar tidak memberitakan kepada pasukannya bahwa Abu Bakar telah wafat dan ia yang sekarang menjadi khalifah. Ia tidak ingin mengganggu konsentrasi pasukan yang tengah melawan kerajaan Romawi itu.
    Di Yarmuk, keputusan Abu Bakar untuk mengambil markas di tempat itu dan kecerdikan serta keberanian Khalid bin Walid membawa hasil. Muslim bermarkas di bukit-bukit yang menjadi benteng alam, sedangkan Romawi terpaksa menempati lembah di hadapannya. Puluhan ribu pasukanRomawi -baik yang pasukan Arab Syria maupun yang didatangkan dari Yunani-tewas. Lalu terjadilah pertistiwa mengesankan itu.
    Panglima Romawi, Gregorius Theodore -orang-orang Arab menyebutnya “Jirri Tudur”– ingin menghindari jatuhnya banyak korban. Ia menantang Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena sabetan pedang Khalid. Ia ganti mengambil pedang besar. Ketika berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang motivasinya berperang serta tentang Islam.
    Mendengar jawaban Khalid, di hadapan ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius menyatakan diri masuk Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat, lalu bertempur di samping Khalid. Gregorius syahid di tangan bekas pasukannya sendiri. Namun pasukan Islam mencatat kemenangan besar di Yarmuk, meskipun sejumlah sahabat meninggal di sana. Di antaranya adalah Juwariah, putri Abu Sofyan.
    Umar kemudian memecat Khalid, dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai Panglima Besar pengganti. Umar khawatir, umat Islam akan sangat mendewakan Khalid. Hal demikian bertentangan prinsip Islam. Khalid ikhlas menerima keputusan itu. “saya berjihad bukan karena Umar,” katanya. Ia terus membantu Abu Ubaidah di medan tempur. Kota Damaskus berhasil dikuasai. Dengan menggunakan “tangga manusia”, pasukan Khalid berhasil menembus benteng Aleppo. Kaisar Heraklius dengan sedih terpaksa mundur ke Konstantinopel, meninggalkan seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.
    Penguasa Yerusalem juga menyerah. Namun mereka hanya akan menyerahkan kota itu pada pemimpin tertinggi Islam. Maka Umar pun berangkat ke Yerusalem. Ia menolak dikawal pasukan. Jadilah pemandangan ganjil itu. Pemuka Yerusalem menyambut dengan upacara kebesaran. Pasukan Islam juga tampil mentereng. Setelah menaklukkan Syria, mereka kini hidup makmur.Lalu Umar dengan bajunya yang sangat sederhana datang menunggang unta merah. Ia hanya disertai seorang pembantu. Mereka membawa sendiri kantung makanan serta air.
    Kesederhanaan Umar itu mengundang simpati orang-orang non Muslim. Apalagi kaum GerejaSyria dan Gereja Kopti-Mesir memang mengharap kedatangan Islam. Semasa kekuasaan Romawi mereka tertindas, karena yang diakui kerajaan hanya Gereja Yunani. Maka, Islam segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandaria hingga Tripoli, di bawah komandoAmr bin Ash dan Zubair, menantu Abu Bakar.
    Ke wilayah Timur, pasukan Saad bin Abu Waqas juga merebut Ctesiphon –pusat kerajaan Persia,pada 637 Masehi. Tiga putri raja dibawa ke Madinah, dan dinikahkan dengan Muhammad anak Abu Bakar, Abdullah anak Umar, serta Hussein anak Ali. Hussein dan istrinya itu melahirkan Zainal Ali Abidin -Imam besar Syiah.
    Dengan demikian, Zainal mewarisi darah Nabi Muhammad, Ismail dan Ibrahim dari ayah, serta darah raja-raja Persia dari ibu. Itu yang menjelaskan mengapa warga Iran menganut aliran Syi’ah. Dari Persia, Islam kemudian menyebar ke wilayah Asia Tengah, mulai Turkmenistan, Azerbaijan bahkan ke timur ke wilayah Afghanistan sekarang.
    Umar wafat pada tahun 23 Hijriah atau 644 Masehi. Saat salat subuh, seorang asal Parsi Firuz menikamnya dan mengamuk di masjid dengan pisau beracun. Enam orang lainnya tewas, sebelum Firus sendiri juga tewas. Banyak dugaan mengenai alasan pembunuhan tersebut. Yang pasti,ini adalah pembunuhan pertama seorang muslim oleh muslim lainnya.
    Umar bukan saja seorang yang sederhana, tapi juga seorang yang berani berijtihad. Yakni melakukan hal-hal yang tak dilakukan Rasul. Untuk pemerintah, ia membentuk departemen-departemen.Ia tidak lagi membagikan harta pampas an perang buat pasukannya, melainkan menetapkan gaji buat mereka. Umar memulai penanggalan Hijriah, dan melanjutkan pengumpulan catatan ayat Quran yang dirintis Abu Bakar.
    Ia juga memerintahkan salat tarawih berjamaah.
    Menurut riwayat, suatu waktu Ali terpesona melihat lampu-lampu masjid menyala pada malam hari di bulan Ramadhan. “Ya Allah, sinarilah makam Umar sebagaimana masjid-masjid kami terang benderang karenanya,” kata Ali.
    ***
    Sumber : Ukhuwah

  • Khalifah Umar dan Keadilan 

    water_lily aSuatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam masjid , sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.
    “Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal.”
    Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; “Ya Amiirul Mu’minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan.”
    “Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku,” ujar Umar.
    “Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh ‘Amr bin ‘Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama.”
    “Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?” tanya khalifah Umar ragu-ragu.
    “Ya Amiirul Mu’minin, benar adanya.”
    “Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada ‘Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali.”
    “Baik ya Amiirul Mu’minin. Akan saya laksanakan semua itu,” jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir ‘Amr bin ‘Ash.
    Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya. “Ya ‘Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum.”
    “Apakah kamu akan menuntut gubernur?” tanya salah seorang yang hadir.
    “Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia,” jawab lelaki itu tegas.
    “Tetapi, dia kan gubernur kita?”
    “Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu’minin, saya juga akan menuntutnya.”
    “Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri.”
    Maka banyaklah yang berdiri.
    “Apakah kamu akan memukul gubernur?” tanya mereka.
    “Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali.”
    “Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu.”
    “Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu,” jawabnya .
    “Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya,” bujuk mereka.
    “Saya tidak suka pengganti.”
    “Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun.”
    “Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum,” ujarnya seraya meninggalkan tempat.
    ‘Amr bin’Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
    “Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu,” kata gubernur ‘Amr bin ‘Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
    “Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?” tanya lelaki itu.
    “Tidak, jalankan saja keinginanmu itu,” jawab gubernur.
    “Tidak, sekarang aku memaafkanmu,” kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.
    ***
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

  • Cerita dari Spanyol 

    1910399-2-water-lily
    Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencenkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘jenggel’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka
    Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
    “Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
    Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz…InsyaALlah tempatmu di Syurga.”
    Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak amarahnya. Ia diperintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
    “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”
    Mendengar ‘khutbah’ itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”
    Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto bermaksud memungutnya.Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
    “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
    Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.
    Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
    Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
    “Ah…sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan ‘aneh’ dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.
    Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi [lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia].
    Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab [jilbab] digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
    Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.
    Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abuyanya. Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”
    Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi…Abi…Abi…”
    Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
    “Hai…siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. “Saya Ahmad Izzah,sedang menunggu Ummi…” jawab sang bocah memohon belas kasih.
    “Hah…siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka.
    “Saya Ahmad Izzah…” sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba ‘plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
    “Hai bocah…! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.
    Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka. Roberto tersadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris, “Abi…Abi…Abi…”

    Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bahagian pusar.
    Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tsa…” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
    Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
    “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto memelas.
    Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
    Sang Abi dengan susah payah masih bisa terucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,”
    Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah Indah “Asyahadu anla Illaaha ilAllah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…”. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
    Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…’ Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
    Benarlah firman Allah… ‘Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’ [QS30:30]
    ***
    Sumber: email sahabat

  • Kisah Sahabat Haritsah bin Suroqoh 

    blue_water_lilySuatu hari ketika Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam berjalan di kota Madinah beliau berpapasan dengan seorang sahabat yang bernama Haritsah bin Suraqoh. Maka seraya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bertanya kepadanya dan mengatakan: “Ya Haritsah bagaimana keadaanmu di pagi hari ini?”.
    Haritsah menjawab, “Ya Rasulullah aku di pagi hari ini telah mencapai hakekat keimanan”. Ketika mendengar jawaban tersebut Rasul pun berkata kepadanya: “Ya Haritsah segala sesuatu ada buktinya, dan mana bukti dari hakekat imananmu?”.
    Haritsah berkata, “Ya Rasulullah telah keluar dari hatiku mahabbah kepada dunia sehingga emas dan batu sama nilainya di mataku. Ya Rasulullah seakan akan arsy tuhanku dihadapanku sangat jelas, seakan akan penghuni surga mendapatkan ni’mat di surge dihadapanku sangat jelas, dan seakan akan penghuni neraka di neraka mendapatkan azab di neraka dihadapan mataku sanagat jelas. Ya Rasulullah di malam hari aku bergadang (bermunajat) dan di siang hari aku berpuasa”.
    Ketika Rasul mendengar jawaban Haritsah seraya beliau mengatakan, “(Engkau adalah) hamba Allah yang telah memperoleh cahaya di hatimu. Ya Haritsah engkau telah mengetahui maka lazimilah”.
    Haritsah berkata kepada rasulullah: “Ya Rasulullah doakan aku, aku ingin mati syahid di jalan Allah”. Maka Rasul-pun mendoakan agar haritsah mati syahid di jalan Allah.
    Kebetulan di hari itu Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah untuk memerangi orang kafir Quraiys di perang Badr dan jumlah tentara orang kafir lebih dari 950 prajurit sedang tentara Rasulullah hanyalah 313 prajurit dan tidak memiliki persenjataan pelaikan sangat sedikit sekali dan sangat terbatas.
    Akan tetapi kemenangan dari Allah diberikan kepada Rasulullah dan para sahabat. Sehingga di riwayatkan bahwa yang terbunuh dari orang orang kafir 70 prajurit, dan yang tertawan 70 prajurit. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin 14 sahabat dan diantara mereka adalah Haritsah bin Suraqoh.
    Ketika kembali Rasulullah dan para sahabat dari medan perang beliau dihadang oleh ibu Haritsah dan seraya mengatakan kepada rasulullah: “Ya Rasulullah dimana anakku Haritsah?”.
    Dijawab oleh Rasulullah: “Wahai ibu Haritsah sabarlah sesunggahnya anakmu terbunuh dijalan Allah”. Maka diulangi pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah kepada Rasulullah. Dan dijawab oleh Rasul dengan jawaban yang serupa. Lantas di ulangilah untuk ketiga kalinya pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah dengan menanyakan: “Ya Rasulallah aku tahu kalau anak terbunuh di jalan Allah akan tetapi dimana anakku apakah di surga atau di neraka?”.
    Rasulullah menjawab: ” Wahai ibu Haritsah apakah kau tidak tahu? Sesungguhnya surga itu bukanlah hanya satu surga, akan tetapi surga itu banyak sekali tingkatannya. Dan sesungguhnya anakmu telah mencapai surga Firdaus yang paling tinggi”.
    Diriwayatkan oleh para ahli sejarah bahwa Haritsah terbunuh di jalan Allah ketika beliau berusia 17 tahun.
    ***
    Sumber : Al-Mihrab, disampaikan oleh : Retno Wahyudiaty

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Maimunah 

    water-lily_2-mccoy-pavilion-honolulu-092008Maimunah Binti Al-Harits Ummul Mu’minin
    Dialah Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Ia saudari dari Ummu Fadhl istri Abbas dan bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari Ibnu Abbas.
    Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya, dan kemulyaannya. Pada mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam. Namun, beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummu Fadhl sehingga beliau mendengar sebagian kajian-kajian Islam dan tentang nasib kaum muslimin yang berhijrah, sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang menimbulkan bekas mendalam pada dirinya.
    Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada Perang Khaibar, kebetulan Maimunah berada di rumah saudara kandungnya, Ummu Fadhl, beliau turut senang dan sangat bergembira. Namun, tatkala dia pulang ke rumah suaminya ternyata beliau mendapati suaminya bersedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Akhirnya, beliau keluar dan menetap di rumah al-Abbas.
    Waktupun berjalan sampai tibalah waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyyah, Nabi SAW diperbolehkan masuk Mekah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya.
    Pada hari itu kaum muslimin masuk Mekah dengan rasa aman. Mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana, “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syarika laka labbaika ..” (Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu , tiada sekutu bagimu).
    Mereka mendatangi Mekah dalam rangka melaksanakan umrah yang sempat tertunda, setelah beberapa waktu bumi Mekah dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung karena tak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Mekah dengan terang-terangan, dengan kekuatan dan penuh wibawa.
    Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan, tetapi lebih dari itu, beliau ingin agar dapat masuk Islam secara sempurna dan penuh izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam.
    Di antara harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap nubuwwah (kenabian), sehingga dapat minum pada mata airnya demi memenuhi dahaga perilakunya yang haus akan akidah yang istimewa untuk mengubah kehidupannya menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang.
    Beliau pun segera menuju saudara kandungnya, Ummu Fadhl dengan perasaan yang tergesa-gesa untuk menjadi salah satu dari Ummahatul Mukminin. Saudarinya kemudian membicarakan dengan suaminya al-’Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Al-Abbas sendiri tidak ragu sedikit pun menanggapi hal itu. Segeralah dia menemui Nabi saw dan menawarkan Maimunah kepada beliau. Akhirnya, Nabi SAW menerimanya dengan mahar 400 dirham.
    Dalam riwayat yang lain, Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan (menyerahkan) dirinya kepada Nabi SAW sehingga turunlah ayat dari Allah, “..dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi menikahinya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin..”(Al-Ahzab: 50).
    Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi SAW. Mereka mengatakan, “Telah habis waktumu, maka keluarlah dari kami.” Maka Nabi SAW menjawab dengan ramah, “Bagaimana menurut kalian jika kalian biarkan kami, sehingga aku merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian?”
    Mereka menjawab dengan kasar, “Kami tidak butuh makananmu, maka keluarlah dari negeri kami!”
    Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi SAW di Makkah, karena kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti al-Harits. Dia tidak hanya cukup menyatakan keislamannya, tetapi lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul SAW sehingga membangkitkan kemarahan mereka.
    Untuk berjaga-jaga, Rasulullah SAW tidak mengadakan Walimatul ‘Ursy dirinya dengan Maimunah di Mekah. Beliau mengijinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah.
    Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut “Sarfan” yang berjarak 10 mil dari Makkah, Nabi memulai malam pertamanya bersama Maimunah RA. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun ke-7 Hijriyah.
    Selanjutnya, sampailah Rasulullah SAW bersama Maimunah di Madinah, lalu Maimunah menetap di rumah Nabi SAW yang suci.
    Setelah Rasulullah SAW wafat, tinggallah Maimunah sendirian hingga 50 tahun. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa serta setia kepada suaminya. Hingga karena kesetiaannya kepada suaminya, beliau berpesan agar dimakamkan di tempat dilaksanakannya Walimatul ‘Ursy dengan Rasulullah.
    ‘Atha’ berkata, “Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas seraya berkata, “Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka janganlah kalian menggoncang-goncangkan atau menggoyang-goyangkannya.” Beliau juga berkata, “Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya, karena dia adalah ibumu.”
    Aisyah berkata setelah wafatnya Maimunah, “Demi Allah, Maimunah telah pergi, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun beliau, demi Allah, orang yang paling takwa di antara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim.”
    Semoga keselamatan selalu tercurah kepada Maimunah yang dengan langkahnya telah membuahkan pengaruh yang begitu besar dalam mengubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyyahnya menuju dienullah seperti Khalid bin Walid dan Amru bin ‘Ash. Kiranya Allah meridhai para sahabat seluruhnya.
    ***
    Sumber: Nisa’ Haular Rasul, Mahmud Mahdi al-Istambuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Shafiyah 

    water lily 3Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha
    Beliau adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah cucu dari Al-Lawi bin Nabiyullah Israel bin Ishaq bin Ibrahim a.s., termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s. Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang, berparas cantik dan bagus diennya.
    Sebelum Islamnya beliau menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Abi Al-Haqiq. Keduanya adalah penyair yahudi.
    Kinanah terbunuh pada waktu perang Kkaibar, maka beliau termasuk wanita yang di tawan bersama wanita-wania lain. Bilal “Muadzin Rasululllah” menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka melewati tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Shafiyyah diam dan tenang dan tidak kelihatan seduh dan tidak pula meratap mukanya, menjerit dan menaburkan pasir pada kepalanya.
    Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW, Shafiyyah dalam keadaan sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamannya kepalanya penuh pasir, merobek bajunya karena merasa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Enyahkanlah syetan ini dariku.”
    Kemudian Rasulullah SAW mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal aku berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita yang suaminya terbunuh.”
    Selanjutnya Shafiyyah dipilih untuk beliau dan beliau mengulurkan selendang beliau kepada Shafiyyah, hal itu sebagai pertandan bahwa Rasulullah SAW telah memilihnya untuk dirinya.
    Hanya kaum muslimin tidak mengetahui apakah Shafiyyah di ambil oleh Rasulullah SAW sebagai istri atau sebagai budak atau sebagai anak? Maka tatkala beliau berhijab Shafiyyah, maka barulah mereka tahu bahwa Rasulullah SAW mengambilnya sebagai istri.
    Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a. bahwa Rasulullah tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyai beliau bertanya kepadanya,”Maukah engkau menjadi istriku?”Maka Shafiyyah menjawab,”Ya Rasulullah sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?”
    Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci Raslullah SAW menikahinya, sedangkan maharnya adalah merdekanya Shafiyyah. Nabi SAW menanti sampai Khaibar kembali tenang. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba’ jauh dari Khaibar mereka berhenti untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul ‘urs.
    Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah, menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias, Ummu Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah yang usianya baru 17 tahun itu. Maka diadakanlah walimatul ‘urs, maka kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar hingga kenyang.
    Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah perintahkan agar pengantin wanita tidak langsung di ketemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau turunkan Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu’man. Ketika wanita-wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat kecantikannya.
    Nabi SAW memergoki ‘Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian beliau masuk kerumah Haritsah bin Nu’man. Maka beliau menunggunya sampai ‘Aisyah keluar. Maka tatkala beliau keluar, Rasulullah memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa,”bagaimana menurut mendapatmu wahai yang kemerah-merahan?” Aisyah menjawab sementara cemburu menghiasi dirinya, “Aku lihat dia adalah wanita Yahudi.” Maka Rasulullah SAW membantahnya dan bersabda, “Jangan berkata begitu..karena sesungguhnya dia telah Islam dan bagus keislamannya.”
    Selajutnya Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi menimbulkan kecemburuan istri-istri beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga mengucapkan selamat atas apa yang telah beliau raih. Bahkan dengan nada mengejek mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing.
    Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata,”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan beliau menangis. Tatkala itu Nabi masuk sedangkan Shafiyyah masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak seorang Yahudi. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Engkau adalah seorang putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian beliau bersabda kepada Hafshah,”Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!”
    Maka kata-kata Nabi itu menjadi penyejuk, keselamatan dan keamanan bagi Shafiyyah. Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”
    Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu’awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi’ bersama Ummuhatul Mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua.
    ***
    Sumber: Al-Sofa, Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Ummu Habibah 

    Water_lilyUmmu Habibah
    Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan, ayahnya seorang pemuka Quraisy dan pemimpin orang-orang musyrik hingga Fathu Makkah. Meski bapaknya memaksa agar kembali kafir, akan tetapi beliau tetap beriman. Beliau rela menanggung beban yang berat dan melelahkan karena memperjuangkan akidahnya. Bapaknya, Abu Sufyan, tak kuasa memaksakan kehendaknya agar putrinya tetap dalam keadaan kafir.
    Pada mulanya beliau menikah dengan seorang yang sama-sama telah memeluk Islam, yaitu Ubaidillah bin Jahsy. Tatkala orang-orang kafir berbuat kejam atas orang-orang Islam, Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya. Di sanalah beliau melahirkan anak perempuan yang diberi nama Habibah, sehingga beliau dikenal dengan sebutan Ummu Habibah.
    Beliau senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran memperjuangkan agamanya dalam keterasingan dan hanya seorang diri, jauh dari keluarga dan kampung halaman, bahkan terjadi musibah yang tidak beliau sangka sebelumnya.
    Beliau bercerita, “Aku melihat dalam mimpi, suamiku Ubaidillah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan bangun, kemudian aku memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi harinya suamiku telah memeluk agama nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya, namun dia tidak menggubrisnya.”
    Si Murtad yang celaka ini mencoba dengan segala kemampuannya untuk membawa istrinya keluar dari agamanya, namun Ummu Habibah menolaknya dan dia telah merasakan lezatnya iman. Bahkan, beliau justru mengajak suaminya agar tetap dalam agama Islam, namun dia malah menolak dan membuang jauh ajakan tersebut dan dia semakin asyik dengan khamr. Hal itu berlangsung hingga dia meninggal dunia.
    Hari-hari berlalu di bumi hijrah Ummu Habibah. Beliau berada dalam dua ujian, yakni ujian karena jauhnya dengan sanak saudara dan kampung halaman dan ujian karena menjadi seorang janda tanpa seorang pendamping.
    Akan tetapi, beliau dengan keimanan yang tulus yang telah Allah karuniakan kepadanya mampu menghadapi ujian berat tersebut. Allah berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat dalam mimpinya ada yang menyeru dia, “Wahai Ummul Mukminin….!” Karenanya beliau terperanjat bangun sebab mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.
    Setelah masa iddahnya, tiba-tiba ada seorang jariyah (budak perempuan) dari Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa dirinya telah dipinang oleh Rasulullah saw. Alangkah bahagianya Ummu Habibah mendengar kabar gembira itu hingga berkata, “Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu.”
    Kemudian beliau menanggalkan perhiasan dan gelang kakinya untuk diberikan kepada jariyah karena sangat senangnya. Beliau kemudian meminta Khalid bin Sa’id bin al-’Ash untuk menjadi wakil baginya agar menerima lamaran Najasyi yang mewakili Rasulullah saw untuk menikahkan beliau dengan Ummu Habibah setelah beliau mendengar berita tentang keadaan Ummu Habibah dan ujian yang dihadapinya dalam mempertahankan agamanya.
    Maka, pada suatu sore hari raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habasyah, lalu datanglah mereka dengan dikawal oleh Ja’far bin Abu Thalib, putra paman Nabi saw. Selanjutnya, Raja Najasyi menyambut, “Segala puji bagi Allah Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Aku bersaksi bahwa Tiada Tuhan yang Haq Selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang telah diberitahukan oleh Isa bin Maryam Alaihi as-Salam. Amma Ba’du, sesungguhnya Rasulullah saw telah mengirim surat untukku supaya melamar Ummu Habibah binti Abu Sufyan dan Ummu Habibah telah menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dinar.” Kemudian uang tersebut Beliau letakkan di depan kaum muslimin.
    Kemudian, Khalid bin Sa’id berkata, “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dien yang haq untuk memenangkan dien-Nya, sekalipun orang-orang musyrik benci.
    Amma Ba’du, akau terima lamaran Rasulullah saw dan aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah saw. Selanjutnya, Najasyi menyerahkan dinar tersebut kepada Khalid bin Sa’d, kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk mengadakan walimah dengan mengatakan, “Kami persilahkan Anda sekalian untuk duduk, karena sesungguhnya sunnah para nabi apabila menikah hendaklah makan-makan untuk merayakan pernikahan.”
    Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dari Habasyah. Maka, Raululullah saw menyambut, “Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?” Sementara itu, Ummu Habibah juga datang bersama rombongan. Maka, bertemulah Rasululllah saw dengannya pada tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Ketika itu Ummu Habibah berumur 40 tahun.
    Sebagai seorang istri, Ummu Habibah selalu menempatkan urusan agama di atas segala-galanya, beliau utamakan akidah daripada famili. Beliau telah mengumandangkan bahwa loyalitasnya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya.
    Hal itu dibuktikan dengan sikapnya terhadap ayahnya Abu Sufyan, tatkala Abu Sufyan suatu ketika masuk ke dalam rumah Ummu Habibah, sedangkan beliau sudah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sufyan pada waktu itu meminta bantuan kepada beliau agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyyah yang telah dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik.
    Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi saw, namun tiba-tiba dilipat oleh Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan,”Wahai putriku, aku tidak tahu, mengapa engkau melarangku duduk di atas tikar itu?”
    Beliau menjawab dengan penuh keberanian dan tanpa rasa takut akan kemarahannya, ini adalah tikar Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah.” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, engkau akan menemui hal buruk sepeninggalku nanti.”
    Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri, “Bahkan semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan juga kepada Anda wahai ayah, pemimpin Quraisy, apa yang menghalangimu masuk Islam? Engkau menyembah batu yang tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar.” Abu Sufyan kemudian pergi dengan marah dan membawa kegagalan.
    Setelah Rasulullah saw wafat, Ummu Habibah tetap tinggal di rumahnya. Beliau tidak keluar kecuali untuk salat dan beliau tidak meninggalkan Madinah kecuali untuk haji hingga sampailah waktu wafatnya, tatkala berumur tujuh puluhan tahun. Beliau wafat setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan agamanya dan bersemangat atasnya, tinggi dan mulya jauh dari pengaruh jahiliyah, dan tidak menghiraukan nasab ketika bertentangan dengan akidahnya, semoga Allah meridhainya.
    ***
    Sumber: Diadaptasi dari Nisa’ Haula ar-Rasuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
     

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Juwairiyah 

    water-lily1269408-2-soft-lavender-Juwairiyah Binti Al-Harits
    Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah.
    Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi’.
    Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya.
    Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya. Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya.
    Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: “Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?”.
    Maka dia menjawab dengan sopan: “Apakah itu Ya Rasulullah ?”.
    Beliau menjawab: “Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”.
    Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.
    ‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata:”Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar.
    Maka orang-orang berkata, “Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.
    Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah, “Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya.
    Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.
    Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum.
    Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu ‘anha. Beliau berkata, “Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata, Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu.”
    Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita, apakah anda setuju?”.
    “Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab, “Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.
    Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.
    Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya.
    Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.
    ***
     

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Zainab 

    white-water-lily_390Zainab Binti Jahsy -Radhiallaahu ‘Anha-
    Dia adalah Ummul mukminin, Zainab binti Jahsy bin Rabab bin Ya’mar. Ibu beliau bernama Ummyah Binti Muthallib, Paman dari paman Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam . Pada mulanya nama beliau adalah Barra’, namun tatkala diperistri oleh Rasulullah, beliau diganti namanya dengan Zainab.
    Tatkala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melamarnya untuk budak beliau yakni Zaid bin Haritsah (kekasih Rasulullah dan anak angkatnya), maka Zainab dan juga keluarganya tidak berkenan. Rasulullah bersabda kepada Zainab, “Aku rela Zaid menjadi suamimu”. Maka Zainab berkata: “Wahai Rasulullah akan tetapi aku tidak berkenan jika dia menjadi suamiku, aku adalah wanita terpandang pada kaumku dan putri pamanmu, maka aku tidak mau melaksanakannya.
    Maka turunlah firman Allah (artinya): “Dan Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan-urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Al-Ahzab:36).
    Akhirnya Zainab mau menikah dengan Zaid karena ta’at kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, konsekuen dengan landasan Islam yaitu tidak ada kelebihan antara orang yang satu dengan orang yang lain melainkan dengan takwa.
    Akan tetapi kehidupan rumah tangga tersebut tidak harmonis, ketidakcocokan mewarnai rumah tangga yang terwujud karena perintah Allah yang bertujuan untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan dan hukum-hukum jahiliyah dalam perkawinan.
    Tatkala Zaid merasakan betapa sulitnya hidup berdampingan dengan Zainab, beliau mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengadukan problem yang dihadapi dengan memohon izin kepada Rasulullah untuk menceraikannya. Namun beliau bersabda: “Pertahankanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah”.
    Padahal beliau mengetahui betul bahwa perceraian pasti terjadi dan Allah kelak akan memerintahkan kepada beliau untuk menikahi Zainab untuk merombak kebiasaan jahiliyah yang mengharamkan menikahi istri Zaid sebagaimana anak kandung. Hanya saja Rasulullah tidak memberitahukan kepadanya ataupun kepada yang lain sebagaimana tuntunan Syar’i karena beliau khawatir, manusia lebih-lebih orang-orang musyrik, akan berkata bahwa Muhammad menikahi bekas istri anaknya.
    Maka Allah ‘Azza wajalla menurunkan ayat-Nya: “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan  kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:”Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih kamu takuti. Maka tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini (istri-istri anak-anak angkat itu) apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Al-Ahzab:37).
    Al-Wâqidiy dan yang lain menyebutkan bahwa ayat ini turun manakala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan ‘Aisyah tiba-tiba beliau pingsan. Setelah bangun, beliau tersenyum seraya bersabda:”Siapakah yang hendak memberikan kabar gembira kepada Zainab?”, Kemudian beliau membaca ayat tersebut.
    Maka berangkatlah seorang pemberi kabar gembira kepada Zainab untuk memberikan kabar kepadanya, ada yang mengatakan bahwa Salma pembantu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang membawa kabar gembira tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa yang membawa kabar gembira tersebut adalah Zaid sendiri. Ketika itu, beliau langsung membuang apa yang ada di tangannya kemudian sujud syukur kepada Allah.
    Begitulah, Allah Subhanahu menikahi Zainab radliallâhu ‘anha dengan Nabi-Nya melalui ayat-Nya tanpa wali dan tanpa saksi sehingga ini menjadi kebanggaan Zainab dihadapan Ummahatul Mukminin yang lain. Beliau berkata:”Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian akan tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya”.
    Dan dalam riwayat lain,”Allah telah menikahkanku di langit”. Dalam riwayat lain,”Allah menikahkan ku dari langit yang ketujuh”. Dan dalam sebagian riwayat lain,”Aku labih mulia dari kalian dalam hal wali dan yang paling mulia dalam hal wakil; kalian dinikahkan oleh orang tua kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit yang ketujuh”.
    Zainab radliallâhu ‘anha adalah seorang wanita shalihah, bertakwa dan tulus imannya, hal itu ditanyakan sendiri oleh sayyidah ‘Aisyah radliallâhu ‘anha tatkala berkata:”Aku tidak lihat seorangpun yang lebih baik diennya dari Zainab, lebih bertakwa kepada Allah dan paling jujur perkataannya, paling banyak menyambung silaturrahmi dan paling banyak shadaqah, paling bersungguh-sungguh dalam beramal dengan jalan shadaqah dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla”.
    Beliau radliallâhu ‘anha adalah seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau bekerja dengan kedua tangannya, beliau menyamak kulit dan menyedekahkannya di jalan Allah, yakni beliau bagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Tatkala ‘Aisyah mendengar berita wafatnya Zainab, beliau berkata:”Telah pergi wanita yang mulia dan rajin beribadah, menyantuni para yatim dan para janda”. Kemudian beliau berkata: “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para istrinya: ‘Orang yang paling cepat menyusulku diantara kalian adalah yang paling panjang tangannya.”
    Maka apabila kami berkumpul sepeninggal beliau, kami mengukur tangan kami di dinding untuk mengetahui siapakah yang paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami lakukan terus hingga wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang paling panjang tangannya di antara kami.
    Maka ketika itu barulah kami mengetahui bahwa yang di maksud dengan panjang tangan adalah sedekah. Adapun Zainab bekerja dengan tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan di jalan Allah.
    Ajal menjemput beliau pada tahun 20 hijriyah pada saat berumur 53 tahun. Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab turut menyalatkan beliau. Penduduk Madinah turut mengantar jenazah Ummul Mukminin, Zainab binti Jahsy hingga ke Baqi’. Beliau adalah istri Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali wafat setelah wafatnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah merahmati wanita yang paling mulia dalam hal wali dan wakil, dan yang paling panjang tangannya.
    ***
     Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Hafshoh 
  • White Water LilyHafshoh binti Umar r.a.
    Beliau adalah Hafsah putri dari Umar bin Khaththab, seorang shahabat agung yang melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita yang disegani.
    Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yang pernah berhijrah dua kali, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami waktu perang Uhud.
    Beliau meninggalkan seorang janda yang masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yang ketika itu masih berumur 18 tahun.
    Umar benar-benar merasakan gelisah dengan adanya keadaan putrinya yang menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dengan wafatnya menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid.
    Beliau mulai merasakan kesedihan setiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala dia menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali.
    Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallaahu ‘anhu orang yang paling dicintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena Abu Bakar dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yang mewarisi watak bapaknya yakni bersemangat tinggi dan berwatak tegas.
    Maka segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh beserta ujian yang menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan dengan rasa iba dan belas kasihan.
    Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau menerima seorang yang masih muda dan bertakwa, putri dari seorang laki-laki yang dijadikan oleh Allah penyebab untuk menguatkan Islam.
    Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dengan membawa kekecewaan hatinya yang hampir-hampir dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar). Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang mana ketika itu istri beliau yang bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang dideritanya.
    Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab: “Aku belum ingin menikah saat ini”. Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu untuk bertemu dengan salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman kepercayaannya yang faham betul tentang kedudukannya.
    Kemudian beliau menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah SAW seraya berkata, “Hafshoh akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshoh (yaitu putri beliau Ummu Kultsum r.a. red.)”
    Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini yang mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya, maka dengan segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada setiap orang yang dicintainya sedangkan Abu Bakar adalah orang yang pertama kali beliau temui.
    Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata “Janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar karena aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seandainya beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya.
    Maka Madinah mendapat barokah dengan indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Hafshoh binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga.
    Begitulah, Hafshoh bergabung dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu.
    Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata: “Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya”.
    Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi,maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. At-Tahrim: 4).
    Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali untuk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yang mana dia berkata, “Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga.”
    Hafshoh pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya.
    Manakala Rasul yang mulia menghadap Ar-Rafiiq Al-A’la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka Hafshoh-lah yang dipercaya diantara Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama.
    Hafshoh radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.
    Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah, maka Hafshoh adalah putri beliau yang mendapat wasiat yang beliau tinggalkan.
    Hafshoh wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu ‘anhu setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu ‘anhu.
    Semoga Allah meridhai beliau karena beliau telah menjaga al-Qur’an al- Karim, dan beliau adalah wanita yang disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan bahwa beliau adalah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di surga.
    ***
    Sumber: Al-Sofwa, Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Ummu Salamah 

    white_water_lily_padUmmu Salamah
    Lembaran sejarah hijrah Ummat Islam ke Madinah, barangkali tidak bisa melupakan torehan tinta seorang ibu dengan putrinya yang masih balita. Keduanya, hanya dengan mengendarai unta dan tidak ada seorang lelakipun yang menemaninya, meski kemudian ditengah jalan ada orang yang iba dan kemudian mengantarnya, berani menembus kegelapan malam, melewati teriknya siang dan melawan ganasnya padang sahara, mengarungi perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, kurang lebih 400 km. Dialah Salamah dan ibunya, Hindun bin Abi Umayyah atau sejarah lebih sering menyebutnya dengan Ummu Salamah.
    Ummu Salamah adalah putri dari pemuka kaum kaya dibani Mughirah, Abi Umayyah. Parasnya jelita dan ia adalah seorang yang cerdas. Setelah menginjak usia remaja ia dinikahkan dengan Abdullah bin Abdul Asad Al-Makhzumi. Lalu keduanya berkat hidayah Allah SWT menyatakan keislamannya.
    Ketika kaum Muslimin berhijrah keMadinah, keduanya ikut pula didalamnya, meski tidak dalam waktu yang bersamaan. Abdullah (Abu Salamah) berangkat terlebih dahulu, setelah itu Ummu Salamah menyusul seorang diri dengan anaknya. Lalu mulailah mereka berdua menjalani kehidupannya bersama anak-anaknya dikota Madinah tercinta.
    Tapi tak lama kemudian Abu Salamah akibat luka yang dideritanya semenjak perang Uhud meninggal dunia. Akhirnya Ummu Salamahpun seorang diri mengasuh dan mendidik anak-anaknya.Kemudian datanglah Abu Bakar r.a untuk melamarnya, juga Umar bin Khattab r.a. Namun dengan lemah lembut kedua lamaran tersebut ia kembalikan.
    Setelah itu datang pula utusan Rasulullah SAW untuk meminangnya. Ummu Salamahpun menolaknya dengan berbagai pertimbangan. Namun setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah SAW akhirnya ia menerima lamaran tersebut.
    Diantara para istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah adalah istri yang tertua. Dan untuk menghormatinya, Rasulullah SAW sebagaimana kebiasaannya sehabis sholat Ashar, beliau mengunjungi istri-istrinya maka beliau memulainya dengan Ummu Salamah r.a dan mengakhirinya dengan Aisyah r.a Ummu Salamah wafat pada usia 84 th, bulan Dzul-Qo`dah,tahun 59 Hijrah atau 62 Hijrah dan dikebumikan diBaqi`. Wallahu a`lam bish-Showab.
    ***
    (Diolah dari Shifatus Shofwah, Ibnu Jauzi;Min `Alamin Nisa;M.Quthb,dll)
    Oleh : Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Aisyah 

    water_lilyPink_Aisyah Binti Abu Bakar r.a
    Rasulullah SAW membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah r.a yang telah banyak dikenal. Ketika wahyu datang pada Rasulullah SAW, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya didunia dan diakhirat, sebagaimana diterangkan didalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah r.a,
    “Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutra hijau kepada Nabi SAW, lalu berkata.’ Ini adalah istrimu didunia dan di akhirat.”
    Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah SWT yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
    Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi SAW diutus menjadi Rasul. Semasa kecil dia bermain-main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah SAW usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
    Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a datang wahyu kepada Nabi SAW untuk menikahi Aisyah r.a. Setelah itu Nabi SAW berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutra seraya berkata,’ Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,’ Jika ini benar dari Allah SWT , niscaya akan terlaksana.”
    Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah SAW setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah SAW hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Makkah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk didalamnya Aisyah r.a.
    Dengan izin Allah SWT menikahlah Aisyah dengan mas kawin 500 dirham. Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu.
    Dihati Rasulullah SAW, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi didalam Islam adalah cintanya Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a.”
    Didalam riwayat Tirmidzi dikisahkan “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah dihadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya,’ Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti istri kecintaan Rasulullah SAW.”
    Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah SAW terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ‘Demi Allah SWT, dia adalah manusia yang paling beliau cintai selain ayahnya (Abu Bakar)’.
    Di antara istri-istri Rasulullah SAW, Saudah bin Zum`ah sangat memahami keutamaan-keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah SAW rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah SAW.
    Menjelang wafat, Rasulullah SAW meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat dirumah Aisyah selama sakitnya hingga wafat. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah SAW wafat dipangkuanku.”
    Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah SAW selama sakit dikamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Rasulullah SAW dikuburkan dikamar Aisyah, tepat ditempat beliau meninggal.
    Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka dirumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi.”
    Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia diantara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur dirumah Aisyah.
    Setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap taqdir Allah SWT dan selalu berdiam diri didalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah SWT.
    Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah kemakam Nabi SAW. Ketika istri-istri Nabi SAW hendak mengutus Ustman menghadap khalifah Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi SAW yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah SAW telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
    Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Didalam Thabaqat, Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul Mukminin Aisyah r.a. Ketika itu Hafshah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
    Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari Al Qur`an dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau. Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah SAW jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia memperoleh ilmu langsung dari Rasulullah SAW.
    Aisyah termasuk wanita yang banyak menghapalkan hadits-hadits Nabi SAW, sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghapal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan Ibnu Abbas.
    Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 th, bertepatan dengan bulan Ramadhan,th ke-58 H, dan dikuburkan di Baqi`.
    Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah SAW, selalu beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.” (HR. Ahmad).
    ***
    Dikutip dari: Amru Yusuf/ Istri Rasulullah, contoh dan teladan.
  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Saudah 

    water lily main pageSaudah Binti Zam’ah r.a.: Sang Isteri yang Merelakan Haknya
    Beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar. Beliau juga seorang Sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dengan As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri.
    Suatu ketika beliau bersama delapan orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya, kemudian menyebrangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi maut dalalm rangka memenangkan diennya.
    Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang mereka karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada hentinya ujian menimpa Saudah belum usai ujian tinggal dinegeri asing (Habsyah) beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh karena itu tiada henti-hentinya Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau hingga pada gilirannya beliau mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk Saudah dan beliau mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menjaga dan mendampinginya.
    Telah tercatat dalam sejarah tak seorang pun sahabat yang berani mengajukan masukan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah mengimani beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya disaat orang lain menahan bantuan terhadapnya dan bersamanya pula Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
    Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut dan ramah:
    Khaulah, “Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
    Nabi (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan), “Dengan siapa saya akan menikah setelah dengan Khadijah?”
    Khaulah, “Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.”
    Nabi, “Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?”
    Khaulah, “Putri dari orang yang anda cintai, yakni Aisyah binti Abu Bakar.”
    Nabi (Setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian bertanya), “Jika dengan seorang janda?”
    Khaulah, “Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti yang anda bawa.”
    Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti Zam’ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau (setelah wafatnya Khadijah) selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
    Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam’ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka.
    Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain tidak dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah, kasih sayang dan penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kasih.
    Adapun Saudah radhiallaahu ‘anha mampu untuk menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.
    Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti Hafsah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengawini dirinya melainkan karena kasihan melihat kondisinya setelah kepergian suaminya yang lama.
    Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin menceraikan beliau dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, namun Nabi nerasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.
    Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya untuk menceraikan beliau, maka beliau merasa seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dadanya, maka beliau merengek dengan merendahkan diri berkata, “Pertahankanlah aku ya Rasulullah! demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan saya akan tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi Istrimu.
    Begitulah Saudah radhiallaahu ‘anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia, maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah untuk menjaga hati Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu ‘anha sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.
    Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut, maka turunlah ayat Allah, “Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (Q. S. An-Nisa’:128)
    Saudah radhiallaahu ‘anha tinggal dirumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya disamping sebaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah karena mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah.
    Akhirnya wafatlah Saudah radhiallaahu ‘anha pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anha.
    Ummul mukminin Aisyah radhiallaahu ‘anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata, “Tiada seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja yang mana dia berkata, “Ya Rasulullah aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk Aisyah hanya saja beliau berwatak keras.”
    ***
    Sumber: Al-Sofwah, Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
  • Istri-Istri Nabi Muhammad Saw: Khadijah 

    water-lily (2)Istri-Istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
    Banyak keterangan yang pernah kita dengar mengenai istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Ada yang mengatakan sembilan, ada yang mengatakan sebelas, dan ada juga yang mengatakan dua belas.
    Semua keterangan tersebut biarlah berlalu seperti itu, yang penting masing-masing ada mustanad (sandaran riwayatnya). Dalam kitab Siyar A’laam an-Nubalaa’ yang ditulis oleh al-Dzahabi menyebutkan keterangan yang berbeda-beda. Berikut ini kami kutipkan keterangan mengenai istri-istri Nabi saw sebagaimana yang tertulis dalam buku tersebut.
    Al-Zuhri berkata, “Nabi saw menikahi dua belas wanita Arab yang muhshonah (terpelihara dari dosa). Sementara itu, Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi saw menikahi lima belas wanita. Enam wanita dari suku Quraish, satu wanita dari sekutu-sekutu Quraish, tujuh wanita dari Arab dan yang satunya lagi dari Bani Israil. Di pihak lain, Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Nabi saw menikahi delapan belas wanita: tujuh dari Quraish, satu dari sekutu-sekutu Quraish, sembilan dari Arab, dan satu dari Bani Israil. Mereka itu adalah Khadijah, Saudah, Aisyah, Ummu Salamah, Hafshah, Zainab binti Jahs, Juwairiyah, Ummu Habibah, Shafiyyah, Maimunah, Fathimah binti Syuraih, Zainab binti Khuzaimah, Hindun binti Yazid, Asma’ binti an-Nu’man, Qutailah saudara perempuan al-Asy’ats dan Sana’ binti Asma’ as-Sulamiyyah.
    Al-Aliyah adalah salah seorang istri Nabi saw dari Bani Bakar bin Kilab, seperti yang dituturkan al-Zuhri. Menurut Abu Muawiyah dari Jamil bin Zaid –orang yang lemah– dari Zaid bin Ka’b bin ‘Ujrah dari bapaknya berkata, “Rasulullah saw mempersunting al-Aliyah dari Bani Ghifaar. Tatkala menyetubuhi, Nabi saw melihat bercak putih-putih yang terdapat pada bagian badan sekitar pinggul (antara pusar dan pinggang) lalu Nabi berkata, ‘Kenakanlah pakaianmu dan susullah keluargamu (pulanglah).” Asma’, menurut ibnu Ishaq namanya adalah Asma’ binti Ka’b al-Jauniyyah.
    **
    Khadijah binti Khuwailid
    Beliau adalah sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiah al-Asadiyah. Dijuluki at-Thahirah bersih atau suci. Terlahir 15 tahun sebelum tahun fiil (tahun gajah).
    Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
    Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Mahzumi hingga beberapa waktu lamanya, namun akhirnya mereka cerai.
    Setelah itu, banyak pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau. Akan tetapi, beliau prioritaskan perhatiannya untuk mendidik putra-putrinya, disamping sibuk mengurusi perniagaan yang memang beliau juga menjadi seorang wanita yang kaya raya.
    Suatu ketika beliau mencari orang yang dapat menjual barang dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi) yang memiliki sifat jujur, amanah, dan berakhlak mulia, beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisaroh.
    Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisaroh, dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang banyak.
    Khadijah merasa gembira dengan keuntungan tersebut. Akan tetapi, ketakjubannya terhahap kepribadian Muhammad lebih besar dari semua itu.
    Maka, mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur di benaknya yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana lelaki yang lain dan perasaan-perasaan yang lain.
    Akan tetapi, dia merasa pesimis: mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa kata orang nanti, karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraish yang melamarnya?
    Di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog, hingga dengan kecerdikannya Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembunyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya.
    Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang yang terhormat, memiliki harta, lagi berparas cantik. Hal itu terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
    Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad hingga terjadi dialog yang menunjukkan akan kelihaian dan kecerdikan dia.
    Nafisah, “Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?”
    Muhammad, “Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.”
    Nafisah (Dengan tersenyum berkata), “Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya, cantik, dan berkecukupan, apakah kamu mau menerimanya?”
    Muhammad, “Siapa dia?”
    Nafisah (Dengan cepat dia menjawab), “Dia adalah Khadijah binti Khuwailid.”
    Muhammad, “Jika dia setuju, maka aku pun setuju.”
    Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad memberitahukan kepada paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikahi Khadijah. Kemudian, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi keponakannya, dan selanjutnya menyerahkan mahar sebagai tanda sahnya akad nikah tersebut.
    Maka, jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri Muhammad dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami daripada kepentingannya sendiri.
    Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian pula tatkala Muhammad ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya Abu Thalib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abu Thalib, agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya Muhammad saw.
    Dari pernikahan ini Allah memberikan karunia kepada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.
    Berkat pernikahan ini pula, Khadijah merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya, Khadijah terus memback up perjuangan suaminya. Dari sinilah Zaid bin Haritsah dan keempat putrinya masuk Islam.
    Seiring dengan perjuangan ini, kaum muslimin terus ditimpa ujian dan musibah yang sangat berat, akan tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar dan kuat. Ujian demi ujian secara beruntun diberikan Allah SWT.
    Kedua putranya yang masih kanak-kanak, yaitu Abdullah dan al-Qasim dipanggil Allah untuk selama-lamanya, namun demikian Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para taghut hingga jiwanya menghadap Sang Pencipta penuh kemuliaan.
    Beliau harus juga berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan, karena putrinya hijrah ke negeri Habasyah untuk menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik.
    Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah.
    Tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotannya terhadap orang-orang Islam untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, dan pemboikotan tersebut mereka tulis dalam sebuah naskah dan mereka tempelkan pada dinding Ka’bah, Khadijah tidak ragu untuk bergabung dalam barisan orang-orang Islam bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasulullah dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala.
    Beliau curahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian itu di saat umur 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu, wafatlah Abu Tholib, kemudian menyusullah beliau, yakni tiga tahun sebelum hijrah.
    Dengan perjuangannya yang begitu besar, pantaslah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-Nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di sorga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya dan tidak ada pula keributan di dalamnya. Karena itu pula Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik wanita sorga adalah Maryam binti Imron dan sebaik-baik wanita sorga adalah Khadijah binti Khuwailid.”
    Ya Allah, ridhailah Khadijah binti Khuwailid, as-Sayyidah at-Thahiroh. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
    ***
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
     


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar